Archive for the ‘riwayat’ Tag

Riwayat Nabi Yusuf as   Leave a comment


Kisah Nabi Yusuf terdapat dalam satu surah penuh yang juga bernama surah Yusuf. Disebutkan bahwa sebab turunnya surah Yusuf adalah karena orang-orang Yahudi meminta kepada Rasulullah saw untuk menceritakan kepada mereka kisah Nabi Yusuf. Kisah Nabi Yusuf telah mengalami perubahan pada sebagiannya dan terdapat penambahan pada sebagiannya. Lalu Allah SWT menurunkan satu surah penuh yang secara terperinci menceritakan kisah Nabi Yusuf.

Allah SWT berfirman:

“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahuinya. ” (QS. Yusuf: 3)

Para ulama berbeda pendapat dalam hal mengapa kisah ini disebut dengan kisah yang terbaik? Ada yang mengatakan bahwa kisah ini memiliki keistimewaan dibandingkan dengan kisah-kisah Al-Qur’an yang lain dilihat dari sisi kandungannya yang memuat berbagai ungkapan dan hikmah. Ada yang mengatakan karena Nabi Yusuf mengampuni saudara-saudaranya dan bersikap sabar atas tindakan mereka. Ada yang mengatakan lagi bahwa karena di dalamnya terdapat kisah para nabi dan orang-orang saleh, terdapat juga pelajaran tentang kehormatan diri dan adanya godaan, kehidupan para raja, pria dan wanita, tipu daya kaum wanita, di dalam­nya juga disebut tentang aspek tauhid dan fiqih, pengungkapan mimpi dan penakwilannya. Di samping itu, ia adalah surah yang penuh dengan peristiwa-peristiwa dan petualangan emosi (perasaan atau cinta). Ada yang mengatakan bahwa ia disebut sebagai kisah yang terbaik karena semua orang-orang yang disebut di dalamnya pada akhirnya mendapatkan kebahagiaan. Alhasil, kita percaya bahwa terdapat sebab penting di balik keistimewaan kisah ini. Kisah dalam surah tersebut bermuara dari awal sampai akhir pada satu bentuk di mana Anda akan merasakan adanya kekuasaan Allah SWT dan terlaksananya perintah-Nya meskipun banyak manusia berusaha menentangnya:

“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya. ” (QS. Yusuf: 21)

Nabi Yusuf mendapatkan berbagai ujian dalam hidupnya. Beliau menghadapi persekongkolan jahat yang justru datang dari orang-orang yang dekat dengannya, yaitu saudara-saudaranya. Mereka merencanakan untuk membunuhnya. Rencana itu mereka buat saat Yusuf masih kecil. Kemudian Yusuf dijual di pasar budak di Mesir lalu ia dibeli dengan harga yang sangat murah. Kemudian beliau menghadapi rayuan dari istri seorang lelaki yang memiliki jabatan penting. Ketika ia menolak rayuannya, ia pun dijebloskan ke dalam penjara. Dalam beberapa waktu, beliau menjadi tahanan di penjara. Meskipun mendapatkan berbagai kehinaan ini, pada akhirnya beliau mampu menduduki tampuk kepemimpinan di Mesir. Beliau menjadi menteri dari raja yang pertama. Ia memulai dakwahnya di jalan Allah SWT dari atas panggung kekuasaan. Ia melaksanakan rencana Allah SWT dan menunaikan perintah-Nya. Demikianlah kandungan dari kisahnya.

Kisah tersebut seolah-olah menggambarkan suatu adegan film yang sangat mengagumkan, episode demi episode. Di samping itu, Anda akan dihadapkan pada satu bagian dari bagian-bagian peristiwa yang membuat Anda tercengang dan cukup mengganggu daya imajinasi Anda. Itu adalah kisah seni yang sangat mengesankan yang tidak mampu diungkapkan oleh seniman mana pun dari kalangan manusia. Pada mulanya kisah itu mengungkap mimpi dan pada akhirnya menakwilkan mimpi ini. Mimpi para nabi pasti selalu berisi kebenaran, di mana Allah SWT menyingkapkan di dalamnya berbagai peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada awal kisah, kita tidak mengetahui bahwa Yusuf adalah seorang Nabi. Begitu juga konteks Al-Qur’an terkesan menyembunyikan nama ayahnya, yaitu Nabi Yakub sebagaimana disampaikan oleh Nabi saw. Jadi, kita berhak untuk merenungkan mimpi tersebut dengan penuh keheranan. Layar akal pertama-tama menampilkan pemandangan mimpi. Perhatikanlah film yang dimulai dengan mimpi. Mimpi identik dengan tidur, dan permulaan kisah apa pun yang dimulai dengan tidur tidak terlepas dari rasa kantuk. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah faktor-faktor daya tarik cerita itu sendiri. Al-Qur’an menceritakan bagaimana Nabi Yusuf menyampaikan mimpinya kepada ayahnya:

“(Ingatlah), Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: ‘Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”‘ (QS. Yusuf: 4)

Amatilah bentuk tantangan yang diwujudkan oleh adanya mimpi yang membangkitkan daya khayal. Perhatikanlah potensi imajinasi bagaimana ia menjalankan aktifitasnya. Sesungguhnya otak manusia merupakan suniber masalah di rnana ia menciptakan di dalamnya suatu gambar dari sujudnya matahari, bulan dan bintang. Dengan gambaran mukjizat ini yang menantang imajinasi para ahli seni dan film, kisah Nabi Yusuf dimulai. Atau, dimulailah video visual dari kisah Nabi Yusuf sebagaimana yang diceritakan oleh Allah SWT dalam kitab-Nya. Nabi Yusuf melihat mimpi dan ia sekarang membeberkannya kepada ayahnya:

“Ayahnya berkata: ‘Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.'” (QS. Yusuf: 5)

Si ayah mengingatkannya agar jangan sampai ia menceritakannya kepada saudara-saudaranya. Sesungguhnya saudara-saudara Nabi Yusuf tidak mencintainya dan tidak menyukai kedekatannya dengan ayahnya, dan mereka juga tidak simpati dengan perhatian si ayah padanya. Yusuf bukanlah saudara kandung mereka di mana Nabi Yakub menikahi istri kedua yang tidak melahirkan baginya anak-anaknya dan lahirlah darinya Yusuf dan saudara kandungnya. Yusuf bin Yakub dan Yakub bin Ishak bin Ibrahim. Silsilah suci dalam rotasi suci. Ketika mendengar mimpi anaknya, Nabi Yakub merasa bahwa anaknya itu akan mengemban suatu urusan besar, yaitu rotasi kenabian yang berada di sekitarnya. Sebagian ulama berkata: “Nabi Yakub merasa bahwa Allah SWT memilih Yusuf melalui mimpi ini”: •

“Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi nabi) dan di ajarakan-Nya kepadamu sebagian dari tabir mimpi-mimpi.” (QS. Yusuf: 6)

Makna takwil adalah mengetahui akhir dari sesuatu dan kemampuan untuk menyingkap suatu kesimpulan, juga mengetahui rahasia yang belum terjadi. Lalu apa yang dimaksud dengan ahadist? Mereka mengatakan bahwa ia adalah mimpi. Nabi Yusuf akan mampu menafsirkan mimpi di mana melalui simbol-simbolnya yang tersembunyi, ia mampu melihat apa yang akan terjadi di masa depan. Ada yang mengatakan bahwa ahadist adalah peristiwa-peristiwa. Nabi Yusuf akan mengetahui kesudahan dari suatu peristiwa, baik dari permulaannya dan akhirannya. Allah SWT akan memberikan ilham padanya sehingga ia mengetahui takwil mimpi.

“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Yusuf: 6)

Pada akhir pembicaraannya, Nabi Yusuf mengembalikan ilmu dan hikmah kepada Allah SWT. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut bukan termasuk bagian dari dialog Nabi Yakub bersama anaknya Yusuf, namun ia merupakan pujian dari Allah SWT terhadap Yusuf. Perkataan tersebut dimasukan dalam rangkaian kisah sejak permulaannya, padahal ia bukan bagian darinya. Jadi, sejak semula Nabi Yusuf dan Nabi Yakub tidak mengeta­hui takwil dari mimpinya. Kami memilih pendapat ini (pendapat ini dikemukakan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya: Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an. Kalau begitu, kita memahami dialog dalam bentuk pemahaman yang lain. Sesungguhnya Allah SWT menceritakan di sini bagaimana Dia memilih Yusuf. Ini berarti proses kenabian Yusuf, dan bukan mengajarinya untuk menakwilkan mimpi serta memberitahunya tentang hakikat simbol-simbol yang ada dalam kehidupan atau dalam mimpi, selain mukjizat-mukjizatnya sebagai seorang nabi. Dan Allah SWT Maha Mengetahui kepada siapa agamanya diserahkan. Nabi Yakub mendengarkan mimpi anaknya dan mengingatkannya agar jangan menceritakannnya kepada saudara-saudaranya. Yusuf memenuhi permintaan ayahnya. Ia tidak menceritakan pada saudara-saudaranya apa yang dilihatnya. Yusuf berprasangka bahwa mereka membencinya sampai pada batas di mana sulit baginya untuk merasa nyaman bersama mereka, dan kemudian menceritakan kepada mereka rahasia-rahasianya yang khusus dan mimpi-mimpinya. Tersembunyilah penampilan Nabi Yakub dan anaknya, lalu layar film menampilkan kejadian lain, yaitu saudara-saudara Nabi Yusuf yang membuat persengkokolan:

“Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya. (Yaitu) ketika mereka berkata: Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita ada dalam kekeliruan yang nyata. Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia he suatu (daerah yang tidak di kenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik. Seorang di antara mereka berkata: ‘Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dalam sumur, supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat. ” (QS. Yusuf: 7-10)

Di dalam lembaran-lembaran perjanjian lama disebutkan bahwa Nabi Yusuf menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya. Tidak terdapat isyarat Al-Qur’an yang menunjukkan hal itu. Kalau memang demikian, niscaya saudara-saudaranya akan menceritakan hal itu dan kedengkian mereka akan semakin bertambah sehingga mereka segera membunuhnya. Yusuf percaya dengan pesan ayahnya dan ia tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudara­nya. Meskipun demikian, saudara-saudaranya tetap merencanakan konspirasi dan niat jahat padanya. Salah seorang mereka berkata: “Mengapa ayah kita lebih mencintai Yusuf daripada kita?” Saudara yang kedua berkata: “Barangkali karena ketampanannya.” Saudara ketiga berkata: ‘Yusuf dan saudaranya kedua-duanya mendapat tern-pat di had ayahnya.” Saudara yang pertama berkata: “Sungguh ayah kita telah sesat.” Salah seorang mereka mengusulkan sebuah solusi: “Kalau begitu bunuhlah Yusuf.” “Mengapa kita membunuhnya? lebih baik kita membuangnya di bumi yang jauh. Mengapa kita tidak membunuhnya, lalu kita merasa tenang.” Salah seorang di antara mereka berkata: “Mengapa ia harus dibunuh? Apakah kalian ingin menghindar darinya? Kalau begitu, lebih baik kita mem­buangnya ke dalam sumur yang di situ menjadi tempat lewatnya para kafilah. Maka kafilah itu akan mengambilnya dan membawanya ke tempat yang jauh sehingga ia jauh dari wajah ayahnya. Dengan jauhnya Yusuf, maka tujuan kita tercapai. Kemudian setelah itu, kita bertaubat dari kejahatan kita dan kita kembali menjadi orang-orang yang baik.”

