Archive for the ‘yang’ Tag

Diary; ‘Berilah Yang Terbaik Untuk Keluarga Hamba’   Leave a comment


Ya Allah, Hamba memohon kepada-Mu atas kesembuhan adik hamba ya Rabb. Jadikan adik hamba seperti normal kembali keadaannya. Jangan sampai adik hamba di operasi dan akhirnya menambah beban orang tua hamba ya Allah.

Ya Allah, berilah kesembuhan pada adik hamba. Berilah ketabahan kepada orang tua hamba. Berikan rezeki yang melimpah kepada keluarga hamba. Sehingga keluarga hamba senang atas pemberian-Mu ya Allah. Hamba memohon dengan tulus ikhlas kepada-Mu. Hamba mohon ma’af jika hamba sering meminta atas belas kasih-Mu. Karena Engkau-lah Sang Pemberi Rezeki kepada hamba-hamba-Mu.

Ya Allah, semoga hamba mengerti akan semua ini. Bahwa hamba tidak bisa pergi dari-Mu. Tak bisa berhenti mengeluh kepada-Mu. Dan Engkau-lah Dzat yang melindung hamba dari bangun dan tidur hamba. Amien

Dikutip dari:

Diaryku al-ahad tanggal 16 Dzulkaidah 1431 H

Luqman as ‘berilah yang terbaik untuk keluarga hamba’

 

Atau baca artikel lain:

 

Posted 26 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Diary, Hak Cipta

Tagged with , , , , ,

Arah Kiblat Yang Benar   Leave a comment


Kaum muslimin rahimakumullah,
Baru-baru ini kita mendengar adanya perbedaan pendapat di antara para ulama, khususnya di Majelis Ulama berkenaan dengan isu perubahan arah kiblat akibat adanya pergeseran lempeng bumi akibat gempa. Fatwa MUI yang lama tentang arah kiblat, sebagaimana yang sering disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, KH. Ali Musthafa Ya’cub adalah menghadap ke Barat.

Namun setelah itu muncul fatwa baru tentang koreksi arah kiblat, yakni menghadap ke Barat Laut dengan kemiringan sekitar 25 derajat. Perbedaan di kalangan ulama ini menimbulkan perbedaan di kalangan masyarakat. Pasalnya ada pengurus masjid yang segera mengubah arah kiblatnya. Namun di sisi lain adalah ada pengurus masjid yang bersikukuh agar arah kiblat ke barat tidak perlu diubah.

Kaum muslimin rahimakumullah
Bagaimana sesungguhnya tuntunan Al Quran tentang arah kiblat ini? Bagaimana hukum menghadap kiblat ? Haruskah tepat menghadap Ka’bah ataukah cukup arah Ka’bah saja?

Kaum muslimin rahimakumullah,
Berkaitan dengan kiblat ini Allah SWT berfirman:
“Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya….. (QS. Al Baqarah 144).”

Dalam ayat di atas jelas bahwa Rasulullah saw. diperintahkan oleh Allah SWT untuk melaksanakan sholat dengan menghadap ke arah Masjidil Haram. Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan suatu hadits dari barra’ bin Azib bahwa Rasulullah saw. ketika pertama kali tinggal di Madinah, beliau tinggal di rumah pamannya dari kalangan Anshar dan bahwasannya beliau sholat menghadap kearah baitul Maqdis selama 16 bulan. Sedangkan beliau sangat menginginkan kiblatnya ke Baitullah….lalu turun ayat di atas pada saat sholat ashar…

Kaum muslimin rahimakumullah
Apa yang dimaksud dalam firman Allah:
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram” ?

Umumnya para mufassir mengartikan ayat di atas sebagai menghadap kearah Ka’bah. As Shaabuni dalam Tafsir Ayatul Ahkam mengatakan bahwa kalimat “Masjidil Haram” sendiri dalam Al Quran dan Al Hadits mengandung beberapa pengertian. Pertama, Ka’bah sebagaimana dalam firman Allah SWT di atas. Kedua, Masjidil Haram secara keseluruhan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: “Sholat di masjidku ini lebih utama sholat seribu kali di masjid yang lain, kecuali Masjidil Haram”..Ketiga, Mekkah.

Sebagaimana dalam firman Allah: “Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. …” (QS. Al Isra 1).Keempat, tanah haram secara keseluruhan, yakni Mekkah dan sekitarnya.

Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, Maka janganlah mereka mendekati Masjidil haram sesudah tahun ini… (QS. At taubah 28). Dan untuk makna Masjidil Haram dalam firman Allah SWT dalam Surat Al baqarah 144 adalah kearah Ka’bah.

Kaum muslimin rahimakumullah,
Menghadap kiblat adalah syarat sahnya sholat. Sehingga tidak sah sholat tanpa menghadap kiblat. Kecuali sholat Khauf atau sholat sunnah di atas kendaraan seperti perahu atau pesawat terbang. Dalam hal ini para fuqoha tidak ada beda pendapat. Yang menjadi perbedaan pendapat di antara para fuqoha adalah apakah menghadap kiblat itu maknanya wajib menghadap ka’bah itu sendiri secara tepat (ainul ka’bah) ataukah cukup menghadap kearah Ka’bah?

Para fuqoha madzhab Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa kata “syathr” dalam kalimat “fawalli waj’haka syathral masjidil haram” maknanya adalah arah yang tepat bagi orang yang sedang sholat dan mengena dalam menghadapnya. Dengan demikian menghadap Ka’bah itu secara tepat adalah menjadi wajib.

Juga mereka menggunakan dalil suatu hadits dari Usamah bin Zaid bahwa tatkala Nabi saw. masuk ke dalam baitullah (Ka’bah) beliau saw. berdoa di sekeliling Ka’bah dan beliau tidak sholat kecuali setelah di luarnya. Lalu beliau sholat 2 rakaat menghadap Ka’bah seraya beliau saw. bersabda: “Inilah kiblat!”.

Sedangkan para fuqoha dari madzhab Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa berdasarkan firman Allah: “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”, maka sholat itu menghadap ke Masjidil Haram. Maka barang siapa sholat menghadap salah satu sisi masjidil Haram, sesudah mencukupi makna ayat di atas, baik tepat kearah Ka’bah itu sendiri maupun tidak.

Juga mereka berdalil dengan hadits Nabi saw: “Antara timur dan Barat, itulah kiblat”. Juga mereka berdalil dengan hadits Nabi saw.: Baitullah (Ka’bah) itu kiblat bagi orang yang sholat di Masjidil Haram. Dan masjidil Haram adalah kiblat bagi penduduk tanah haram (Mekah dan sekitarnya). Sedangkan tanah haram adalah kiblat bagi penduduk bumi di Timur maupun di Barat dari kalangan umat-Ku.” (HR. Baihaqi).

Kaum muslimin rahimakumullah,
Oleh karena itu, menghadap kiblat dalam sholat secara tepat adalah kewajiban bagi orang-orang yang sholat di depan Ka’bah di Masjidil Haram. Adapun untuk kaum muslimin yang melaksanakan sholat di manapun berada jauh dari Masjidil Haram maka mengira-ngira arahnya saja sudah cukup karena tidak bisa melihat masjidil Haram yang mengelilingi Ka’bah. Sebab Allah SWT tidak membebani umat kecuali sekedar kemampuannya (QS. Al Baqarah 285).

Dengan demikian dalam pro kontra perubahan arah kiblat ini tidak perlu dibesar-besarkan dan dipaksakan sehingga tidak timbul perpecahan di antara umat. Sebab masalah amal ibadah bisa dikerjakan dengan persangkaan yang kuat (ghalabatud zhan), sebagaimana kita melaksanakan shaum Ramadhan dengan cukup melihat hilal (ru’yatul hilal) sebagai tanda masuknya bulan Ramadhan, walau menurut perhitungan astronomi hilal bulan Ramadhan belum masuk.

Karena menyangkut masalah sahnya sholat, maka perlu difahamkan bahwa arah sholat yang secara global sudah memenuhi ke arah Masjidil Haram adalah sah sholatnya dan sudah mencukupi berdasarkan hadits “Antara Timur dan Barat itulah kiblat” dan hadits Baihaqi di atas. Yang sudah pasti tidak sah adalah orang sholat menghadap kearah yang sudah pasti bukan ke Masjidil Haram, seperti kaum muslimin di Indonesia menghadap kearah tugu Monas di Jakarta atau orang-orang Malaysia yang berkiblat kearah kota Kuala Lumpur.

