Archive for the ‘Al-Islam’ Category

Sumber Solusi Terbaik Adalah Al-Qur’an   Leave a comment


Tak terasa, hari-hari shaum yang kita jalani sudah memasuki pertengahan Ramadhan. Sebagai Muslim kita meyakini, di antara malam-malam Ramadhan itu akan hadir Lailatul Qadar yang ditunggu-tunggu, karena nilai keutamaannya yang setara dengan seribu bulan. Selain itu, pada malam Lailatul Qadar ini pula al-Quran pertama kali diturunkan oleh Allah SWT dari Lauhil Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di Langit Dunia. Allah SWT berfirman:

 

 

إِنّا أَنزَلنٰهُ فى لَيلَةِ القَدرِ ﴿١﴾ وَما أَدرىٰكَ ما لَيلَةُ القَدرِ ﴿٢﴾ لَيلَةُ القَدرِ خَيرٌ مِن أَلفِ شَهرٍ ﴿٣﴾

Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran pada Lailatul Qadar. Apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik nilainya dari seribu bulan (QS al-Qadar [97]: 1-3).

Sebagian Muslim meyakini al-Quran pertama kali turun ke bumi tanggal 17 Ramadhan. Untuk itu, pada 17 Ramadhan mereka biasa memperingati peristiwa turunnya al-Quran atau mengadakan Peringatan Nuzulul Quran. Karena itu, tentu penting untuk memaknai kembali peristiwa Nuzulul Quran yang setiap tahun diperingati oleh kaum Muslim, bahkan biasa diperingati oleh Kepala Negara dan jajaran para pejabatnya di negeri ini.

 

Makna Nuzulul Quran

Allah SWT berfirman:

 

شَهرُ رَمَضانَ الَّذى أُنزِلَ فيهِ القُرءانُ هُدًى لِلنّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِنَ الهُدىٰ وَالفُرقانِ

 

Bulan Ramadhan, itulah bulan yang di dalamnya al-Quran diturunkan, sebagai petunjuk (bagi manusia), penjelasan atas petunjuk itu serta sebagai pembeda (QS al-Baqarah [2]: 185).

 

Ayat di atas tegas menyatakan bahwa al-Quran yang diturunkan oleh Allah SWT berfungsi sebagai hud[an]bayyinat dan furq[an]. Maknanya, al-Quran adalah petunjuk bagi manusia; memberikan penjelasan tentang mana yang halal dan mana yang haram, juga tentang berbagai hudud dan hukum-hukum Allah SWT; serta pembeda mana yang haq dan mana yang batil (Lihat: al-Baidhawi/I/220; Ibn Abi Salam, I/154; an-Nasisaburi, I/48; As-Suyuthi, I/381). Lebih tegas dinyatakan oleh Abu Bakar al-Jazairi dalam Aysar at-Tafasir, saat menafsirkan potongan ayat di atas, bahwa al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia yang bisa mengantarkan mereka untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Maknanya, al-Quran turun dalam rangka: (1) memberi manusia petunjuk; (2) menjelaskan kepada mereka jalan petunjuk itu; (3) menerangkan jalan kebahagiaan dan kesuksesan mereka; (4) memandu mereka agar bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil dalam seluruh urusan kehidupan mereka (Al-Jazairi, I/82).

 

Al-Quran: Sumber Solusi

Dengan memahami maksud ayat di atas, jelas harus dikatakan bahwa al-Quran sesungguhnya sumber solusi bagi setiap persoalan hidup yang dihadapi manusia. Hal ini juga ditegaskan dalam ayat berikut:

 

وَنَزَّلنا عَلَيكَ الكِتٰبَ تِبيٰنًا لِكُلِّ شَيءٍ وَهُدًى وَرَحمَةً وَبُشرىٰ لِلمُسلِمينَ

 

Kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelas segala sesuatu; juga sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang Muslim(QS an-Nahl [16]: 89).

 

Menurut Al-Jazairi (II/84), frasa tibyan[an] li kulli syay[in] bermakna: menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat (Al-Jazairi, II/84). Ayat di atas juga menegaskan bahwa al-Quran merupakan petunjuk (hud[an]), rahmat (rahmat[an]) dan sumber kegembiraan (busyra) bagi umat.

Sayang, meski Allah SWT secara tegas menyatakan al-Quran sebagai sumber solusi, kebanyakan kaum Muslim saat ini mengabaikan penegasan Allah SWT ini. Buktinya, hingga saat ini al-Quran tidak dijadikan rujukan oleh umat, khususnya para penguasa dan elit politiknya, untuk memecahkan berbagai persoalan hidup yang mereka hadapi. Padahal jelas, umat ini, khususnya di negeri ini, sudah lama dilanda berbagai krisis: krisis keyakinan (misal: munculnya banyak aliran sesat), krisis akhlak (munculnya banyak kasus pornografi/pornoaksi, perselingkuhan/perzinaan, dll), krisis ekonomi (kemiskinan, pengangguran, dll) krisis politik (karut-marut Pemilukada, separatisme, dll), krisis sosial, krisis pendidikan, krisis hukum, dll. Semua ini tentu membutuhkan solusi yang pasti, tuntas dan segera.

Memang, para penguasa dan elit politik negeri ini bukan tidak berusaha mencari solusi. Namun, solusi yang mereka gunakan alih-alih mampu mengatasi berbagai krisis tersebut, tetapi malah memperpanjang krisis dan menambah krisis baru. Ini karena solusi yang dipakai selalu merujuk pada ideologi sekular, yakni Kapitalisme. Untuk mengatasi krisis keyakinan, misalnya, mereka malah mengembangkan pluralisme. Untuk mengatasi krisis ekonomi, mereka mengembangkan ekonomi yang makin liberal antara lain dengan mengembangkan program privatisasi (penjualan aset-aset negara), terus menumpuk utang luar negeri yang berbunga tinggi, menyerahkan pengelolaan (baca: penguasaan) berbagai sumberdaya alam (SDA) kepada swasta/pihak asing, menyerahkan harga barang-barang milik rakyat (BBM, listrik, gas, bahkan air) kepada mekanisme pasar, dll. Akibatnya, kemiskinan dan pengangguran justru makin meningkat, dan krisis ekonomi makin parah.