Dialog tersebut terus berlanjut setelah timbul ide untuk memasukan Yusuf ke sumur. Namun mereka tetap kembali pada ide-ide itu karena ia dianggap sebagai ide yang paling aman. Ide untuk membunuh diurungkan. Kemudian timbullah ide untuk menjauhkan dan membuang Yusuf. Itu dianggap ide yang paling cemerlang. Dari sini kita memahami bahwa saudara-saudara Yusuf, meskipun kejahatan mereka dan kedengkian mereka sangat kental, namun dalam had mereka masih tersisa titik-titik kebaikan. Akhirnya, ide untuk membuangnya ke sumur diputuskan. Kemudian mereka sepakat untuk melaksanakan rencana itu:

“Mereka berkata: ‘Wahai ayah kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya. Biarkan dia pergi bersama kami esok pagi, agar ia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main, dan sesungguhnya kami pasti menjaganya.’ Berkata Yakub: ‘Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkankanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah darinya. Mereka berkata: ‘Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesung­guhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'” (QS. Yusuf: 11-14)

Terjadilah dialog antara mereka dan ayahnya dengan penuh kelembutan dan dendam yang tersembunyi. Mengapa engkau tidak merasa aman ketika kami pergi dengan Yusuf? Apakah Yusuf dapat menjadi saudara kandung kami, lalu mengapa engkau khawatir kepada kami jika kami membawanya. Bukankah kami mencintainya dan nanti akan menjaganya. Mengapa engkau tidak membiarkannya pergi bersama kami besok untuk bersenang-senang dan bermain. Bukankah ketika ia pergi dan main-main, itu dapat menghiburnya? Lihatlah wajahnya tampak pucat karena ia sering berdiam di rumah, seharusnya ia harus bermain agar tampak ceria. Masalahnya adalah, Yakub khawatir terhadap serigala-serigala gurun. Apakah yang dimaksud Yakub adalah serigala-serigala yang ada dalam diri mereka atau serigala-serigala hakiki, yaitu binatang yang buas? Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Mereka membujuk ayahnya agar mengizinkan Yusuf pergi dengan mereka. Akhirnya, mereka berhasil meyakinkan ayahnya yang sangat khawa­tir kalau-kalau Yusuf dimakan oleh serigala. Apakah ini masuk akal? Kami sepuluh orang laki-laki, maka mana mungkin kami yang banyak ini lalai darinya? Sungguh kami akan kehilangan sifat kejantanan kami seandainya terjadi peristiwa itu. Kami jamin bahwa tidak ada seekor serigala pun yang akan memakannya. Karena itu, ddak ada yang perlu dikhawatirkan. Si ayah berdiri di bawah tekanan anak-anaknya. Mereka pun berhasil menemani Yusuf pada hari berikutnya dan pergi dengannya ke gurun. Mereka menuju tempat yang jauh yang belum pernah mereka berjalan sejauh itu. Mereka mencari sumur yang di situ sering dilewati oleh para kafilah dan mereka berencana untuk memasukan Yusuf ke dalam sumur itu. Allah SWT mengilhamkan kepada Yusuf bahwa ia akan selamat, maka ia tidak perlu takut. Allah SWT menjamin bahwa Yusuf akan bertemu dengan mereka pada suatu hari dan akan memberitahu mereka apa yang mereka lakukan kepadanya.

Salesailah satu adegan dan akan dimulai adegan yang lain. Kita bisa membayangkan bahwa Yusuf sempat melakukan perlawanan kepada mereka namun mereka memukulnya dan mereka memerintahnya untuk melepas bajunya, lalu mereka menceburkannya ke dalam sumur dalam keadaan telanjang. Kemudian Allah SWT mewahyukan kepadanya bahwa ia akan selamat dan karenanya ia tidak perlu takut. Di dalam sumur itu terdapat air, namun tubuh Nabi Yusuf tidak terkena hal yang membahayakan. Ia sendirian duduk di sumur itu, kemudian ia bergantungan dengan batu:

“Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil menangis. Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Yakub berkata: ‘Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.'” (QS. Yusuf: 16-18)

Peristiwa ini terjadi di malam yang gelap. Tetapi kegelapan itu segera dipecah oleh tangisan sepuluh orang lelaki. Sementara itu, si ayah duduk di rumahnya lalu anak-anaknya masuk menemuinya di tengah-tengah malam di mana kegelapan malam menyembunyikan kegelapan had dan kegelapan kebohongan yang siap ditampakkan. Nabi Yakub bertanya: “Mengapa kalian menangis? Apakah terjadi sesuatu pada kambing? Mereka berkata sambil meningkatkan tangisannya:

“Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan pernah percaya kami, walaupun kami adalah orang-orang yang benar. ” (QS. Yusuf: 17)

“Setelah kembalinya kita dari adu lari, kita dikagetkan ketika melihat Yusuf telah berada di perut serigala. Kita tidak menemukan Yusuf. Mungkin engkau tidak percaya kepada kami meskipun kami jujur, tetapi kami menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi. Kita tidak berbohong kepadamu. Sungguh Yusuf telah dimakan oleh serigala. Inilah pakaian Yusuf. Kita menemukan pakaian Yusuf berlumuran darah sedangkan Yusuf tidak kita temukan:

“Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. ” (QS. Yusuf: 18)

Mereka menyembelih kambing atau rusa lalu melumurkan darah palsu ke pakaian Yusuf. Mereka lupa untuk merobek-robek pakaian Yusuf. Mereka malah membawa pakaian sebagaimana biasanya (masih utuh) tetapi hanya berlumuran darah. Mereka melemparkan pakaian Yusuf di depan ayahnya yang saat itu sedang duduk. Nabi Yakub memegang pakaian anaknya. Lalu ia mengangkat pakaian itu dan memperhatikannya di bawah cahaya yang terdapat dalam kamar. Ia membalik-balikkan baju itu di tangannya namun ia mendapatinya masih utuh dan tidak ada tanda-tanda cakaran atau robek. Serigala apa yang makan Yusuf? Apakah ia memakannya dari dalam pakaian tanpa merobek pakaiannya? Seandainya Yusuf mengenakan pakaiannya lalu ia dimakan oleh serigala, niscaya pakaian tersebut akan robek. Seandainya ia telah melepas bajunya untuk bermain dengan saudara-saudaranya, maka bagaimana pakaian tersebut dilumuri dengan darah sementara saat itu ia tidak menggunakan pakaian? Melalui bukti-bukti itu, Nabi Yakub mengetahui bahwa mereka berbohong. Yusuf tidak dimakan oleh serigala. Si ayah mengetahui bahwa mereka berbohong. Ia mengungkapkan hal ini dalam perkataannya:

“Yakub berkata: ‘Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.'” (QS. Yusuf: 18)

Demikianlah perilaku nabi yang bijaksana. Ia meminta agar diberi kesabaran dan memohon pertolongan kepada Allah SWT atas apa yang mereka lakukan terhadap anaknya. Selanjutnya, terdapat kafilah yang berjalan menuju ke Mesir, yaitu satu kafilah besar yang berjalan cukup jauh sehingga dinamakan sayyarah. Semua kafilah itu menuju ke sumur. Mereka berhenti untuk menambah air. Mereka mengulurkan timba ke sumur. Lalu Yusuf bergelantungan dengannya. Orang yang mengulurkannya mengira bahwa timbanya telah penuh dengan air lalu ia menariknya. Tiba-tiba, “Oh ini anak kecil.” Di zaman itu ditentukan bahwa siapa yang menemukan sesuatu yang hilang, maka ia akan memilikinya. Demikianlah undang-undang yang ditetapkan saat itu. Mula-mula orang yang menemukannya gembira tetapi ia berpikir tentang tanggung jawab yang harus dipikulnya, dan kemudian dmbullah rasa khawatir dalam dirinya. Kemudian untuk menghindar darinya ia menetapkan untuk menjualnya saat ia tiba di Mesir. Akhirnya, ketika ia sampai di Mesir ia segera menjualnya di pasar budak dengan harga yang sangat murah di mana ia dibeli oleh seorang lelaki yang mempunyai kepentingan dengannya:

“Kemudian datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, maka dia menurunkan timbanya, dia berkata: ‘Oh; kabar gembira, ini seorang anak muda!’ Kemudian mereka menyembunyikan dia sebagai barang dagangan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka tidak tertarik hatinya hepada Yusuf. Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya: ‘Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi ia bermanfaat kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak.’ Dan demikianlah Kami berikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir) dan agar Kami ajarkan kepadanya ta’bir mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. ” (QS. Yusuf: 19-21)

Perhatikanlah bagaimana Allah SWT mengungkap kandungan cerita yang jauh pada permulaannya: “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. ”

Yusuf benar-benar diuji dengan ujian yang berat. Ia dimasukkan dalam sumur, ia dihinakan, ia dijauhkan dari ayahnya, ia diambil dari sumur lalu menjadi budak yang dijual di pasar, ia dibeli oleh seorang lelaki dari Mesir lalu menjadi seseorang yang dimiliki oleh lelaki itu. Demikanlah cerita demi cerita telah dialaminya. Yusuf tampak tidak memiliki daya dan upaya. Demikianlah prasangka manusia mana pun tetapi hakikat selalu berlawanan dengan prasangka. Yang dapat kita bayangkan adalah bahwa itu adalah sebuah tragedi, ujian, dan fitnah. Allah SWT pasti memenangkan urusan-Nya. Dia akan memuluskan langkah-Nya meskipun banyak orang yang berusaha menghentikannya. Allah SWT akan mewujudkan janji-Nya dan akan menggagalkan kejahatan orang lain. Allah SWT telah menjanjikan kepada Yusuf bahwa ia akan dijadikan Nabi.

Yusuf mendapatkan tempat di hati seseorang yang membelinya, yaitu seorang bangsawan yang berkata kepada istrinya: “Hormatilah ia, karena barangkali ia bermanfaat bagi kita atau kita dapat menjadikannya sebagai anak.” Lelaki ini bukanlah orang sembarangan tetapi ia seorang yang penting. Ia termasuk seseorang yang berasal dari pemerintah yang berkuasa di Mesir. Kita akan mengetahui bahwa ia adalah seorang menteri di antara menteri-menteri raja. Seorang menteri yang penting yang Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah al-Aziz. Orang-orang Mesir kuno terbiasa untuk menyebutkan sifat seperti nama atau identik dengan nama terhadap para menteri. Misalnya, mereka mengatakan: Ini adalah al-Aziz (orang yang mulia), ini adalah al-‘Adil (orang yang adil), ini adalah al-Qawi (orang yang kuat), dan seterusnya. Alhasil, pendapat yang paling kuat adalah, bahwa al-Aziz ini kepala menteri di Mesir.