Baarakallahu lii walakum

Posted 23 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Ad-Dakwah, Buletin

Tagged with , , ,

Manusia Yang Beruntung   Leave a comment


Dalam bahasa Arab, kata al-falaah berasal dari al-falh yang artinya petani. Sedangkan falaha maknanya menunjukkan pada aktivitas yang dilakukan petani, yaitu mencangkul, menggali tanah, atau membuat lubang di tanah untuk menyimpan benih. Menurut ahli bahasa Arab maknanya sama dengan al-syaqq, yaitu membelah. (Shafwah Al-Tafaasiir [1])

 

 

Kata muflih, diterjemahkan dengan orang-orang beruntung atau memperoleh apa yang dimohon, adalah karena melihat proses yang biasa dilakukan oleh petani, di antaranya menyiram dan memberi pupuk. Pekerjaan ini biasanya dilakukan terus-menerus sehingga untuk sampai kepada waktu panen membutuhkan waktu yang cukup lama.

 

Selain itu, bisa juga dipahami bahwa yang dimaksud al-muflih adalah orang yang berusaha secara konsisten menanam benih amal saleh di dunia, kemudian menjaga dan menyuburkannya sehingga dia memperoleh hasilnya di akhirat nanti, yaitu mendapatkan surga dan selamat dari neraka.

 

Lawan dari kata al-falh adalah al-kuffar. Maknanya juga petani, tetapi dalam aktivitas yang lain. Menurut ahli bahasa, kata al-kuffar maknanya adalah al-ghithaa’ yang berarti menutup, yakni menimbun benih dengan tanah. Berdasarkan uraian ini, bisa disimpulkan bahwa aktivitas al-falh dan al-kuffar merupakan dua aktivitas yang berlawanan, yaitu pertama menggali lubang dan yang kedua menutup lubang.

 

Karena itu, orang yang muflih adalah orang yang senantiasa membuka pintu rahmat Allah SWT. Apa pun yang dikerjakannya semata-mata untuk mencari karunia dan rahmat Allah SWT. Maka, apabila karakter muflih ini bersemayam pada diri seorang pemimpin, niscaya ia akan menggunakan kemampuannya untuk mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan setiap masalah. Dalam persoalan bangsa, ia akan menggunakan potensinya untuk mewujudkan negeri yang aman dan diridai oleh Allah SWT.

 

Karena itu, yang dibutuhkan bangsa ini adalah orang-orang yang senantiasa menggunakan kemampuannya untuk perbaikan, bukan manusia-manusia yang hanya memikirkan kekuasaan, kekayaan, jabatan, atau popularitas. Bangsa ini membutuhkan orang-orang yang memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya nantinya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

 

Itulah manusia yang muflih (beruntung), yaitu mereka yang beriman kepada Allah, Alquran, hari akhir, mendirikan shalat, menunaikan zakat. Mereka adalah orang yang senantiasa menggali potensi untuk mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan, bukan menciptakan kemungkaran dan kerusakan. Wallahu A’lam

 

[Ade Nurdin]

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Buletin

Tagged with , ,

Keyakinan Yang Benar Terhadap Allah swt   Leave a comment


Urgensi Mengenal Nama dan Sifat-Nya

 

Sesungguhnya mengenal Allah dan mengilmui tentang Allah akan menghantarkan hamba kepada kecintaan, penghormatan dan pengagungan, rasa takut dan harap, serta rasa ikhlas beramal untuk-Nya. Kebutuhan seorang hamba terhadap ilmu tersebut dan memperoleh buah dari lmu tersebut merupakan kebutuhan yang paling besar, paling utama, dan paling mulia. Al Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahmengatakan, “Tidak ada kebutuhan bagi jiwa yang lebih besar daripada kebutuhan mengenal Sang Khaliq, kemudian untuk mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan merasa senang dengan pengenalannya tersebut, serta mencari wasilah terhadap-Nya dan kedekatan di sisi-Nya. Tidak ada jalan untuk mencapai hal itu kecuali dengan mengenal sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya. Semakin seorang hamba mengilmui tentang nama dan sifat Allah, dia akan lebih mengetahui tentang Allah dan semakin dekat dengan-Nya. Sebaliknya, semakin seorang hamba mengingkari nama dan sifat Allah, dia akan semakin bodoh terhadap Allah dan akan semakin benci dan jauh dari-Nya. Allah Ta’alaakan menempatkan (mengingat) seorang hamba di sisi-Nya tatkala seorang hamba memberi tempat bagi Allah dalam jiwanya”. Tidak ada jalan untuk mencapainya kecuali dengan mengenal nama dan sifat-Nya serta mempelajari dan memahami maknanya. [1]

 

Sumber Penetapan Nama dan Sifat Allah adalah al Quran dan Hadist

Dalam menetapkan nama dan sifat bagi Allah harus bersumberkan dari al Quran dan hadist, tidak boleh dengan selain keduanya. Tidak boleh menetapkan dan menolak nama dan sifat Allah berdasarkan akal dan logika semata.