Untuk mengatasi krisis politik mereka terus mengembangkan demokrasi yang justru menjadi akar persoalan politik. Untuk mengatasi krisis pendidikan mereka malah terus melakukan sekularisasi dan ‘kapitalisasi’ pendidikan. Akibatnya, sudahlah mahal, pendidikan tidak menghasilkan generasi beriman dan bertakwa serta berkualitas.

Lalu untuk mengatasi krisis hukum dan keadilan mereka malah memproduksi hukum buatan sendiri yang sarat dengan kepentingan para pembuatnya. Demikian seterusnya. Akibatnya, berbagai krisis tersebut bukan malah teratasi, tetapi malah makin menjadi-jadi. Semua itu jelas, karena mereka benar-benar telah mengabaikan al-Quran sama sekali.

 

Dosa Mengabaikan al-Quran

Selain menjadikan berbagai krisis tidak pernah teratasi, mengabaikan al-Quran sesungguhnya merupakan dosa besar bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman:

 

وَقالَ الرَّسولُ يٰرَبِّ إِنَّ قَومِى اتَّخَذوا هٰذَا القُرءانَ مَهجورًا ﴿٣٠﴾

 

Berkatalah Rasul, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran ini sebagai sesuatu yang diabaikan.” (QS al-Furqan [25]: 30).

Dalam ayat ini, Rasulullah saw. mengadukan perilaku kaumnya yang menjadikan al-Quran sebagai mahjûr[an], yakni melakukan hajr al-Qur’ân (mengabaikan al-Quran).

Dulu ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir. Namun saat ini, tidak sedikit umat Islam yang bersikap abai terhadap al-Quran, sebagaimana kaum kafir dulu. Memang mereka tidak mengabaikan al-Quran secara mutlak. Namun, mereka sering memperlakukan ayat-ayatnya secara diskriminatif. Misal: mereka bisa menerima apa adanya hukum-hukum ibadah atau akhlak, tetapi menolak hukum-hukum al-Quran tentang kekuasaan, pemerintahan, ekonomi, pidana, atau hubungan internasional. Contoh, terhadap ayat-ayat al-Quran yang sama-sama menggunakan kata kutiba yang bermakna furidha (diwajibkan atau difardhukan), sikap yang muncul berbeda. Ayatkutiba ‘alaykum al-shiyâm (diwajibkan atas kalian berpuasa) dalam QS al-Baqarah [2]: 183 diterima dan dilaksanakan. Namun, terhadap ayat kutiba ‘alaykum al-qishâsh(diwajibkan atas kalian qishash; dalam QS al-Baqarah [2]: 178), atau kutiba ‘alaykum al-qitâl (diwajibkan atas kalian berperang; dalam QS al-Baqarah [2]: 216), muncul sikap keberatan, penolakan bahkan penentangan dengan beragam dalih; apalagi ketika semua itu diserukan untuk diterapkan secara praktis. Sikap ini jelas terkategori ke dalam sikap mengabaikan al-Quran dan karenanya merupakan dosa besar.

 

Pentingnya Membumikan al-Quran

Dengan mencermati paparan di atas, umat ini sejatinya segera menyadari, bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi seluruh persoalan hidup mereka saat ini tidak lain dengan kembali menjadikan al-Quran sebagai sumber solusi. Tentu aneh jika selama ini banyak yang mempertanyakan peran Islam dan kaum Muslim dalam menyelesaikan aneka krisis, namun pada saat ada tawaran untuk menjadikan syariah Islam-yang notabene bersumber dari al-Quran-sebagai solusi malah ditolak. Bahkan belum apa-apa mereka menuduh penerapan syariah Islam sebagai ancaman terhadap pluralisme, Pancasila, NKRI dll. Padahal jelas, solusi-solusi yang tidak bersumber dari syariah (al-Quran) itulah yang selama ini nyata-nyata telah “mengancam” negeri dan bangsa ini, yang berakibat pada makin panjangnya krisis dan membuat krisis makin bertambah parah.

Jelas, di sinilah pentingnya umat ini segera membumikan al-Quran, dalam arti menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab,    al-Quran memang harus diterapkan. Di dalamnya terdapat hukum yang mengatur seluruh segi dan dimensi kehidupan (QS an-Nahl [16]: 89).

Hanya saja, ada sebagian hukum itu yang hanya bisa dilakukan oleh negara, semisal hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik luar negeri; termasuk pula hukum-hukum yang mengatur pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran hukum syariah. Hukum-hukum seperti itu tidak boleh dikerjakan oleh individu dan hanya sah dilakukan oleh khalifah atau yang diberi wewenang olehnya.

Berdasarkan fakta ini, keberadaan negara merupakan sesuatu yang dharûrî (sangat penting). Tanpa ada sebuah negara, mustahil semua ayat al-Quran dapat diterapkan. Tanpa negara Khilafah Islamiah, banyak sekali ayat al-Quran yang terbengkalai. Padahal menelantarkan ayat al-Quran-walaupun sebagian-termasuk tindakan mengabaikan al-Quran yang diharamkan. Oleh karena itu, berdirinya Daulah Khilafah Islamiah harus disegerakan agar tidak ada satu pun ayat yang diabaikan.

Lebih dari itu, al-Quran telah terbukti menjadi sumber inspirasi bagi kemajuan umat manusia, terutama dalam menyelesaikan berbagai problem kehidupan mereka. Simaklah pengakuan jujur seorang cendekiawan Barat, Denisen Ross, “Harus diingat, bahwa al-Quran memegang peranan yang lebih besar bagi kaum Muslim daripada Bibel dalam agama Kristen…Demikianlah, setelah melintasi masa selama 13 abad, al-Quran tetap merupakan kitab suci bagi seluruh Turki, Iran, dan hampir seperempat penduduk India. Sungguh, sebuah kitab seperti ini patut dibaca secara meluas di Barat, terutama pada masa kini…” (E. Denisen Ross, dalam buku, Kekaguman Dunia Terhadap Islam).