Demikianlah Allah SWT menguatkan Yusuf di muka bumi. Ia terdidik di masa kecil di rumah seorang lelaki yang berkuasa dan Allah SWT akan mengajarinya takwil mimpi. Dan pada suatu hari, raja akan membutuhkannya untuk menduduki jabatan di Mesir. Allah SWT akan memenangkan urusan-Nya tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Semua itu terwujud melalui suatu ujian berat yang dialami oleh Yusuf. Nabi Yusuf adalah orang yang paling tampan di masanya, di mana wajahnya mengundang decak kagum orang yang melihatnya. Sikapnya yang sopan dan penuh dengan keanggunan moral semakin menambah ketampanannya. Hari demi hari berlalu. Yusuf pun semakin tumbuh besar:

“Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 22)

Yusuf diberi kemampuan untuk mengendalikan suatu masalah dan ia diberi pengetahuan tentang kehidupan dan peristiwa-peristiwanya. Ia juga diberi metode dialog yang dapat menarik simpati orang yang mendengarnya. Yusuf diberi kemuliaan sehingga ia menjadi pribadi yang agung dan tak tertandingi. Tuannya mengeta­hui bahwa Allah SWT memuliakannya dengan mengirim Yusuf padanya. Ia mengetahui bahwa Yusuf memiliki kejujuran, kemu­liaan, dan istiqamah (keteguhan) lebih dari siapa pun yang pernah ditemuinya dalam kehidupan.

Sementara itu, istri al-Aziz selalu mengawasi Yusuf. Ia duduk di sampingnya dan berbincang-bincang bersamanya. Ia mengamati kejernihan mata Yusuf. Lalu ia bertanya kepadanya dan mendengarkan jawaban dari Yusuf. Akhirnya, kekagumannya semakin bertambah pada Yusuf. Al-Qur’an melukiskan kisah terakhir dari perjalanan cinta ini di mana si wanita itu mulai menggunakan siasat dan taktik untuk memperdaya Yusuf:

“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu seraya berkata: ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata: ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang yang lalim tiada beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikan dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba yang terpilih. ” (QS. Yusuf: 23-24)

Al-Qur’an tidak menyebut sedikit pun tentang berapa usia wanita itu dan berapa usia Yusuf. Kita dapat mengamati hal itu hanya dengan perkiraan. Ia menghadirkan Yusuf saat beliau masih kecil dari sumur. Dia adalah seorang istri yang misalnya berusia dua puluh tiga sementara Yusuf berusia dua belas tahun. Setelah tiga belas tahun, ia berusia tiga puluh enam sementara Yusuf berusia dua puluh lima. Apakah peristiwa itu memang terjadi di usia ini? Boleh jadi memang demikian. Tindakan wanita itu dalam peristiwa itu dan peristiwa sesudahnya menunjukkan bahwa ia wanita yang sudah matang dan cukup berani. Peristiwa ini yang diungkapkan oleh Al-Qu’ran al-Karim merupakan puncak dari peristiwa-peristiwa yang lalu yang sangat mengganggu daya imajinasi kita.

Sungguh istri al-Aziz sangat mencintai Yusuf. Ia merayunya dengan cara terang-terangan lalu ia menutup pintu-pintu sambil berkata: “Hai Yusuf kemarilah kau ke sini. Kali ini engkau tidak akan dapat lari dariku.” Ini berarti bahwa terdapat peristiwa sebelumnya di mana Yusuf dapat menghindar darinya. Peristiwa sebelumnya tidak disampaikan dengan cara terang-terangan seperti ini. Yusuf telah terdidik di istana seorang menteri besar di Mesir. Anda bisa membayangkan bagaimana Yusuf tinggal di lingkungan yang mewah yang dikelilingi dengan wanita-wanita cantik. Yusuf adalah seorang pemuda yang dibeli oleh suaminya dan menjadi budaknya. Ia memanggilnya di tempat tidurnya dan memerintahkannya untuk menghadirkan gelas minuman, misalnya. Atau tampak padanya bajunya yang tipis atau ia menampakan padanya kecantikannya atau ia merayunya dengan rayuan yang biasa dilakukan oleh kaum wanita terhadap kaum pria.

Bayangkanlah semua ini di mana mereka berdua selama beberapa tahun tinggal di satu rumah dan di bawah satu atap. Wanita itu menggoda Yusuf dan merayunya, sementara Yusuf masih bertahan dengan ketakwaannya. Wanita itu terbelenggu dengan hawa nafsunya. Kemudian datanglah hari yang terakhir. Wanita itu bosan dengan sikap tidak peduli ini dan sikap pura-pura tidak tahu ini. Ia menentukan untuk mengubah rencananya. Ia tidak lagi menggunakan bahasa isyarat dia lebih memilih bahasa terang-terangan. Ia menutup semua pintu dan menyobek cadar rasa malu dan ia menjelaskan cintanya kepada Yusuf.

Barangkali ia berkata kepada Yusuf: ‘Yusuf, alangkah tampan wajahmu.” Dan barangkali Yusuf akan berkata demikian: “Tuhanku menggambarkan aku sebelum aku diciptakan.” Wanita itu berkata sambil mendekati Yusuf: “Yusuf, alangkah halusnya rambutmu.” Yusuf berkata: “Ia adalah sesuatu yang pertama kali hancur dariku saat aku berada dalam kuburan.” Wanita itu berkata: “Alangkah jernih kedua matamu.” Yusuf berkata: “Dengan keduanya aku melihat apa yang diciptakan oleh Tuhanku.” Wanita itu berkata: “Bukankah aku adalah sesuatu yang diciptakan oleh Tuhanmu? Angkatlah pandangan matamu dan lihatlah wajahku.” Yusuf ber­kata: “Aku takut pada hari kiamat.” Wanita itu berkata: “Aku mendekat padamu tetapi engkau malah menjauh dariku.” Yusuf berkata: “Aku ingin mendekat pada Tuhanku.” Wanita itu berkata: “Aku telah dikuasai oleh perasaan cinta padamu. Aku menjadi bagian dari udara yang aku hirup dan yang aku bernapas darinya. Engkau tidak akan lari dariku.” Yusuf mengetahui bahwa ia mengajaknya untuk mendekati, lalu beliau berkata: “Aku berlindung kepada Allah SWT. Aku meminta ampun kepada Allah SWT Yang Maha Agung. Tuhan Pencipta alam semesta telah memuliakan aku dengan rumah ini, dan pemilik rumah ini telah memuliakan aku dengan kepercayaannya. Maka siapakah yang aku khianati? Dan keselamatan apa yang aku harapkan bagi diriku jika aku memang melakukan apa yang engkau inginkan.” Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikan dia tidak melihat tanda (dan) Tuhannya.”

Para ahli tafsir sepakat tentang keinginan wanita itu untuk mela­kukan maksiat, sedangkan mereka berselisih pendapat tentang hasrat yang ada pada Nabi Yusuf. Ada yang mengatakan bahwa wanita itu memang ingin melakukan maksiat dengannya dan Yusuf pun memiliki perasaan yang sama, namun ia tidak sampai melakukannya. Ada yang mengatakan lagi bahwa wanita itu berhasrat untuk menciumnya dan Yusuf berhasrat untuk memukulnya. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa hasrat ini memang terdapat di antara mereka sebelum terjadinya peristiwa ini. Ia merupakan gerakan jiwa yang terdapat dalam diri Yusuf saat beliau menginjak usia puber kemudian Allah SWT memalingkannya darinya. Dan sebaik-baik tafsir yang cukup menenangkan saya bahwa di sana terdapat pendahuluan dan pengakhiran dalam ayat tersebut.

Abu Hatim berkata: “Aku membaca bagian yang unik dari Al-Qur’an pada Abu Ubaidah dan ketika aku sampai pada firman-Nya”: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu,”

Abu Ubaidah berkata: “Ini berdasarkan pendahuluan dan peng­akhiran. Dengan pengertian bahwa wanita itu benar-benar cenderung pada Yusuf, dan seandainya Yusuf tidak melihat tanda kebenaran dari Tuhannya niscaya ia pun akan cenderung padanya. Saya kira tafsir ini sesuai dengan kemaksuman para nabi sebagaimana ia juga sesuai dengan konteks ayat yang datang sesudahnya”: “Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuh hamba-hamba yang terpilih.”

Ayat tersebut menetapkan bahwa Nabi Yusuf termasuk hamba-hamba Allah SWT yang ikhlas, pada saat yang sama menetapkan juga kebebasannya dari pengaruh kekuasaan setan. Allah SWT berkata kepada Iblis pada hari penciptaan:

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-arang yang sesat. ” (QS. al-Hijr: 42)

Selama Yusuf termasuk hamba-hamba-Nya yang ikhlas, maka ia akan tersucikan dari berbagai dosa. Ini tidak berarti bahwa Yusuf sunyi dari perasaan kejantanan dan ini juga tidak berarti bahwa Yusuf berada dalam kesucian para malaikat di mana mereka tidak terpengaruh dengan daya tarik materialis (bendawi). Namun ini berarti bahwa beliau menghadapi godaan yang cukup lama dan beliau mampu untuk melawannya, dan jiwanya tidak cenderung padanya. Kemudian beliau dibimbing dan ditenangkan oleh ketakwaannya yang mampu melihat tanda-tanda kebenaran dari Tuhannya. Apalagi Yusuf adalah putra Yakub, seorang Nabi, putra Ibrahim, kakek para Nabi dan kekasih Allah SWT.

Terjadilah perkembangan pergulatan antara mereka berdua. Dialog telah berkembang dari bahasa lisan menuju bahasa tangan. Istri menteri itu mengulurkan tangannya kepada Yusuf dan berusaha untuk memeluknya. Yusuf berputar dalam keadaaan pucat wajahnya dan berlari menuju ke pintu. Lalu ia dikejar oleh wanita itu dan wanita itu menarik-narik pakaiannya seperti orang tenggelam yang memegang perahu. Kedua-duanya sampai ke pintu. Tiba-tiba pintu itu terbuka namun suaminya datang bersama salah satu kerabatnya:

“Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu.” (QS. Yusuf: 25-29)

Wanita yang sedang mabuk cinta kepada Yusuf itu melihat suaminya muncul di tengah-tengah peristiwa itu, ia segera menggunakan kelicikannya. Jelas sekali bahwa di sana terdapat pergula­tan. Yusuf tampak gemetar dengan penuh rasa malu dan butiran-butiran keringat mengalir dari keningnya. Sebelum suaminya membuka mulutnya untuk mengawali pembicaraan, wanita itu mendahuluinya dengan melontarkan tuduhan kepada Yusuf: “Wanita itu berkata: ‘Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yangpedih?'”