Semua nama-nama yang ditetapkan bagi Allah Ta’ala bersumber dari Al Quran dan hadist yang shahih, bukan dengan akal dan hawa nafsu, karena akal tidak mampu mengetahui nama-nama yang pantas bagi Allah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al Isra’:36)

 

Yang Terlarang dalam Memahami Ayat-Ayat Sifat

Kewajiban kita adalah menetapkan nama dan sifat Allah yang telah Allah tetapkan dalam Al Quran dan disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist sesuai tekstual/ zhohirnya. Dalam memahami nash (ayat dan hadist) tentang sifat kita tidak boleh melakukan tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.

Tahrif adalah menyelewengkan makna nama atau sifat Allah dari makna sebenarnya tanpa adanya dalil. Seperti mentahrif sifat mahabbah (cinta) bagi Allah menjadi irodatul khoir (menginginkan kebaikan) atau mentahrif makna istiwa’ (menetap tinggi) menjadiistaula (berkuasa).

Ta’thil yaitu menolak nama dan sifat Allah baik secara total maupun sebagian. Seperti menolak sifat wajah dan tangan bagi Allah.

Takyif adalah menyebutkan hakekat sifat Allah tanpa menyamakannya dengan makhluk. Seperti menyatakan panjang tangan Allah adalah sekian meter. Takyif tidak boleh dilakukan terhadap sifat Allah karena Allah tidak memberitahukan bagaimana hakekat sifat-Nya dengan sebenarnya.

Tamtsil adalah menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Seperti menyatakan Allah memiliki tangan dan tangan Allah sama dengan tangan manusia.[2]

Keempat hal tersebut terlarang dalam memahami nash tentang nama dan sifat Allah. 

 

Sikap Pertengahan dalam Mengimani Nama dan Sifat Allah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Termasuk iman kepada Allah adalah beriman terhadap seluruh sifat yang Allah sifatkan bagi diri-Nya yang telah ditetapkan dalam kitab-Nya dan juga yang disifatkan oleh Rasul-Nya tanpa melakukantahrif dan ta’thil serta tanpa melakukan takyif dan tamtsil, bahkan wajib beriman bahwa Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11)[3]

Inilah keyakinan Ahlus sunnah wal jama’ah. Keyakinan yang benar dalam mengimani nama dan sifat Allah. Mereka bersikap adil, berada pertengahan antara pelaku ta’thil(ahlu ta’thil) dan pelaku tamsil (ahlu tamsil)Ahlu ta’thil mengingkari seluruh nama dan sifat yang wajib bagi Allah. Mereka terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menafikan (mengingkari) semuanya, seperti keyakinan Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Adapun kelompok yang kedua menafikan sebagiannya, seperti Asy’ariyyah danMaturidiyyah. Sedangkan ahlu tamtsil menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, seperti yang diyakini oleh kelompok Karomiyyah dan Hasyaamiyyah.[4]

Jadi, Ahlus sunnah dalam keimananan terhadap nama dan sifat Allah berada di antara dua kelompok yang menyimpang, kelompok yang yang ghuluw (bersikap berlebih-lebihan) dalam menyucikan dan menafikan sifat Allah yaitu ahlu ta’thil dan kelompok yang ghuluw dalam menetapkan sifat Allah yaitu ahlu tamsilAhlus sunnah tidak ghuluw(berlebihan) dalam menetapkan dan menafikan, mereka menetapkan nama dan sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan makhluk sebagaimana firman Allah dalam surat Asy Syuura’ di atas.

Dalam firman Allah (yang artinya) “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia’”merupakan penafian yang mengandung kesempurnaan. Ini merupakan sanggahan terhadap Ahlu tamsil. Sedangkan dalam firman Allah “Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” merupakan penetapan nama dan sifat-Nya. Ini merupakan sanggahan terhadap Ahlu ta’thil.

 

Nama Allah Tidaklah Terbatas

Nama-nama Allah tidak dibatasi bilangan tertentu. Jumlahnya tidak terbatas dan AllahTa’ala yang mengetahuinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Aku memohon kepada Engkau dengan semua nama yang menjadi nama-Mu, baik yang telah Engkau jadikan sebagai nama diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau Engkau sembunyikan menjadi ilmu ghaib di sisi-Mu.”[5]. Tidak ada seorang pun yang dapat membatasi dan mengetahui apa yang masih menjadi rahasia Allah dan menjadi perkara yang ghaib.