 

Simak pula komentar W.E. Hocking tentang al-Quran, “Saya merasa benar dalam penegasan saya, bahwa al-Quran mengandung banyak prinsip yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya sendiri. Sesunguhnya dapat dikatakan, bahwa hingga pertengahan Abad Ketiga belas, Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat.” (The Spirit of World Politics, 1932, hlm. 461).

 

Walhasil, jika al-Quran nyata-nyata merupakan sumber solusi, mengapa penguasa negeri ini tetap mengabaikannya dan enggan menerapkannya dalam kehidupan?!

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. []

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Al-Islam, Buletin

Tagged with , , , ,

HKBP Wajib Ditumpas Di Indonesia   Leave a comment


Sebuah kampung di pojok timur Kota Bekasi tiba-tiba menjadi sorotan masyarakat. Ciketing, kampung tersebut, terletak di Kecamatan Mustika Jaya. Di tempat itu diberitakan dua orang jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) tertusuk oleh beberapa orang tepat di Hari Ketiga Idul Fitri lalu (12/9).

 

 

Penzaliman Terhadap Umat Islam

Tanpa meneliti lebih dulu fakta yang terjadi sebenarnya berikut akar persoalannya, sejumlah kalangan berlomba melontarkan kecaman sekaligus tuduhan yang terkesan memojokkan umat Islam. Siapa mereka? Pertama: Aktivis pluralisme, kelompok liberal, termasuk tokoh agama Kristen. Mereka ini sesungguhnya adalah kelompok minoritas. Sama dengan Kasus Monas 1 Juni 2008 saat terjadi bentrokan antara kelompok AKKBB dan umat Islam dalam rangkaian pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok Ahmadiah, “Kasus Ciketing” pun kemudian dijadikan alat oleh mereka untuk menzalimi umat Islam. Mereka menuduh seolah-olah umat Islamlah-yang notebene mayoritas di negeri ini-sebagai pihak yang tidak toleran, tidak menghargai kebebasan beragama, pelaku kekerasan, dll.

Kedua: Media sekular (cetak dan elektronik). Seperti kelompok “paduan suara”, dalam Kasus HKBP di Ciketing ini, sejumlah media sekular menyanyikan lagu yang sama: kebebasan beragama ternoda; pluralisme terancam! Ujung-ujungnya mereka pun menjadikan umat Islam yang mayoritas sebagai pihak tertuduh dan mengklaim minoritas Kristen sebagai korban. Mereka antara lain menyuarakan, “Romo Benny: Negara Tidak Boleh Kalah oleh Pelaku Kekerasan”, (Detik.com), “Kebebasan Beribadah Terancam”, (Media Indonesia), “KWI: Gejala Intoleransi Terjadi,” (Kompas.com), dll.

Jika kita mencermati kasus-kasus serupa, tampak jelas bahwa media sekular sering secara sengaja menzalimi umat Islam. Dalam Kasus Monas dan Kasus Ciketing, misalnya, untuk memojokkan umat Islam, tanpa tahu malu mereka melakukan kebohongan, dengan kerap menutupi akar masalah sebenarnya. Mereka hanya memberitakan akibat, bukan sebab. Insiden Monas diberitakan sebagai “aksi kekerasan” umat Islam terhadap AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). Padahal yang terjadi adalah bentrokan antara FPI dan AKKBB yang disebabkan oleh provokasi AKKBB. Begitu pula dalam Kasus Ciketing. Tiba-tiba media memberitakan peristiwa tersebut sebagai “penusukan jamaat dan pendeta Kristen” oleh warga Muslim. Padahal faktanya, itu pun hanya bentrokan dua kelompok masyarakat, yang diawali oleh provokasi HKBP. Sebagian korbannya juga adalah Muslim, bukan hanya pihak HKBP.

Kasus bentrokan tersebut sesungguhnya berakar pada sikap arogan (sombong) dan pelanggaran jemaat HKBP yang selama ini tidak mematuhi instruksi Pemkot Bekasi untuk tidak beribadah di Ciketing. Sikap mereka ini telah lama menimbulkan kekesalan warga. Apalagi warga merasa terganggu karena kendaraan para jemaat sering menimbulkan kemacetan.

Ketiga: Penguasa/pejabat/aparat. Menyikapi Kasus Ciketing, pihak penguasa/pejabat/aparat pun seolah kehilangan kejernihan berpikir. Mereka bersikap tidak adil. Ketidakadilan mereka antara lain tampak pada beberapa kenyataan berikut:

Pendeta dan jemaat HKBP yang dirawat di rumah sakit dibesuk pejabat tinggi, mendapat perhatian khusus Presiden dan sejumlah menteri. Sebaliknya, mereka tak peduli sama sekali dengan warga Bekasi yang juga terluka dan dirawat di rumah sakit. Bahkan salah seorang dari 9 warga Bekasi yang terlibat bentrokan justru ditangkap saat sedang dirawat di sebuah rumah sakit akibat luka sabetan senjata tajam jemaat HKBP.

Ketidakadilan penguasa/pejabat/aparat juga tampak pada beberapa pertanyaan pihak FPI-yang dikait-kaitkan dengan Kasus Ciketing-antara lain sebagai berikut: Mengapa para pendeta HKBP yang menjadi provokator dan pengacau tidak diperiksa aparat? Mengapa kegiatan HKBP setiap Ahad di Ciketing yang menggelar konvoi ritual liar keliling perumahan warga Muslim dengan lagu-lagu Gereja secara demonstratif tetap dibiarkan? Mengapa jemaat HKBP yang memukul dan menusuk 9 ikhwan warga Bekasi tidak ditangkap? Mengapa saat terjadi insiden kecil terhadap seorang pendeta semua teriak nyaring, tetapi ketika ribuan umat Islam dibantai di Ambon, Sampit dan Poso teriakan macam itu tak terdengar? Bahkan saat sebuah masjid dibakar di Medan belum lama ini tak ada satu pun media nasional meliputnya? Kemana suara yang selalu mengatasnamakan kebebasan beragama dan beribadah? (Fpi.or.id, 16/9/2010).