Ia menuduh Yusuf telah merayunya. Ia mengatakan bahwa Yusuf berusaha memperkosanya. Yusuf memandangi wanita itu dengan kepolosan dan kesabaran. Sebenarnya Yusuf berusaha menyembunyikan rahasia wanita itu namun ketika ia mulai menuduhnya Yusuf terpaksa mempertahankan dirinya. “Yusuf berkata: ‘Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya).”

Kini giliran si suami untuk menunjukkan reaksinya. Kami kira ia berkata: “Pelankanlah suara kalian berdua. Sesungguhnya di rumah ini terdapat banyak budak dan pembantu. Ini adalah masalah khusus.” Kepala menteri itu adalah seorang tua yang terkesan tenang dan tidak gampang emosi. Peristiwa ini terjadi di kalangan kelompok masyarakat yang bergaya hidup mewah, bukan kaum tradisional sehingga mereka cenderung menggunakan cara-cara yang bijak dan terbaik dalam menyelesaikan masalah. Kemudian kepala menteri itu duduk dan mulai mengusut kejadian itu. Ia bertanya kepada istrinya dan juga bertanya kepada Yusuf. Kemu­dian orang yang ada di dekat wanita itu berkata: “Sesungguhnya kunci persoalan ini terletak pada pakaian Yusuf. Jika pakaiannya robek dari depan, maka ini berarti Yusuf memang ingin memperkosanya. Wanita itu akan merobek pakaian Yusuf untuk mempertahankan dirinya.”

Si suami berkata: “Lalu bagaimana jika pakaiannya robek dari belakang.” Seorang penengah dari keluarganya berkata: “Maka ini berarti wanita itu yang merayunya. Jadi kunci dari peristiwa ini ada pada pakaian Yusuf.” Akhirnya, pakaian itu berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Kemudian seorang penengah dari keluarganya mengamati pakaian itu, lalu ia mendapatinya dalam keadaan robek dari belakang. Selanjutnya, kepala menteri itu pun melihatnya dan ia juga mendapatinya dalam keadaan robek dari belakang. Maka secara otomatis tuduhan itu dibalikkan pada si istri. Allah SWT menceritakan peristiwa ini dalam firman-Nya: “Dan seorang saksi keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: ‘Jika baju gamisnya itu koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang berdusta dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.’ Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf terkoyak di belakang berkatalah ia: ‘Sesungguhnya (kejadian) itu adalah tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar.'”

Ketika si suami memastikan pengkhianatan istrinya, ia tampak tenang-tenang saja dan tidak menunjukkan emosi yang berlebihan, bahkan ia tidak berteriak dan tidak marah. Aturan kelompok terpandang saat itu memaksanya untuk menyikapi suatu persoalan dengan penuh ketenangan dan kelembutan. Ia berkata: “Sesung­guhnya ini adalah bagian dari tipu daya kalian, hai para wanita.” Ia menisbatkan apa yang dilakukan oleh istrinya kepada tipu daya yang umumnya dikerjakan oleh para wanita. Ia menegaskan bahwa tipu daya perempuan umumnya sangat besar (berbahaya). Kemu­dian ia menoleh pada Yusuf sambil berkata: “Hai Yusuf berpalinglah dari masalah ini. Lupakanlah masalah ini dan janganlah engkau terlalu peduli dengannya serta jangan pula engkau menceritakannya. Inilah yang penting, yaitu menjaga hal-hal yang telah terjadi. Kami tidak ingin masalah ini akan mencuat ke permukaan.”

Kemudian si suami merasa bahwa ia belum mengatakan sesuatu pun kepada istrinya selain pernyataannya yang berhubungan dengan tipu daya kaum wanita secara umum. Ia ingin berkata kepa­da istrinya tentang sesuatu yang khusus. Ia berusaha untuk bersikap keras pada istrinya tetapi kekerasan itu berakhir dengan kelembutan yang terwujud dalam ucapannya: “Dan (kamu hai istriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesunguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah. ”

Setelah pernyataan yang pertama dan nasihat yang terakhir, si suami mengakhiri masalah tersebut, lalu Yusuf pun pergi. Tuan rumah itu tidak meminta perincian atau kronologis peristiwa yang terjadi antara istrinya dan pemuda yang mengabdi padanya. Yang ia minta adalah agar pembicaraan ini ditutup sampai di sini saja. Tetapi masalah ini sendiri meskipun terjadi di kalangan masyarakat yang terpandang tidak dapat begitu saja di tutup. Alhasil, masa­lah tersebut akhirnya tersebar kemana-mana. Peristiwa itu tersebar dari satu istana ke istana-istana penguasa saat itu. Kemudian wanita-wanita yang tinggal di istana itu mulai ramai-ramai menjadikannya sebagai bahan cerita. Kemudian masalah itu pun tersebar di penjuru kota:

“Dan wanita-wanita di kota berkata: ‘Istri al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangan itu adalah sangat mendalam, Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata. ” (QS. Yusuf: 30)

Di sini kita mengetahui bahwa yang dimaksud wanita dalam kasus roman itu adalah istri dari al-Aziz dan bahwa laki-laki itu yang membeli Yusuf dari Mesir itu adalah seorang menteri di Mesir, yakni seorang pembesar atau tokoh atau ketua dari para menteri. Barangkali ketika membeli Yusuf, ia masih menjadi menteri biasa lalu setelah itu ia naik jabatan. Dan sekarang ia menjadi kepala menteri di Mesir.

Akhirnya berita tersebut berpindah dari satu mulut ke mulut yang lain, dan dari satu rumah ke rumah yang lain sehingga sampailah berita itu ke telinga istri al-Aziz. Barangkali dikatakan kepa­danya: “Penduduk kota banyak yang membicarakan kisah romantismu.” la berkata: “Kisah romantisku dengan siapa?” Dikatakan padanya: “Dengan Yusuf.” Ia berkata: “Aku memang tidak dapat memungkiri bahwa aku mencintainya.” Dikatakan kepadanya: “Semua istri menteri membicarakan tentang kecenderunganmu padanya.” Ia berkata: “Apa yang mereka katakan?” Dikatakan kepa­danya: “Sunguh engkau berada di dalam kesesatan yang nyata.” Ia berkata mulai tampak emosinya: “Kesesatan apa? Siapa yang mengatakan bahwa aku tersesat. Tidakkah wanita-wanita itu pernah melihat bagaimana si Yusuf? Apakah mereka mengetahui daya tariknya? Siapa mereka itu yang mengatakan demikian? Sebutkanlah padaku nama-nama wanita-wanita yang banyak bicara itu.”

Istri al-Aziz terdiam sebentar dan tampaknya ia sedang berpikir. Kemudian ia telah menetapkan sesuatu dan memerintahkan untuk mendatangkan parajuru masak. Akhirnya, para juru masak datang ke istana. Ia memberitahu mereka bahwa ia akan menyiapkan suatu jamuan besar di istana. Ia telah memilih berbagai macam hidangan dan minuman. Ia telah memerintahkan agar diletakkan pisau-pisau yang tajam di sebelah buah-buah apel yang dihidangkan, dan hendaklah juga diletakkan kain putih di sebelah wadah atau piring-piring yang di situ diletakkan apel, juga diletakkan bantal-bantal yang memang saat itu menjadi tradisi masyarakat timur. Kemudian ia mengundang kaum hawa yang membicarakan petualangan cintanya dengan Yusuf. Akhirnya, datanglah hari jamuan itu. Wanita-wanita dari kalangan masyarakat elit segera berdatangan menuju ke istana kepala menteri. Istri al-Aziz memanfaatkan acara itu sebagai kesempatan emas untuk menunjukkan seorang pemuda yang paling tampan dan paling mengagumkan.

Undangan tersebut dibatasi hanya di kalangan wanita sehingga mereka lebih leluasa dan lebih bebas untuk mendengarkan cerita dan untuk mengobrol. Mereka duduk dan besandar di atas bantal-bantal sambil makan dan minum. Pesta jamuan itu terus berlangsung di mana dihidangkan di atasnya makanan yang istimewa dan minuman yang dingin dan sangat menyenangkan orang yang melihatnya.

Tempat pesta itu dipenuhi dengan berbagai macam komentar dan berbagai macam canda tawa. Kami kira bahwa setiap wanita yang hadir di tempat itu sengaja menahan lidahnya agar jangan sampai menyentuh kisah Yusuf. Sebenarnya mereka semua mengetahui peristiwa yang terjadi antara Yusuf dan wanita perdana menteri itu, tetapi mereka sengaja menyembunyikannya seakan-akan mereka tidak mengetahuinya. Demikianlah aturan main yang biasa dipegang oleh kalangan elit dari masyarakat saat itu. Namun, istri al-Aziz, sebagai tuan rumah, justru mengguggah mereka dan ia justru membuka persoalan tersebut: “Aku mendengar ada wanita-wanita yang mengatakan bahwa aku jatuh cinta pada seorang pemuda yang bernama Yusuf.” Tiba-tiba keheningan yang menyelimuti meja makan itu runtuh dan tangan-tangan para undangan nyaris lumpuh. Istri al-Aziz benar-benar mencuri kesempatan itu. Ia bercerita sambil memerintahkan para pembantunya untnk menghadirkan apel. “Aku mengakui bahwa memang Yusuf seorang pemuda yang mengagumkan. Aku tidak mengingkari bahwa aku benar-benar mencintainya, dan aku telah mencintainya sejak dahulu,” kata istri al-Aziz dengan nada serius. Kemudian wanita-wanita itu mulai mengupas apel. Saat itu peradaban di Mesir telah mencapai puncak yang jauh di mana gaya hidup niewah menghiasi istana-istana.

Pengakuan istri al-Aziz menciptakan suatu kedamaian umum di ruangan itu. Jika istri al-Aziz saja mengakui bahwa ia memang jatuh cinta kepada Yusuf, maka pada gilirannya mereka pun berhak untuk mencintainya. Meskipun demikian, mereka mengisyaratkan bahwa seharusnya istri al-Aziz tidak cenderung pada Yusuf justru sebaliknya, ia harus menjadi tempat cinta. Seharusnya, ia yang dikejar oleh pria, bukan sebaliknya. Istri al-Aziz mengangkat tangannya dan mengisyaratkan agar Yusuf masuk dalam ruangan itu. Kemudian Yusuf masuk di ruang makan itu. Ia dipanggil oleh majikannya kemudian ia pun datang. Kaum wanita masih mengupas buah, dan belum lama Yusuf memasuki ruangan itu sehingga terjadilah apa yang dibayangkan oleh istri al-Aziz.