Adapun sabda beliau, “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, yaitu seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghafal dan faham maknanya, niscaya masuk surga”[6], tidak menunjukkan pembatasan nama-nama Allah dengan bilangan sembilan puluh sembilan. Makna yang benar adalah, sesungguhnya nama-nama Allah yang 99 itu mempunyai keutamaan bahwa siapa saja yang menghafal dan memahaminya akan masuk surga. Hal ini seperti seseorang mengatakan, “Saya punya uang 10.000 rupiah untuk disedekahkan”. Ini tidaklah menafikan bahwa saya punya uang yang lain yang tidak saya sedekahkan.[7]

 

Penyimpangan Terhadap Nama dan Sifat Allah

Terdapat beberapa praktek penyimpangan terhadap nama dan sifat Allah di masyarakat yang harus kita hindari. Allah mencela orang-orang yang melakukan penyimpangan terhadap nama dan sifat Allah. Allah berfirman (yang artinya): “Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya . Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (Al A’raf:108). Berikut adalah bentuk-bentuk penyimpangan terhadap nama dan sifat Allah: 

  1. Nama Allah digunakan untuk menamakan berhala, seperti ‘Uzza diambil dari nama Allah Al ‘Aziz.
  2. Menamai Allah dengan sesuatu yang tidak layak, seperti kaum Nasrani menyebut Allah sebagai Tuhan Bapak.
  3. Menyifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan dan celaan, padahal Allah Ta’ala Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua sifat tersebut, sebagaimana ucapan sangat kotor dari orang-orang Yahudi yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya” (QS. Ali-‘Imraan: 181).
  4. Menolak makna dari nama-nama Allah.
  5. Menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, seperti perkataan ahlu tamtsil.[8]

Buah Keimanan terhadap Nama dan Sifat Allah

Keimanan yang benar tentang nama dan sifat Allah akan memberikan buah yang manis bagi seorang mukmin. Hakekat iman yang sebenarnya adalah mengenal Rabb-Nya dan bersungguh-sungguh dalam mengenal nama dan sifat-Nya sampai mencapai derajat yakin. Sebatas pengenalan seorang hamba terhadap Allah maka sebatas itu pula keimanannya. Semakin bertambah pengenalan terhadap nama dan sifat-Nya, semakin bertambah pula pengenalan seorang hamba terhadap Rabb-Nya dan semakin bertambah pula imannya. Sebaliknya, semakin kurang pengenalan seorang hamba terhadap nama dan sifat-nya semakin berkurang pula imannya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama” (QS. Faathir:28).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maksudnya yang takut dengan rasa takut yang sebenarnya adalah para ulama yang mengenal Allah. Karena semakin mengenal Allah Al ‘AdziimAl QadiirAl ‘Aliim yang disifati dengans sifat yang sempurna dan dengan nama yang indah dan mulia, maka semakin sempurnalah pengenalan terhadap Allah dan semakin sempurna pula ilmu tentang nama dan sifat-Nya, rasa takut yang timbul akan semakin besar dan semakin bertambah”. Seorang ulama salaf mengungkapkan hal ini dalam perkatannya, ”Barangsiapa yang paling mengenal tentang Allah, maka dia yang paling takut kepada-Nya”.[9]

Semoga dengan paparan singkat ini kita menjadi lebih termotivasi untuk lebih mengenal Allah dengan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Wa shalallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

 

[Adika Mianoki]

 

_____________

[1] Dinukil dari Kitab Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar Bab “Ahammiyatul ‘ilmi bi asmaaillaahi wa shifaatihi” I/119, Syaikh ‘Abdurrozzaq al Badr, Daar Ibnu ‘Affaan

[2] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah hal 13-14, Syaikh Shalih Fauzan.

[3] Matan al ‘Aqidah al Wasitihyah

[4] Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 49, Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi, Adwaus Salaf.

[5] Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam As Shahihah (199)

[6] HR. Bukhari (7392) dan Muslim (2677)

[7] Lihat al Qowaa’idul Mustla 15, Syaikh ‘Utsaimin, Daarul Wathon.

[8] Lihat Syarh al Aqidah Wasithiyah 24, Syaikh Khalid Mushlih, Daarul Ibnul Jauzi.

[9] Dinukil dari Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar I/120-121.

 

Sumber:

At Tauhid edisi VI / 40 15 Oktober 2010

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in At-Tauhid, Buletin

Tagged with , , , ,