 

Beberapa Penyebab

Dari beberapa fakta di atas, jelas bahwa terjadinya sejumlah konflik yang dianggap terkait dengan agama adalah disebabkan antara lain oleh: Pertama: Tirani minoritas (non-Muslim) atas mayoritas (Muslim). Dalam Kasus Ciketing, misalnya, jelas pihak Kristenlah yang selama ini tampak tidak toleran, bersikap arogan dan nyata-nyata melakukan provokasi terhadap umat Islam.

Kedua: Pelanggaran aturan oleh minoritas non-Muslim terhadap peraturan yang ada. Misal, di Bekasi sendiri berdiri tiga bangunan ilegal yang dijadikan sebagai tempat ibadah: Gereja HKBP Pondok Timur Indah di Kecamatan Mustika Sari, Gereja Gelilea Galaxi di Kecamatan Bekasi Selatan dan Gereja Vila Indah Permai (VIP) di Kecamatan Bekasi Utara. Selain itu, di Jawa Barat secara keseluruhan terdapat sekitar 200 gereja bermasalah terkait perizinannya (Republika.co.id, 17/9).

Pendirian gereja juga sering dengan menempuh cara-cara manipulatif, seperti pemalsuan tanda tangan warga. Ini sering terjadi di sejumlah daerah, yang pada akhirnya menjadi pemicu konflik. Contoh kecil, di Bogor Jawa Barat, Panitia pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin nyata-nyata telah memalsukan tandangan tangan warga. Dengan bekal tanda tangan warga yang dipalsukan, mereka bersikeras membangun gereja di wilayah tersebut meski mendapatkan penolakan keras warga setempat.

 

Pluralisme: Ide Palsu dan Berbahaya

Beberapa waktu lalu ribuan orang dari Jemaat HKBP, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Wahid Institute dan elemen organisasi masyarakat lain berunjuk rasa di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Ahad (15/8). Mereka menagih janji Pemerintah tentang kebebasan beragama.

Sebelum ini, tampak pula gerakan sistematis yang membangun opini: di Indonesia tak ada kebebasan beragama, golongan Islam radikal menyerang golongan minoritas, gereja dirubuhkan, dll. Opini kemudian disertai dengan pernyataan bahwa pluralisme di Indonesia terancam, Pancasila terancam dan NKRI terancam. Siapa yang mengancam? Kelompok-kelompok Islam ‘radikal’ yang memperjuangkan syariah.

Jelas ada penyesatan politik luar biasa di balik ini semua. Benarkah di Indonesia tak ada kebebasan beragama? Benarkah di Indonesia pembangunan gereja terhambat? Kenyataannya, menurut Kepala Badan Litbang Departemen Agama, Atho Mudzhar, sejak 1977 hingga 2004, pertumbuhan rumah ibadah Kristen malah lebih besar dibandingkan dengan masjid. Rumah ibadah umat Islam pada periode itu meningkat hanya 64,22 persen; sementara gereja Kristen Protestan meningkat 131,38 persen dan Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen (Republika, 18/2006).

 

Selain itu, umat Islam selama ini tidak mempersoalkan hak umat Kristen untuk beribadah. Yang dipersoalkan umat Islam adalah pembangunan gereja yang melanggar aturan, sebagaimana terpapar di atas. Lagi pula sudah banyak terjadi gereja dijadikan basis kristenisasi untuk memurtadkan penduduk sekitar yang Muslim.

Fakta-fakta seperti ini sering tak diungkap. Di sisi lain, sangat jarang di-blow-up oleh media massa bagaimana sulitnya umat Islam mendirikan masjid di tempat-tempat yang mayoritas penduduknya non-Muslim seperti di daerah Papua dan Bali.

Isu pembangunan gereja ini kemudian dipolitisasi oleh kelompok-kelompok liberal untuk mengkampanyekan ide sesat mereka tentang pluralisme yang sudah difatwakan haram oleh MUI. Tidak hanya itu, isu pluralisme juga digunakan kelompok liberal untuk melakukan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok Islam yang mereka cap radikal dan ingin menegakkan syariah Islam.

Semua ini menunjukkan bahwa ide pluralisme adalah palsu dan berbahaya bagi umat Islam.

 

Tegakkan Syariah, Buang Pluralisme!

Secara normatif, syariah Islam adalah rahmat bagi seluruh umat manusia; Muslim maupun non-Muslim (Lihat: QS al-Anbiya. [21]: 107). Lalu terkait keyakinan non-Muslim, Islam telah melarang siapapun untuk memaksa non-Muslim masuk Islam:

 

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) (QS al-Baqarah [2]: 256).

 

Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) warga negara non-Muslim disebut dengan kafir dzimmi. Mereka diperlakukan sama dengan warga negara Muslim. Kedudukanahludz-dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Siapa saja membunuh mu’ahid (orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun.” (HR Ahmad).

 

Menurut Imam Qarafi, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahludz-dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga…”

Adapun secara historis, penghargaan dan perlindungan Islam terhadap non-Muslim diakui oleh T.W. Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam, saat menuliskan bagaimana perlakuan baik yang diterima non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Khilafah Utsmaniyah, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman-selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani-telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa… Kaum Protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam…Kaum Cossack, yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”

 

T.W. Arnold juga menulis, “Saat Konstantinopel dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan atas kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan untuk Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya-hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios bahkan diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri…”

Demikianlah, dalam sistem Khilafah selama berabad-abad-tentu dengan penerapan syariahnya-orang-orang non-Muslim diperlakukan dengan sangat baik, tak hanya menyangkut kebebasan atas keyakinan mereka, tetapi juga keamanan harta dan jiwa mereka serta kesejahteraan mereka.

Walhasil, mari tegakkan syariah dan Khilafah, serta buang pluralisme!