Tamu-tamu wanita itu tiba-tiba membisu. Sungguh mereka tercengang ketika menyaksikan wajah yang bercahaya yang menampakkan ketampanan yang luar biasa, ketampanan malaikat. Wanita-wanita itu pun terdiam dan mereka bertakbir, dan pada saat yang sama mereka terus memotong buah yang ada di tangan mereka dengan pisau. Semua pandangan tertuju hanya kepada Yusuf dan tak seorang pun di antara wanita itu melihat buah yang ada di tangannya. Akhirnya, wanita-wanita itu justru memotong tangannya sendiri namun mereka tidak lagi merasakannya. Sungguh kehadiran Yusuf di tempat itu sangat mengagumkan mereka sampai pada batas mereka tidak merasakan rasa sakit dan keluarnya darah dari tangan mereka.

Salah seorang wanita berkata dengan suara yang pelan: “Subhanallah (Maha Suci Allah).” Wanita yang lain berkata dengan suara lembut yang menampakkan keheranan: “Ini bukan manusia biasa.” Sedangkan wanita yang ketiga berkata: “Ini tiada lain adalah seorang malaikat yang mulia.” Tiba-tiba istri al-Aziz berdiri dan berkata: “Inilah dia orang yang kalian cela aku karena daya tariknya. Memang tidak aku pungkiri bahwa aku pernah merayunya dan menggodanya untuk diriku. Di hadapan kalian ada handuk-handuk putih untuk membalut luka. Sungguh kalian telah dikuasai oleh Yusuf, maka lihatlah apa yang terjadi pada tangan-tangan kalian.” Akhirnya, pandangan mereka sekarang berpindah dari Yusuf ke jari-jari mereka yang terpotong oleh pisau yang tajam di mana mereka tidak lagi merasakannya.

Kami kira Yusuf melihat atau memandang ke arah bawah (tanah), atau mengarahkan pandangannya ke depannya tanpa ada maksud tertentu, tetapi ketika disebut ada darah yang keluar di sekitar tempat jamuan itu, maka ia pun melihat ke arah tempat jamuan itu. Yusuf dikagetkan dengan adanya darah yang mengalir di sekitar buah apel yang keluar dari jari-jari wanita itu. Yusuf segera mendatangkan perban dan air seperti biasa yang dilakukan pemuda yang bekerja di istana. Kami kira bahwa istri al-Aziz berkata saat Yusuf memerban luka yang diderita oleh para wanita: “Sungguh aku telah menggodanya namun ia mampu menahan dirinya. Jika dia tidak menaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina.”

Kami kira Yusuf tidak menghiraukan ucapannya dan tidak mengomentarinya. Beliau adalah seorang Nabi, tetapi tragedi wani­ta tersebut adalah bahwa ia mencintai seorang nabi. Kami kira juga bahwa wanita-wanita itu menggodanya pada saat meraka hadir di tempat jamuan. Salah seorang yang sangat cantik berkata kepada Yusuf saat beliau membalut lukanya: “Sungguh sekadar engkau memandang tanganku hai Yusuf, itu sudah cukup bagiku untuk mengobati jariku yang terpotong.” Atau ada wanita lagi yang mengatakan padanya: “Yusuf, tidakkah engkau menginginkan seorang perempuan yang akan membersihkan sepatumu dan akan mencuci pakaianmu dan yang akan mengabdi kepadamu.”

Barangkali wanita-wanita yang hadir di pesta jamuan itu memiliki berbagai macam cara untuk menggoda. Mungkin sebagian me­reka menggunakan senjata mata atau senjata bulu mata atau senjata fisik untuk mendapatkan Yusuf. Kita tidak mengetahui secara pasti apa yang terjadi di tempat jamuan itu. Biarkanlah daya khayal kita menggembara dan menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi. Tampak bahwa berbagai godaan ditujukan pada Yusuf dari wanita-wanita yang hadir dan diundang di acara itu. Yusuf berdiri di tengah-tengah ujian yang berat ini dengan penuh keheranan:

“Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.'” (QS. Yusuf: 33)

Semua wanita-wanita yang ikut serta dalam undangan tersebut mencoba untuk menundukkan Yusuf dengan menggunakan lirikan, gerakan-gerakan tertentu, atau isyarat atau dengan bahasa yang jelas. Yusuf memohon pertolongan Allah SWT agar ia diselamatkan dari tipu daya mereka. Ia berdoa kepada Allah SWT sebagai seorang manusia yang mengenal kemanusiaanya dan tidak terpedaya dengan kemaksumannya dan kenabiannya. Ia berdoa kepada Allah SWT agar memalingkan tipu daya mereka darinya sehingga ia tidak cenderung kepada mereka dan kemudian menjadi orang yang bodoh. Allah SWT mengabulkan doanya. Kemudian tangan-tangan yang terputus mulai merasakan kesakitan, dan Yusuf meninggalkan ruang makan itu. Setiap wanita sibuk memerban lukanya dan masing-masing mereka berpikir tentang alasan apa yang akan mereka sampaikan ketika suami mereka bertanya tentang tangan mereka yang terpotong itu? Dan, di mana peristiwa itu terjadi?

Allah SWT menceritakan jamuan yang besar itu dalam firman-Nya:

“Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundanglah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tern-pat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan) kemudian dia berkata (kepada Yusuf): ‘Keluarlah (nampakanlah dirimu) kepada mereka.’ Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum akan keelokan rupanya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: ‘Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia. Wanita itu berkata: ‘Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina. Yusuf berkata: ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mere­ka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.’ Maka Tuhannya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf: 31-34)

Allah SWT berhasil memalingkan dan menyelamatkan Yusuf dari tipu daya wanita itu. Akhirnya, wanita-wanita itu merasa putus asa untuk mendapatkan Yusuf dan mendapatkan cinta darinya, sehingga mereka merasa bahwa rasa cinta mereka kepada Yusuf adalah sesuatu keinginan yang mustahil untuk diwujudkan. Keinginan-keinginan yang mustahil ini justru membangkitkan ingatan mereka kepada Yusuf lebih daripada sebelumnya.

Wanita-wanita mulai membicarakan Yusuf: tentang pengaruhnya, kewibawaannya, dan kemuliaannya. Mereka mulai menceritakan bagaimana mereka memotong tangan mereka dengan pisau ketika melihat Yusuf. Akhirnya, berita itu tersebar dari kelompok elit ke masyarakat bawah. Manusia mulai membicarakan tentang sosok pemuda yang menolak keinginan istri seorang ketua menteri, dan istri-istri dari para menteri memotong tangan mereka karena merasa kagum dengannya. Seandainya kasus ini diketahui secara terbatas di kalangan istana dan kamar-kamarnya yang tertutup niscaya tidak ada seorang pun yang memperhatikannya. Tetapi masalah ini kemudian menyebar kemana-mana sampai kelapisan masyarakat yang paling bawah.

Di sinilah kewibawaan pemerintah dipertaruhkan dan menjadi pertimbangan. Lalu, rezim yang berkuasa menangkap Yusuf. Yusuf dimasukkan dalam penjara untuk niembungkam banyaknya gosip-gosip yang disampaikan berkenaan dengan sikapnya serta sebagai cara untuk menutup cerita itu. Yusuf telah berkata ketika wanita-wanita memanggilnya untuk melakukan kesalahan bahwa penjara baginya lebih ringan dan lebih disukainya daripada memenuhi ajakan mereka. Demikianlah Yusuf kemudian masuk ke dalam penjara. Meskipun sebenarnya Yusuf bebas dari segala tuduhan, ia tetap dimasukkan dalam penjara.

Kami tidak yakin bahwa istri al-Aziz adalah penyebab masuknya Yusuf ke dalam penjara. Kami mengetahui bahwa penolakan tegasnya kepadanya membangkitkan kesombongannya dan cukup menjatuhkan kemuliaannya tetapi kami percaya bahwa wanita itu memang benar-benar mencintainya. Barangkali masuknya Yusuf dalam penjara membuat suatau kondisi lain yang mengubah hubungannya dengan Yusuf di mana ketika Yusuf jauh darinya, makarasa rindunya dan rasa cintanya kepada Yusuf justru meningkat. Ia berandai-andai seandainya Yusuf keluar dari penjara meskipun hal itu tidak dapat diwujudkannya.

Dan barangkali bukti klaim kami yang mangisyaratkan perubahan cintanya padanya dan ketulusannya dengan cinta itu adalah bahwa ia mengakui benar-benar berusaha untuk berbuat buruk padanya tapi Yusuf menolak. Ia melepaskan pengakuannya dengan ucapannya: “Agar dia (al-Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya.”

Seakan-seakan keinginannya agar Yusuf tidak melupakannya lebih penting daripada kedamaiannya bersama suaminya atau kedudukannya sebagai wanita kedua di Mesir. Dan barangkali cintanya kepada Yusuf—saat ia tidak ada—berbeda dalam kualitasnya dan kedalamannya daripada cintanya ketika Yusuf masih muda belia yang mengabdi padanya di istana. Ketika mereka berdua dipisahkan dengan jarak yang cukup jauh, dan wanita itu tercegah dari melihatnya, maka timbullah rasa cinta yang menjadikannya tidak akan menghianatinya meskipun Yusuf telah pergi jauh darinya. Betapa berat penderitaan cinta manusiawi yang dialami istri al-Aziz. Masalahnya adalah, bahwa ia memilih seseorang yang hatinya telah tenggelam dalam lautan cinta Ilahi. Akhirnya, Yusuf masuk ke dalam penjara. Allah SWT berfirman:

“Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sewahtu-waktu.” (QS. Yusuf: 35)

Mereka telah menetapkan suatu keputusan meskipun Yusuf sebenarnya terlepas dari berbagai tuduhan, dan beliau menunjukkan bukti kebenarannya. Meskipun demikian, mereka tetap memasukkan Yusuf dalam penjara sampai waktu yang tidak ditetapkan. Pembicaraan seputar kisah Yusuf pun menjadi padam dan api yang menyala di tengah-tengah manusia menjadi suram. Ketika para menteri dan para pembesar tidak mampu menahan kendali wanita-wanita mereka, namun mereka dengan mudah mampu untuk memenjarakan seseorang yang tidak bersalah. Itu adalah pekerjaan mereka yang mereka lakukan dengan gampang.

Demikianlah ayat Al-Qur’an menggambarkan secara singkat suatu suasana istana secara keseluruhan. Yaitu suasana yang penuh dengan kekotoran dan kerusakan internal. Suasana orang-orang yang bergaya aristokris, dan suasana hukum yang mutlak. Penjara menjadi jalan keluar yang dipilih oleh hukum yang mutlak. Seandainya kita memperhatikan keadaaan masyarakat Mesir saat itu dan apa yang mereka sembah, maka kita akan memahami mengapa kekuasaan mutlak diberlakukan saat itu. Orang-orang Mesir menyembah tuhan-tuhan yang beraneka ragam. Mereka menyembah sesembahan selain Allah SWT.