 

Wallahu a’lam bi ash-shawab. []

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Al-Islam, Buletin

Tagged with , ,

Bukti Pemerintah Tidak Becus   Leave a comment


Belum genap sepekan Peringatan Hari Jadi Kereta Api pada 28 September 2010 lalu, dua kecelakaan fatal terjadi dan merenggut 35 nyawa. Satu kecelakaan kereta api terjadi di Stasiun Petarukan, Pemalang, yakni KA Argo Bromo Anggrek menabrak KA Senja Utama. Kecelakaan lain terjadi di Stasiun Purwosari, Solo. Pada kecelakaan itu KA Bima menyenggol bagian belakang KA Gaya Baru. Dugaan sementara, kecelakaan di Petarukan adalah karena faktor human error, yakni kelalaian masinis (Republika, 5/10).

 

Boleh jadi, memang ada faktor kesalahan manusia (human error) dalam kecelakaan kereta api tersebut. Namun, harus diakui, kecelakaan kereta api tidak hanya terjadi tempo hari. Tragedi kecelakaan kereta api di negeri ini seolah menjadi peristiwa rutin pada semua rezim di negeri ini.

 

Paling tidak, dalam rentang lima tahun (2004-2008) saja sudah terjadi ratusan kali kecelakaan kereta api. Rinciannya: 2004: 128 kecelakaan; 2005: 91 kecelakaan; 2006: 102 kecelakaan; 2007: 140 kecelakaan; 2008: 117 kecelakaan. Ratusan kasus kecelakaan tersebut terjadi dalam bentuk: tabrakan antar kereta api (28 kasus); tabrakan keretaapi dengan kendaraan bermotor (108 kasus); kereta api anjlog (442 kasus). Selama lima tahun itu saja, kecelakaan kereta api telah menelan korban meninggal, luka berat dan luka ringan sebanyak total 1221 orang. Adapun penyebab kecelakaan adalah karena: faktor alam (4%), faktor sarana (23%), faktor prasarana (18%), faktor SDM Operator (35%) dan faktor ekternal (20%) (Perkeretaapian.dephub.go.idUpdate: 23/1/2009).

Di tahun 2010 ini, menurut Dirjen Perkeretaapian Kementrian Perhubungan Hermanto Dwi Atmanto dua bulan lalu (6/8), hingga akhir Juli 2010 sudah terjadi 32 kecelakaan kereta api. Sebelumnya, tahun 2009, terjadi 90 kasus kecelakaan kereta api. (Berdikarionline.com, 4/1/2010).

Dengan melihat data-data kecelakaan di atas, jelas bahwa transportasi rakyat yang satu ini masih menjadi “mesin pembunuh”. Dari data-data di atas juga terbukti, bahwa Pemerintah benar-benar alpa memperhatikan transportasi yang aman bagi warga negaranya.

Padahal kereta api adalah salah satu jenis transportasi darat yang sangat “digemari” masyarakat. Pada tahun 1999 saja, penumpang berjumlah 186,469,269 orang. (Kereta-api.com). Boleh dikatakan, kereta api selama puluhan tahun menjadi salah satu alat transportasi “favorit” rakyat, khususnya kalangan menengah ke bawah. Namun, hal itu semata-mata karena kereta api masih dianggap sebagai alat transportasi yang “murah”, bukan karena masyarakat merasa aman dan nyaman memakai jasa kereta api. Sebab, jika dilihat dari faktor keamanan, angka-angka kecelakaan di atas jelas menunjukkan bahwa kereta api adalah salah satu alat transportasi yang bisa merupakan “ancaman mengerikan”. Adapun dilihat dari faktor kenyamanan, di Jabodetabek, misalnya, di gerbong kereta api eksekutif pun (KA Parahyangan) penumpang sering tidak kebagian tempat duduk; bahkan untuk sekadar duduk di lantai gerbong pun sering susah. Kebanyakan akhirnya berdiri berhimpitan, rata-rata lebih dari satu jam.

Di kelas ekonomi AC atau ekonomi keadaannya tentu lebih parah lagi. Penumpang dari kalangan masyarakat miskin diperlakukan seperti tumpukan barang/binatang dan itu dianggap sebagai hal yang biasa. Para lansia, ibu hamil, orang cacat dan balita pun diperlakukan sama; tak ada perlakuan khusus. Di kereta ekonomi pula, WC pun sering terpaksa menjadi tempat tidur bagi mereka. Penderitaan mereka seperti ini mereka alami setiap hari. Ironisnya, penderitaan semacam ini belum berakhir. Sebab, sewaktu-waktu bisa saja mereka menjadi korban pelecehan seksual, aksi pencopetan, dll; sebagaimana sering terjadi.

 

Pemerintah Tak Peduli!

Fakta-fakta di atas hanyalah akibat. Sebabnya tidak lain karena Pemerintah selama ini tidak mempedulikan nasib rakyat, termasuk untuk hal yang amat vital bagi mereka, yakni alat transportasi. Ketidakpedulian Pemerintah terhadap kebutuhan rakyatnya dalam hal transportasi yang murah, aman dan nyaman terlihat dari data-data berikut.

Pada 1939, panjang rel seluruh kereta api di Indonesia mencapai 6.811 kilometer. Idealnya, seiring pertambahan penduduk dan bertambah luas dan jauhnya areal tempat tinggal mereka, rel tersebut makin bertambah. Faktanya, pada tahun 2000, berarti dalam kurun sekitar 60 tahun, rel yang merupakan warisan Belanda itu susut menjadi tinggal 4.030 km, atau turun 41%. Kondisi sarana pendukungnya, seperti jumlah stasiun kereta api, juga sama. Pada 1955 jumlah stasiun kereta api mencapai 1.516 buah. Dalam kurun hanya 50 tahun, jumlah itu merosot 62% menjadi tinggal 571 stasiun. Selain susut, infrastruktur kereta api itu juga sering dibiarkan tak terawat. Panjang rel yang sudah aus dan cacat di Jawa dan Sumatra, misalnya, mencapai 540 kilometer dan belum diganti. Kondisi lokomotif yang dioperasikan pun sangat memprihatinkan. Dari 341 unit lokomotif yang ada pada 2008, hampir seluruhnya (82%) sudah tua dengan umur antara 16-30 tahun. Padahal di negara maju, seperti Jepang dan negara-negara Eropa, umur ekonomis kereta api guna menjamin keselamatan penumpang maksimal adalah 5-10 tahun, setelah itu diganti dengan sarana yang sama sekali baru. Di Indonesia hal itu tidak terjadi (Media Indonesia, 4/10/2010).

Lagi-lagi, faktor anggaran yang minim menjadi satu-satunya alasan Pemerintah. Padahal anggaran revitalisasi kereta api untuk lima tahun ke depan (2010-2015) yang diusulkan hanya sebesar Rp 20 triliun. Pemerintah tentu bisa segera merealisasikannya. Anggaran Rp 20 triliun selama lima tahun itu tentu sangat kecil. Pasalnya, dalam APBN 2010, anggaran Perjalanan Dinas Pejabat Pemerintah dan Anggota DPR saja selama setahun mencapai 19,5 triliun (Suara Merdeka, 20/9). Artinya, anggaran “plesiran” pejabat Pemerintah dan Anggota DPR 5 kali lipat lebih besar daripada anggaran untuk perbaikan sistem perekeretapian yang notebene menyangkut kebutuhan jutaan rakyat. Sungguh ironis! Mengapa? Karena selama ini lebih dari 70% APBN negeri ini dibiayai dari pajak (JPNN.com, 24/3/2010), yang berarti sebagian besarnya dibiayai oleh rakyat. Kenyataannya, uang rakyat itu banyak “dimakan” para pejabat dan anggota DPR. Untuk rakyat sendiri, cukup “recehan”-nya saja. Semua ini makin menegaskan satu hal: Pemerintah/DPR sesungguhnya tak pernah tidak peduli terhadap rakyat. Mereka hanya peduli terhadap diri sendiri!

 

Harus Bertanggung Jawab

Dalam sejarah ulama salaf, diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Abdil Aziz dalam shalat tahajudnya sering membaca ayat berikut:

احشُرُوا الَّذينَ ظَلَموا وَأَزوٰجَهُم وَما كانوا يَعبُدونَ ﴿٢٢﴾ مِن دونِ اللَّهِ فَاهدوهُم إِلىٰ صِرٰطِ الجَحيمِ ﴿٢٣﴾ وَقِفوهُم ۖ إِنَّهُم مَسـٔولونَ ﴿٢٤﴾

(Kepada para malaikat diperintahkan), “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembah-sembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah. Lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Tahanlah mereka di tempat perhentian karena sesungguhnya mereka akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS ash-Shaffat [37]: 22-24).

Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali karena merenungi besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat bila melakukan kezaliman.

Dalam riwayat lain, karena begitu khawatirnya atas pertanggungjawaban di akhirat sebagai pemimpin, Khalifah Umar bin Khaththab ra. berkata dengan kata-katanya yang terkenal, “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah SWT, ‘Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?’”

Itulah dua dari ribuan contoh yang pernah dilukiskan para salafus-shalih tentang tanggung jawab pemimpin di hadapan Allah kelak. Tidak lain karena para pemimpin dulu, yakni para khalifah kaum Muslim sepanjang Kekhilafahan Islam selama berabad-abad, memahami benar sabda Baginda Rasulullah saw.:

 

سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ

 

Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR Ibn Majah dan Abu Nu’aim).

 

Mereka juga amat memahami sabda Rasul saw. yang lain:

 

اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

 

Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).

 

Khilafah: Pelayan Terbaik

Sejarah Islam yang otentik sesungguhnya banyak mencatat fakta betapa Khilafah adalah pelayan rakyat terbaik sepanjang sejarahnya. Contoh kecil, selama masa Khilafah Umayah dan Abbasiyah, di sepanjang rute para pelancong dari Irak dan negeri-negeri Syam (sekarang Suriah, Yordania, Libanon dan Palestina) ke Hijaz (kawasan Makkah) telah dibangun banyak pondokan gratis yang dilengkapi dengan persediaan air, makanan dan tempat tinggal sehari-hari untuk mempermudah perjalanan bagi mereka. Sisa-sisa fasilitas ini dapat dilihat pada hari ini di negeri-negeri Syam.

Khilafah Utsmaniyah juga melakukan kewajiban ini. Dalam hal kemudahan alat transportasi untuk rakyat, khususnya para peziarah ke Makkah, Khilafah membangun jalan kereta Istanbul-Madinah yang dikenal dengan nama “Hijaz” pada masa Sultan Abdul Hamid II. Khilafah Usmani pun menawarkan jasa transportasi kepada orang-orang secara gratis (Khilafah.com).

Bukan hanya manusia yang dilayani, hewan-hewan pun mendapatkan perlakuan yang baik, dilindungi oleh para khalifah. Ibn Rusyd al-Qurthubi meriwayatkan dari Malik bahwa Khalifah Umar ra. pernah melewati seekor keledai yang dibebani dengan tumpukan batu. Menyaksikan penderitaan hewan itu, Khalifah Umar ra. segera membuang sebagian tumpukan batu dari punggung hewan itu. Pemilik keledai itu, seorang wanita tua, datang kepada Khalifah Umar ra. dan berkata, “Wahai Umar, apa yang engkau lakukan dengan keledaiku? Memangnya engkau memiliki hak untuk melakukan apa yang engkau lakukan?” Khalifah Umar ra. mengatakan, “Menurutmu, memangnya apa yang membuatku mau mengisi jabatan ini (khalifah)?” Yang dimaksud oleh Umar ra., sebagai khalifah, ia bertanggung jawab atas semua hukum Islam, yang meliputi pula tindakan yang disebutkan oleh hadis Rasulullah saw., “Berhati-hatilah untuk tidak membebani punggung hewan.” (HR Abu Dawud).