Kita telah mengetahui sebelumnya bagaimana kebebasan manusia terpasung ketika mereka lebih memilih sembahan-sembahan selain Allah SWT. Dalam kisah Nabi Yusuf kita melihat fenomena seperti itu. Meskipun beliau sebagai seorang Nabi, beliau ditetapkan untuk ditahan dan dimasukkan penjara, tanpa melalui penelitian dan tanpa melalui pengadilan. Kita di hadapan suatu masyarakat yang menyembah berbagai macam tuhan dan kemudian mereka dikuasai dan dipimpin oleh multi tuhan. Oleh karena itu, tidak sulit bagi mereka untuk menahan orang yang tidak berdosa, bahkan barangkali sulit bagi mereka melakukan sesuatu selain itu.

Yusuf masuk dalam penjara dalam keadaan memiliki hati yang kokoh. Dalam keadaan tenang beliau berada dalam penjara. Beliau tidak menampakkan kesedihan, namun sebaliknya. Beliau berhasil melalui ujian dari istri al-Aziz, dari pertanyaan-pertanyaan para menteri, dari keusilan para dukun, dan dari pembicaraan para pembantu. Bagi Yusuf, penjara adalah suatu tempat yang damai di mana di dalamnya ia mampu menenangkan dirinya dan berpikir tentang Tuhannya. Nabi Yusuf memanfaatkan kesempatannya di penjara untuk berdakwah di jalan Allah SWT. Di dalam penjara, beliau mendapati orang-orang yang tidak berdosa yang juga dimasukkan di dalamnya. Ketika manusia mendapatkan perlakuan lalim dari sebagian manusia yang lain, maka hati mereka akan lebih mudah untuk mendengarkan kebenaran dan menerima hidayah. Memang hati orang-orang yang menderita dan teraniaya lebih terbuka untuk memenuhi panggilan Allah SWT.

Yusuf bercerita kepada manusia tentang rahmat Sang Pencipta, kebesaran-Nya, dan kasih sayang-Nya terhadap makhluk-makhluk-Nya. Yusuf bertanya kepada mereka: “Mana yang lebih baik, apakah akal harus dikalahkan dan manusia menyembah tuhan yang bermacam-macam atau, akal dimenangkan dan manusia menyembah Tuhan Pengatur alam Yang Maha Besar.” Yusuf menyampaikan argumentasi-argumentasi yang kuat melalui pertanyaan-pertanyaannya yang disampaikan dengan ketenangan dan kedamaian. Beliau berdialog dengan mereka secara sehat dan dengan pikiran yang jernih serta dengan niat yang tulus.

Kemudian masuklah bersama beliau dua orang pemuda ke dalam penjara. Salah seorang di antara mereka adalah pimpinan petugas pembuat rod yang biasa bekerja di tempat raja, sedangkan yang lain pimpinan petugas pemberi minuman keras (khamer) yang biasa diminum oleh raja. Tukang roti itu menyaksikan dalam mimpinya bahwa ia berdiri di satu tempat dengan membawa roti di atas kepalanya yang kemudian dimakan oleh burung yang terbang, sementara orang yang memberikan minum para raja juga bermimpi, dan melihat dalam mimpinya bahwa ia memberikan minum khamer kepada raja.

Kedua orang itu pergi kepada Yusuf dan masing-masing mereka menceritakan mimpinya kepadanya serta meminta kepada beliau untuk menakwilkan atau menafsirkan apa yang mereka lihat. Yusuf menggunakan kesempatan itu baik-baik dan kemudian ia berdoa kepada Allah SWT. Kemudian beliau memberitahu tukang roti itu, bahwa ia akan disalib dan akan mati, adapun pemberi minum raja, maka dia akan keluar dari penjara dan akan kembali bekerja di tempat raja. Yusuf berkata kepada pemberi minum itu: “Jika engkau pergi ke raja, maka jangan lupa menceritakan keadaanku padanya. Katakan kepadanya bahwa di sana terdapat seorang yang ditahan dalam keadaan teraniaya yang bernama Yusuf.

Akhirnya apa yang diceritakan oleh Nabi Yusuf benar-benar terjadi. Tukang roti itu pun terbunuh sedangkan orang yang biasa memberi minum raja itu dimaafkan dan kembali ke istana tetapi ia lupa untuk menceritakan pesan Yusuf kepada raja. Setan telah melupakannya sehingga ia lupa untuk menyebut nama Yusuf di depan raja. Yusuf pun tinggal di dalam penjara selama beberapa tahun. Allah SWT berfirman:

“Dan bersama dengan dia masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda. Berkatalah salah seorang di antara keduanya: ‘Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku akan memeras anggur. Dan yang lainnya berkata: ‘Sesungguhnya aku bermimpi bahwa, aku membawa roti di atas kepalaku, sebagiannya dimakan burung.’ Berikanlah kepada kami ta’birnya: Sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang pandai (menakwilkan mimpi). Yusuf berkata: ‘Tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan yang akan diberikan kepadamu melainkan aku telah dapat menerangkan jenis makanan itu sebelum makanan itu sampai kepadamu. Yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian. Dan aku mengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak, dan Yakub. Tidaklah patut bagi kami (para nabi) mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah Yang demikian itu ada­lah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia itu tidak mensyukuri(Nya). Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek-nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 36-40)

Setelah dakwah yang sangat dalam ini dan setelah Yusuf mengemukakan argumentasinya kepada orang-orang yang bertanya, beliau mulai menafsirkan mimpi yang mereka lihat:

“Hai kedua penghuni penjara, adapun salah searang diantara kamu berdua, akan memberi minum tuannya dengan khamer; adapun yang seorang lagi, maka ia akan disalib, lalu burung memakan sebagian dari kepalanya. Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku). Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat di antara mereka berdua: ‘Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.’ Maka setan menjadikan dia lupa mene-rangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya. ” (QS. Yusuf: 41-42)

Coba Anda perhatikan bagaimana Al-Qur’an menceritakan hal ini. Yusuf tidak menentukan kapan hal tersebut akan terjadi pada kedua orang itu, baik mereka yang bernasib baik atau pun mereka yang bernasib buruk. Ini adalah salah satu bentuk kasih sayang dan kelembutan beliau kepada mereka. Namun mereka memahami tujuan beliau ketika memutuskan suatu perkara kepada mereka dan mengatakan kepada yang lain bahwa ia akan bebas.

Al-Qur’an al-Karim tidak menceritakan bahwa takwil itu telah terwujud dan bahwa perkara itu telah terlaksana sebagaimana telah ditakwilkan oleh Yusuf. Di sini terdapat celah yang dapat digunakan oleh daya khayal bahwa semua ini telah terjadi. Kemudian orang yang selamat itu keluar dari penjara dan menuju ke istana. Ia pun kembali menuangkan minuman kepada raja. Seharusnya ia menceritakan pesan Yusuf yang telah memberitahukan kepadanya bahwa ia akan selamat namun pesan Nabi Yusuf tersebut benar-benar dilupakannya atau benar-benar hilang dari ingatannya. Ia lupa bagaimana Nabi Yusuf menakwilkan mimpinya dan bagaimana Nabi Yusuf berdakwah di jalan Allah SWT. Kemewahan istana raja dan kesibukannya dalam melayani raja atau tuannya membuatnya lupa untuk menyampaikan pesan Nabi Yusuf. Setan pun turut serta dalam melupakannya. Akhirnya, Nabi Yusuf tetap tinggal di penjara untuk beberapa tahun. Nabi Yusuf menghadapi ujian itu dengan penuh kesabaran dan keikhlasan serta tidak berputus asa dan ridha akan keputusan Allah SWT.

Marilah kita berpindah dari penjara ke kamar raja. Si raja tertidur dan bermimpi. Ia melihat dirinya berdiri di tepi Sungai Nil. Air sungai Nil turun di depan matanya. Air Sungai Nil tenggelam dan habis sehingga sungai itu menjadi tumpukan tanah yang kosong dari air. Kemudian ikan-ikan melompat-lompat sehingga tersembunyi dalam tanah sungai. Lalu keluarlah dari sungai itu tujuh sapi yang gemuk dan keluar juga tujuh sapi yang kurus. Sapi-sapi yang kurus itu malah menyerang sapi-sapi yang gemuk. Sapi-sapi yang kurus itu anehnya berubah menjadi binatang-binatang buas yang melahap sapi-sapi yang gemuk. Dalam mimpinya itu, raja berdiri dan menyaksikan pemandangan yang mengerikan dan menakutkan itu. la menyaksikan teriakan-teriakan sapi-sapi yang gemuk itu saat dimakan oleh sapi-sapi yang kurus.

Kemudian timbullah di atas tepi Sungai Nil tujuh tangkai hijau dan tujuh tangkai hijau itu tenggelam dalam tanah. Dan muncullah di tanah yang sama tujuh tangkai yang kering. Tiba-tiba raja bangun dari tidurnya dalam keadaan takut. Raja menceritakan mimpinya kepada para peramal, para dukun, dan para menterinya. Ia meminta kepada mereka untuk menafsirkannya. Seorang peramal berkata: “Ini adalah hal yang cukup aneh, bagaimana sapi-sapi kurus dapat memakan sapi-sapi yang gemuk? Saya kira ini adalah kembang mimpi yang tidak ada artinya.” Kemudian para ahli mimpi dan para penakwil mimpi dan mereka yang ada di sekitar raja bersepakat bahwa mimpi si raja tidak memiliki makna yang khusus, atau ia hanya sekadar kembang tidur yang tidak ada artinya.

Berita tentang mimpi raja itu sampai di telinga orang yang memberi minum raja. Pikirannya berguncang ketika mendengar mimpi raja itu. Ia mulai mengingat-ingat mimpi yang dilihatnya di penjara. Ia mengingat, bagaimana Yusuf menakwilkan mimpinya. Ia segera menuju ke tempat raja dan menceritakan kepadanya peristiwa yang dialaminya bersama Yusuf. Ia berkata kepada raja: “Sesungguhnya hanya Yusuf satu-satunya yang mampu menafsirkan mimpimu. Sebenarnya ia telah berpesan kepadaku agar aku menyebut keadaaannya di depanmu tetapi terus terang, aku lupa menyampaikan pesannya.” Kemudian raja mengutus orang itu ke penjara untuk menemui Yusuf dan bertanya kepadanya perihal mimpinya. Allah SWT berfirman:

“Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): ‘Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainya yang kering. Hai orang-orang yang termuka, terangkanlah kepadaku tentang ta’bir mimpiku itu jika kamu dapat menakwilkan mimpiku. Mereka menjawab: ‘Itu adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu takwil mimpi itu.’ Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: ‘Aku akan memberitahukan kepadamu tentang (orang yang pandai) menakwilkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya).’ (Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): ‘Yusuf, hat orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu agar mereka mengetahuinya.'” (QS. Yusuf: 43-46)

Kamar raja menjadi gelap, sementara itu layar penjara menjadi terang. Yusuf tampak berada dalam penjaranya. Seorang pemberi minum raja datang padanya. Raja membutuhkan pendapatnya dan Allah SWT akan memenangkan urusan-Nya tetapi kebanyakan manusia tidak menyadari. Utusan raja itu menanyakan tentang tafsir mimpi si raja. Yusuf tidak mensyaratkan kepadanya bahwa ia harus dikeluarkan dari penjara sebagai imbalan dari usahanya dalam menafsirkan mimpinya. Yusuf tidak tidak mengatakan apa-apa selain ia berusaha untuk menafsirkan mimpi raja. Demikianlah sikap seorang nabi ketika manusia datang padanya untuk meminta pertolongan meskipun mereka berbuat lalim kepadanya. Yusuf berkata kepada pemberi minum raja itu:

“Yusuf berkata: ‘Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa;, maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun yang sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang akan kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur.” (QS. Yusuf: 47-49)

Yusuf menjelaskan kepada utusan raja bahwa negeri Mesir akan mengalami masa-masa yang subur selama tujuh tahun di mana saat itu tanaman-tanaman akan tumbuh segar, dan hendaklah orang-orang Mesir tidak melampaui batas dalam memanfaatkan musim subur ini karena setelah itu akan disusul dengan tujuh tahun paceklik. Pada musim itu, apa saja yang disimpan oleh penduduk Mesir akan habis. Oleh karena itu, cara yang terbaik untuk menyimpan hasil tanaman mereka adalah, hendaklah mereka membiarkannya di tangkai-tangkainya agar ia tidak rusak atau terkena hama atau dapat berubah karena cuaca.