Bandingkan dengan para pemimpin negeri ini. Betapapun jutaan rakyat tersiksa setiap hari di gerbong-gerbong kereta api-berdesak-desakan, berhimpitan dan bergelantungan seraya setiap saat terancam jiwanya-para penguasa negeri ini seolah tak peduli, hatta saat banyak rakyat terenggut nyawanya karena kecelakaan kereta api.

Para penguasa seperti ini patutlah merenungkan sabda Baginda Rasulullah saw., “Jabatan (kedudukan) itu pada permulaannya penyesalan, pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan akhirnya adalah azab pada Hari Kiamat (HR Ath-Thabrani).

 

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

 

Sumber:

klik disini

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Al-Islam, Buletin

Tagged with , , ,

Maksiat Adalah Penyebab Bencana Alam   Leave a comment


Banjir kembali melanda sejumlah wilayah di Tanah Air akhir-akhir ini. Yang paling memprihatinkan adalah banjir bandang yang terjadi di Kota Wasior, Kabupaten Teluk Wondama Papua Barat. ‘Banjir Wasior’ benar-benar menyisakan duka dan derita yang mendalam. Betapa tidak. Dari data terakhir Kemenkokesra, tercatat sebanyak 145 orang meninggal, 185 luka berat, 535 luka ringan dan 103 orang masih dicari. Adapun sebaran pengungsi berjumlah 1.859 orang di Manokwari dan 135 orang di Kabupaten Nabire (Republika.com, 11/10/10).

 

Teluk Wondama merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Manokwari. Wilayah ini telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut dan darat. Pusat kabupaten ada di Wasior. Luas wilayah administratif kabupaten ini adalah 12.146,62 km2. Jumlah penduduknya sekitar 20.518 jiwa. Di wilayah ini terdapat kawasan Hutan Suaka Alam Gunung Wondiboi dan kawasan Taman Nasional Laut Teluk Cenderawasih yang membentang dari Timur Semenanjung Kwatisore sampai bagian Utara Pulau Rumberpon. Namun, di wilayah ini juga ada konsensi (penguasaan) atas hutan oleh PT Wapoga MutiaraTimber dan PT Dharma Mukti Persada.

 

Banjir: Bencana Rutin

Bencana banjir kini seolah menjadi pemandangan rutin dan biasa di negeri ini. Belakangan banjir bahkan makin meningkat baik frekuensi maupun cakupannya. Hampir semua bencana banjir di negeri ini terjadi akibat air sungai yang meluap saat musim hujan. Menurut Bappenas, di Jakarta saja kerugian akibat satu kali banjir pada tahun 2007 adalah sekitar Rp 8 triliun. Belakangan, di Kabupaten Bojonegoro, banjir bandang pada lima bulan terakhir di tahun 2010 sudah terjadi lebih dari 17 kali. Sebagian besar banjir adalah karena hujan deras yang airnya tidak bisa ditampung di  23  anak sungai Bengawan Solo akibat kerusakan hutan di bagian hulu DAS. Demikian pula banjir yang diikuti longsor yang terjadi NTT (Kompas, 6/7/10).

Menurut Ketua Hijau Indonesia Chalid Muhammad, enam bulan terakhir sudah terjadi 9 kali bencana banjir besar yang disebabkan perubahan fungsi hutan menjadi kawasan industri baik sawit, kayu maupun pertambangan. Banjir bandang Wosior adalah yang terparah karena memakan korban jiwa yang sangat besar. (Walhi.or.id).

 

Akibat Hutan Dibabat Habis

Menurut Presiden SBY, penyebab banjir di Wasior bukan pembalakan hutan liar, tetapi pengaruh alam; curah hujan tinggi sekali dan perubahan cuaca yang sangat terasa. Menteri Kehutanan juga menepis tudingan pembalakan liar di balik bencana di Wasior (Okezone.com, 10/10/10).

Namun, menurut Direktur Eksekutif Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) Berry Nahdian Furqan, banjir di Wasior karena kerusakan lingkungan. Menurut dia, bencana itu karena faktor alam yang rentan akibat eksploitasi oleh manusia dengan intensitas sangat tinggi. Akibatnya, ketika curah hujan tinggi, banjir bandang tak bisa dihindari (Metrotvnews.com, 9/10/10).

Walhi menduga dua perusahaan, yakni PT Wapoga Mutiara Timber dan PT Dharma Mukti Persada, adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas kejadian ini. Walhi juga menduga telah terjadi perambahan hutan di kawasan Hutan Suaka Alam Gunung Wondiboi. Selain itu, illegal loging (pembalakang hutan secara liar) juga dilakukan para cukong kayu yang memanfaatkan program Kopermas.

Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua di Jayapura, Septer Manufandu, juga menyatakan bahwa banjir bandang di Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, terjadi akibat kerusakan lingkungan. Hutan di wilayah itu telah dibabat habis. Akibatnya, saat hujan datang, tanah tak bisa menyerap air dan menimbulkan bencana. Di belakang Kota Wasior itu ada sebuah telaga. Telaga itu hancur dan menciptakan banjir. Jika saja ada hutan di sekitar itu, air mungkin bisa saja diserap ke dalam tanah (Tabloidjubi.com, 11/11/10).

Merujuk pada kompilasi data dari berbagai sumber yang dilakukan Institut Hijau Indonesia dan Yayasan Yappika di awal tahun 2010, Papua Barat rentan mengalami bencana ekologis. Hal itu karena luas hutan primer Papua Barat 5.154.068 hektar dan hutan sekunder seluas 1.465.655 hektar mengalami ancaman alih fungsi yang sangat besar. Tahun 2005-2009 analisis citra satelit menunjukkan telah terjadi deforestasi (penyusutan areal hutan) seluas 1.017.841,66 hektar atau berkisar 254.460,41 hektar pertahun; menyumbang 25% dari penyusutan luas hutan nasional.