Demikian takwil mimpi raja tersebut terkuak. Yusuf justru menambahkan pembicaraan tentang keadaan suatu tahun yang belum pernah dimimpikan oleh raja. Yaitu tahun yang penuh dengan kebahagiaan. Tahun di mana manusia mendapatkan karunia dengan banyaknya tanaman-tanaman yang tumbuh dan melimpahnya air serta tumbuhnya anggur-anggur yang mereka tanam sehingga mereka memeras darinya khamer. Juga tumbuh pohon zaitun yang mereka tanam yang mereka memeras darinya minyak zaitun. Tahun ini tidak terdapat dalam mimpi raja. Ini adalah ilmu khusus yang diperoleh Nabi Yusuf. Yusuf menyampaikannya kepada pemberi minum raja itu dan memesan kepadanya agar bagian ini pun juga dikemukakan kepada raja dan masyarakat. Akhirnya, pemberi minum itu kembali ke raja dan menceritakan semua yang didengarnya dari Yusuf. Raja menjadi terheran-heran dengan apa yang didengarnya. Ia kemudian berkata: “Siapa gerangan orang yang dipenjara ini. Sungguh luar biasa. Ia menceritakan hal-hal yang akan terjadi, bahkan lebih dari itu ia memberikan cara-cara untuk mengatasi persoalan yang akan terjadi itu tanpa meminta upah atau balasan atau agar ia dibebaskan dari penjara.”

Kemudian raja mengeluarkan perintah agar Yusuf dibebaskan dari penjara dan dihadirkan padanya. Lalu utusan raja pergi ke penjara. Utusan ini bukan utusan yang pertama, yaitu si pemberi minum raja. Ia adalah seseorang yang memiliki jabatan penting. Kemungkinan besar ia adalah salah seorang menteri. Ia pergi untuk menemui Yusuf di penjara. Ia meminta kepada Yusuf agar keluar dari penjara guna menemui raja. Raja menginginkan agar ia segera menjumpainya.

Ternyata Yusuf menolak untuk keluar dari penjara kecuali semua tuduhan yang ditujukan kepadanya dicabut. Tampak bahwa mereka menuduhnya terlibat dalam kasus pemotongan tangan para wanita. Mungkin mereka berkata: “Yusuf ingin berbuat aniaya terhadap wanita-wanita itu, lalu kaum wanita ingin mempertahankan diri mereka dengan cara memotong tangan mereka dengan pisau.” Alhasil, boleh jadi mereka menggunakan berbagai macam kebohongan yang sulit diterima, tetapi sebagaimana kita ketahui segala hal sah-sah saja dan boleh saja jika dilakukan oleh orang-orang yang hidup di istana karena hukum yang dipakai di sana adalah hukum yang mutlak. Yusuf tidak mau keluar dari penjara itu kecuali bila ditetapkan bahwa beliau terlepas dari segala tuduhan:

“Raja berkata: ‘Bawalah dia kepadaku.’ Maka tatkala utusan itu datang kepada Yusuf, berkalalah Yusuf: ‘Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Tuhanku, Maha Mengetahui tipu daya mereka.'” (QS. Yusuf: 50)

Utusan itu kembali kepada raja. Raja berteriak ketika melihatnya sendirian: “Di mana Yusuf?” Utusan raja berkata: “Ia masih di penjara.” Raja bangkit dari tempat duduknya lalu berkata: “Bukankah aku memerintahkanmu untuk menghadirkannya?” Utusan raja berkata: “Ia menolak untuk keluar dari penjara kecuali semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya dicabut. Paduka yang mulia bertanggung jawab dalam menyelesaikan kasusnya bersama wanita-wanita di istana yang telah memotong tangan mereka.” Raja ber­kata: “Kalau begitu, panggilah semua istri-istri menteri dan hadirkanlah istri al-Aziz. Saya minta semua hadir.”

Raja merasa bahwa Yusuf menghadapi suatu perosalan di mana ia tidak mengetahui secara pasti titik terangnya. Barangkali raja mendengar berbagai macam gosip dan desas-desus yang biasa terjadi di kalangan para menterinya dan kisah yang melibatkan istri ketua menterinya dan Yusuf, tetapi raja itu tidak begitu peduli dengan apa yang didengarnya. Sebab cerita-cerita semacam ini sudah menjadi hal yang biasa dan sering terjadi di dunia istana yang glamor. Akhirnya, istri al-Aziz dan semua wanita yang pernah dijamunya hadir di depan raja. Raja bertanya: “Bagaimana cerita Yusuf yang sebenarnya? Apa yang kalian ketahui tentangnya? Apa benar ia terlibat dalam skandal seks?

Salah seorang perempuan memotong pembicaraan raja dan berkata: “Demi Allah, kami tidak mengetahui bahwa ia melakukan suatu keburukan.” Wanita yang lain berkata: “Yusuf adalah seorang yang suci bagaikan seorang malaikat.” Kemudian pandangan tertuju kepada istri al-Aziz yang tampak pucat. Ia menampakkan kerinduan untuk melihat wajah Yusuf. Ia mengaku bahwa ia telah berbohong dan Yusuf adalah orang-orang yang benar. Ia benar-benar telah menggoda Yusuf namun Yusuf menolak. Ia menegaskan bah­wa ia benar-benar mengatakan yang sesungguhnya, bukan karena takut kepada raja dan juga wanita-wanita yang lain. Pikirannya masih berputar sekitar Yusuf. Akhirnya, Yusuf dibebaskan dari berbagai tuduhan. Allah SWT menceritakan proses pengadilan ini dan pengusutan ini dalam firman-Nya:

“Raja berkata: (kepada wanita-wanita itu): ‘Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepada-mu) ? Mereka berkata: Maha sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu heburukan darinya. Berkata istri al-Aziz: ‘Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan diri­nya (kepadaku) dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.’ Yusuf berkata: ‘Yang demikian itu agar dia (al-Aziz) mengeta­hui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, dan bahwasannya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat. ” (QS. Yusuf: 51-52)

Al-Qur’an al-Karim menceritakan kepada kita proses pengakuan istri al-Aziz dengan menggunakan lafal-lafal insipiratif yang mengisyaratkan adanya luapan emosi dan perasaan yang dalam: “Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku) dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. ” Itu adalah suatu penyaksian yang utuh dari wanita tersebut tentang dosanya serta kesucian dan kejujuran Yusuf. Suatu kesaksian yang tidak didorong oleh rasa takut atau rasa khawatir atau apa pun lainnya.

Konteks Al-Qur’an mengungkapkan faktor yang lebih dalam dari semua ini. Yaitu keinginan wanita itu agar pria yang telah mencela kesombongan feminisnya tetap menghormatinya. Ia tidak ingin pria itu terus merendahkannya sebagai wanita yang salah. Ia ingin meluruskan pikiran lelaki tentang dirinya. “Yang demikian itu agar dia (al-Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya.” Aku tidak seburuk yang dibayangkannya. Barangkali ia mulai menangis ketika berkata:

“Dan aku tidak membebashan diriku (dari kesalahan), karena sesung­guhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampunan lagi Maha Penyayang. ” (QS. Yusuf: 53)

Melalui perenungan ayat-ayat tersebut, kita dapat mengetahui bahwa istri al-Aziz mengikuti agama Nabi Yusuf. Ia mengikuti agama tauhid. Penahanan Yusuf telah membuat perubahan drastis dalam hidupnya. Ia beriman kepada Tuhannya dan memeluk agama Yusuf. Ia mencintai Yusuf meskipun beliaujauh dan tidak bertemu dengannya.

“Dan raja berkata: ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang tepat bagiku.’ Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.’ Berkatalah Yusuf: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.’ Dan demikian Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja yang ia kehendaki di bund Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa saja yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan sesung­guhnya pahala di akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa.” (QS. Yusuf: 54-57)

Setelah itu, Al-Qur’an al-Karim tidak menyebutkan kisah istri al-Aziz secara penuh. Al-Qur’an malah berpindah ke kisah yang lain sehingga kita tidak mengetahui urusannya ketika ia mengakui kejahatannya lalu dibarengi dengan pernyataan keimanannya terhadap agama Nabi Yusuf.

Berkenaaan dengan wanita itu, terdapat banyak dongeng palsu dan bohong. Ada yang mengatakan bahwa suaminya mati lalu ia menikah dengan Yusuf. Kemudian diketahui bahwa ia masih perawan. Ia mengaku bahwa suaminya adalah seorang tua yang tidak suka mendekati wanita. Ada yang mengatakan bahwa matanya men­jadi buta karena saking seringnya ia menangis terhadap Yusuf, lalu ia keluar dari istana dan tersesat di jalan-jalan kota. Ketika Yusuf menjadi pembesar di istana, wanita itu berteriak dengan penuh kesakitan dan penyesalan sambil berkata: “Maha Suci Allah yang menjadikan seorang raja budak karena kemaksiatannya dan menjadikan budak raja karena ketaatannya.” Kemudian Yusuf bertanya: “Suara siapa itu? Dikatakan padanya: “Itu adalah istri al-Aziz yang keadaanya telah berubah. Sebelumnya ia menjadi mulia dan kini menjadi hina.” Kemudian Yusuf memanggilnya dan bertanya kepadanya: “Apakah masih tersisa dalam dirimu rasa cinta pada diriku?” Wanita itu menjawab: “Sungguh, memandang wajahmu lebih aku cintai daripada dunia. Hai Yusuf, berikanlah padaku ujung cemetimu.” Lalu Yusuf memberikan kepadanya. Ia meletakkan di dadanya. Yusuf melihat cemeti itu bergetar di tangannya dengan guncangan yang sangat keras karena detak jantungnya yang kuat. Masih banyak kebohongan-kebohongan lain dan dongeng-dongeng lain yang berkenaan dengannya. Kisah-kisah yang disampaikan itu semua laksana drama romantis yang berakhir pada kehancuran cinta.