Ancaman bencana ekologis di Papua Barat terutama disumbang oleh sektor industri ekstraktif termasuk Hak Penguasaan Hutan (HPH), Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Pertambangan Minyak dan Gas. Saat ini Pemerintah Pusat telah memberikan izin eksploitasi bagi: 20 perusahaan HPH dengan total luas 3.568.080 hektar hutan di Papua Barat; 16 perusahaan tambang mineral dan batubara dengan total luas 2.701.283 hektar hutan; 13 perusahaan tambang minyak dan gas dengan total luas konsesi 7.164.417 hektar hutan. Sejumlah perusahaan perkebunan juga telah mendapat konsesi seluas 219.021 hektar di Papua Barat. Jika seluruh perusahaan yang mengantongi izin ini menyegerakan kegiatan eksploitasinya maka bencana demi bencana di Papua Barat akan terjadi silih-berganti. Korban jiwa dan harta benda pun akan semakin besar (Walhi.or.id).

Tak hanya di Papua Barat, pembabatan hutan baik secara legal maupun ilegal juga terjadi merata di seluruh area hutan di negeri ini. Hal itu telah berlangsung puluhan tahun. Sebagaimana diketahui, sebelum mengalami kerusakan parah, areal hutan Indonesia termasuk yang paling luas di dunia; sebagian besar adalah hutan hujan tropis yang kaya dengan aneka flora dan fauna. Menurut World Bank (1994), Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang terbesar di Asia-Pasifik, yaitu lebih dari 115 juta hektar. Namun, hingga 2001 saja, hanya dalam kurun 50 tahun, hutan alam Indonesia mengalami penurunan luas sebesar 64 juta hektar (55%). Indonesia disebut-sebut sebagai negara dengan tingkat deforestasi (penyusutan areal hutan) tercepat di dunia, dengan tingkat kehilangan lahan hutan setara 300 kali lapangan sepak bola dalam setiap jamnya! Penyempitan luas hutan yang luar biasa ini terutama akibat penebangan oleh sejumlah perusahaan besar pemilik HPH (Kompas, 10/02/2001).

Eksploitasi hutan oleh pengusaha HPH ini telah mengakibatkan kerusakan hutan yang parah di Sumatera pada tahun 2005 saja. Di Kalimantan, jika tidak ada langkah pencegahan, diramalkan hutan di sana akan punah tidak sampai sepuluh tahun ke depan. Menurut data FAO, yang pernah mengusulkan untuk memasukkan Indonesia sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia pada catatan “Guinness World Records” (di antara 44 negara lainnya), sisa luas hutan di Indonesia tinggal 88,495 juta hektar dan tingkat kerusakan hutan 1,871 juta hektar atau sekitar 2% pertahun (periode 2000-2005) (Kompas, 5/5/2005).

Itu terjadi selama masa Orde Baru. Ironisnya, sejak bergulirnya era Reformasi dan diterapkannya kebijakan otonomi daerah, laju kerusakan sumberdaya hutan dan lahan justru meningkat; diperkirakan mencapai 2,2 hingga 3,2 juta ha/tahun. Kerusakan hutan yang paling parah terjadi di Pulau Jawa, selain banyak terjadi di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Padahal di Pulau Jawa saja, rehabilitasi hutan yang rusak memerlukan waktu 10 hingga 15 tahun (Garut.go.id, 20/12/2005).

Akibatnya mudah diduga. Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Dari 1998-2003 saja tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia; 80%-nya berupa banjir dan longsor yang diakibatkan oleh kerusakan hutan (Jawa Pos, 4/5/2007).

 

Karena Kemaksiatan dan Sistem yang Batil

Terkait bencana banjir dan yang serupa, di dalam al-Quran Allah SWT tegas menyatakan bahwa berbagai kerusakan di daratan dan di lautan lebih banyak disebabkan karena kemaksiatan manusia:

 

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿٤١﴾

 

Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah (kemaksiatan) manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41).

 

Kemaksiatan terbesar tentu saja saat hukum-hukum Allah SWT dicampakkan manusia, tidak diterapkan dalam kehidupan. Saat manusia berpaling dari syariah-Nya, maka kesempitan hiduplah yang bakal mereka rasakan, di antaranya ditimpa berbagai bencana yang menimpa mereka (Lihat: QS Thaha [20]: 124).

 

Solusi Islam

Pertama: terkait korban Banjir Wasior, Pemerintah serta semua elemen masyarakat harus segera memberikan bantuan. Kedua: Pemerintah segera mengoreksi kebijakan pengelolaan alam di Papua Barat dan di Indonesia secara keseluruhan yang lebih berkeadilan dan ramah sosial dan ramah lingkungan hidup. Ketiga: Pemerintah segera mencabut perizinan-perizinan yang telah diberikan yang berpotensi meningkatkan bencana ekologis dan konflik dengan penduduk lokal. Keempat: Pemerintah segera merumuskan model pembangunan di Papua yang lebih berpihak pada kepentingan mayoritas rakyat secara merata, termasuk masyarakat penduduk lokal yang selama ini diabaikan.

Lebih dari itu, harus selalu disadari, ketakwaan adalah sumber keberkahan. Sebaliknya, kemaksiatan adalah sumber bencana; baik kemaksiatan dalam bentuk pengrusakan lingkungan (pembalakan hutan secara liar, dsb), atau kemaksiatan yang lebih besar lagi, yakni pengabaian syariah Islam. Semua kemaksiatan itu akan menjadi faktor penyebab berbagai bencana yang menimpa umat secara keseluruhan, tidak hanya menimpa para pelaku kemaksiatan saja (QS al-Anfal [8]: 25).

Maka dari itu, berbagai bencana yang datang silih berganti sejatinya mendorong para penguasa dan rakyat negeri ini untuk segera mencampakkan berbagai kemaksiatan mereka kepada Allah SWT, lalu bersegera menerapkan syariah-Nya secara kaffahdalam semua aspek kehidupan. Itulah bukti sejati ketakwaan mereka dan itulah jalan keberkahan hidup mereka, sebagaimana firman-Nya:

 

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

 

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).

 

Secara praktis, untuk mewujudkan semua itu, hendaknya penguasa negeri ini segera menata pemerintahan secara islami, yakni dengan sistem Khilafah Islamiyah yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. []

 

Sumber:

klik disini

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Al-Islam, Buletin