Al-Qur’an al-Karim tidak menyebutkan akhir dari kehidupan wanita itu. Al-Qur’an sengaja menutup kisahnya setelah ia bersaksi dan beriman kepada Nabi Yusuf. Tentu di balik semua ini terdapat tujuan agamis. Pada dasarnya, kisah itu adalah kisah Yusuf, bukan kisah wanita itu. Jadi, yang ditonjolkan oleh Al-Qur’an adalah kisah Yusuf, bukan kisah istri al-Aziz. Di balik semua ini juga terdapat tujuan seni yang tinggi. Wanita itu muncul dalam kisah itu dan ia bersembunyi atau menghilang di saat yang tepat. Ia bersembunyi ketika berada di puncak penderitaannya. Raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang tepat bagiku.” Yusuf masuk menemui raja. Raja berbicara dengannya dengan bahasanya dan Yusuf pun mampu menjawabnya. Raja berbicara dengan bahasa kedua dan Yusuf pun menjawabnya dengan bahasa Arab. Raja bertanya: “Bahasa apa ini?” Ini adalah bahasa Ismail, paman ayahku, kata Yusuf. Kemudian Yusuf berbicara dengan raja dengan bahasa Ibrani. Raja bertanya: “Bahasa apa ini?” Yusuf berkata: “Ini adalah bahasa orang tuaku, Ibrahim, Ishak dan Yakub.” Raja itu memang mampu berbicara dengan lebih dari satu bahasa namun ia mendapati Yusuf justru memiliki kemampuan berbahasa lebih tinggi darinya.

Raja kagum dengan wawasan luas yang dimiliki Nabi Yusuf dan kedalaman ilmunya yang mengesankan. Kemudian pembicaraan menjalar pada masalah mimpi. Yusuf menasihati raja agar memulai rencana yang tepat untuk mengumpulkan makanan dan menyimpannya dalam rangka menghadapi tahun-tahun penceklik. Yusuf memberikan pengertian kepada raja bahwa kelaparan akan melanda Mesir dan kota-kota di sekitarnya. Oleh karena itu, negeri Mesir harus siap-siap untuk menghadapi suasana yang sangat sulit itu, demikian juga negeri-negeri di sekitarnya. Dari sini kita memahami bahwa negeri Mesir memiliki kedudukan penting dalam percaturan sejarah kuno. Raja bertanya tentang pelaksanaan rencana. Salah satu yang dikatakannya sebagaimana disebutkan dalam tafsir al-Qurtubi: “Seandainya penduduk Mesir dapat melaksanakan apa-apa yang berkenaan dengan masalah ini. Tetapi sulit ditemukan di antara mereka orang-orang yang jujur.”

Raja mengisyaratkan pada kelompok yang berkuasa dan kelompok-kelompok lain di sekitarnya bahwa untuk mendapat kejujuran pada kelompok yang bergaya hidup mewah tersebut merupakan hal yang sangat sulit. Setelah pengakuan raja kepada Yusuf tentang hakikat ini, Yusuf berkata: “Kalau begitu, jadikanlah aku sebagai pengawas atas kekayaan bumi. Aku adalah seorang pengawas yang sangat teliti dan berpengetahuan.” Tentu dalam pernyataan ter­sebut, Yusuf tidak menginginkan keuntungan pribadi. Sebaliknya, Yusuf memikul amanat untuk memberikan makan bagi masyarakat yang lapar selama tujuh tahun. Yaitu, masyarakat yang seandainya mereka lapar, maka penguasanya dapat mempermainkan mereka. Dalam masalah ini, sebenarnya terdapat pengorbanan Nabi Yusuf.

Konteks Al-Qur’an tidak menetapkan bahwa raja setuju. Seakan-akan Al-Qur’an al-Karim mengatakan bahwa permintaan tersebut mengandung persetujuan sebagai bentuk penambahan penghormatan kepada Yusuf dan menunjukkan kedudukannya di sisi raja. Jadi, jawaban raja atas permintaan Yusuf tidak disebutkan. Akhirnya, kita memahami bahwa Yusuf kemudian berada di tempat yang diusulkannya. Demikianlah Allah SWT memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir. Ia menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan kekayaan Mesir dan perekonomiannya. Beliau menjadi ketua para menteri besar. Barangkali sesuai dengan tradisi saat itu, beliau mendapat dua tugas sekaligus: tugas sebagai kepala pemerintahan dan kepala urusan logistik.

Konteks Al-Qur’an tidak memberitahukan kepada kita tindakan-tindakan Nabi Yusuf di Mesir. Kita hanya mengetahui bahwa beliau adalah seorang yang bijaksana dan sangat mengerti berbagai persoalan. Kita mengetahui bahwa beliau adalah seorang yang terpercaya dan jujur. Oleh karena itu, selama Nabi Yusuf duduk di kursi pemerintahan, maka perekonomian Mesir tidak perlu dikhawatirkan. Kemudian roda zaman berputar. Tahun-tahun kejayaan dan kesenangan berlalu dengan cepat, dan datanglah tahun-tahun kelaparan. Di sini konteks Al-Qur’an tidak menyebutkan keadaan raja dan para menteri. Seakan-akan masalah hanya terfokus pada Yusuf.

Al-Qur’an tidak menyebutkan kepada kita bahwa kelaparan telah dimulai. Ia tidak menggambarkan kepada kita proses permulaan musim kelaparan itu. Kitab suci itu justru membentangkan suatu peristiwa yang dialami saudara-saudara Yusuf di mana mereka datang dari Palestina untuk membeli makanan di Mesir. Yaitu makanan yang saat itu dibagi dengan sistem yang menyerupai sistem distribusi. Penggunaan sistem tersebut menunjukkan bahwa mereka berada dalam puncak peradabannya. Yusuf ingin membandingkan antara kebutuhan orang-orang yang memerlukan dan persediaan makanan yang akan digunakan di masa yang lama. Oleh karena itu, tidak setiap orang yang memiliki daya beli tinggi berkesempatan membeli barang-barang yang ingin disimpannya sehingga orang-orang yang lain akan mati kelaparan. Ada yang mengatakan bahwa beliau memberi pada setiap orang—pada satu masa—seberat muatan onta. Sementara itu, saudara-saudara Yusuf datang dari gurun. Mereka datang guna membeli makanan dari Mesir. Dalam peribahasa Mesir dikatakan: “Seandainya Mesir kenyang dan dunia lapar, maka Mesir akan mengenyangkannya tetapi kalau Mesir lapar, maka dunia tidak akan mengenyangkannya.”

Kini saudara-saudara Yusuf yang telah menceburkannya ke dalam sumur telah datang. Anak-anak Nabi Yakub datang dan berbaris dalam rombongan orang-orang yang membutuhkan. Yusuf duduk di atas singgsana Mesir sebagai seorang penguasa yang memerintah dan melarang. Yusuf bergegas untuk menjamin kelangsungan kehidupan manusia. Beliau dikelilingi oleh para menterinya, orang-orang penting, dan para tentara. Nabi Yusuf segera mengenali saudara-saudaranya, sedangkan mereka tidak mengenalinya. Mereka telah terpisahkan cukup lama dengan Yusuf di mana keadaaan sangat menyusahkan mereka sehingga mereka datang dari Palestina untuk mencari makan di Mesir.

Terjadilah dialog antara Yusuf dan saudara-saudaranya tanpa mereka mengetahui identitas Yusuf. Saudara-saudara Yusuf itu berjumlah sepuluh orang, namun mereka membawa sebelas unta. Yusuf bertanya kepada mereka—melalui—salah seorang penerjemah—agar beliau tidak berbicara dengan mereka dengan bahasa mereka, yaitu bahasa Ibrani: “Undang-undang kita memutuskan untuk memberikan makanan pada setiap orang sesuai dengan kemampuan unta mengangkut makanan itu. Berapa jumlah kalian?” Mereka menjawab: “Sebelas orang.” Yusuf berkata kepada salah seorang penerjemah: “Katakan kepada mereka, bahasa kalian berbeda dengan bahasa kami dan pakaian kalian pun berbeda dengan pakaian kami. Barangkali kalian adalah mata-mata.” Mereka menjawab: “Demi Allah, kami bukan mata-mata tetapi kami adalah keturunan dari seorang ayah yang baik.” Yusuf bertanya: “Kalian mengatakan bahwa jumlah kalian sebelas padahal, kalian berjumlah sepuluh.”

Mereka menjawab: “Sebenarnya kami adalah dua belas saudara, seorang saudara kami meninggal di daratan dan kami mempunyai saudara yang lain yang sangat dicintai oleh orang tua kami dan ia tidak mampu untuk bersabar ketika berpisah dengannya. Oleh karena itu, kami datang dengan membawa untanya sebagai ganti darinya.” Yusuf berkata: “Bagaimana aku bisa memastikan kejujuran kalian?” Mereka menjawab: “Pilihlah sesuatu yang engkau dapat menjadi tenang dengannya.” Yusuf berkata: “Undang-undang kami menentapkan untuk tidak memberikan makanan kepada seseorang yang tidak ada. Karena itu, datangkanlah saudara kalian agar aku dapat memberinya makanan. Tidakkah kalian mengetahui bahwa aku menegakkan timbangan dengan jujur?”

Demikianlah dialog terus berlangsung antara saudara-saudara Yusuf dan Yusuf. Yusuf memberitahukan kepada mereka bahwa kali ini mereka mendapatkan pengecualian (keringanan) dan keistimewaan. Tetapi, jika pada masa yang akan datang mereka datang tanpa membawa saudara mereka, maka Yusuf tidak akan memberikan makanan kepada mereka. Mereka berkata padanya, bahwa kami akan berusaha memuaskan ayah kami atau meyakinkan ayah kami untuk meninggalkan saudara kami itu bersama kami. Berkenaan dengan peristiwa tersebut, Allah SWT berfirman:

“Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu mereka masuk ke (tempatnya). Maka Yusuf mengenal mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya. Dan tatkala Yusuf menyiapkan untuk mereka bahan makanannya, ia berkata: ‘Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu (Bunyamin), tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan sukatan dan aku adalah sebaik-baik penerima tamu. Jika kamu tidak membawanya kepadaku, maka kamu tidak akan mendapatkan sukatan lagi dariku dan jangan kamu mendekatiku.’ Mereka berkata: ‘Kami akan membujuk ayahnya untuk membawanya (ke mari) dan sesungguhnya kami benar-benar akan melaksanakannya.’ Mereka berkata kepada bujangan-bujangannya: ‘Masukkanlah barang-barang (penukar kepunyaan-kepunyaan mere­ka) ke dalam karung-karung mereka, supaya mereka mengetahuinya apabila mereka telah kembali kepada keluarganya, mudah-mudahan mereka kembali lagi.'” (QS. Yusuf: 58-62)

Kemudian berpindahlah peristiwa di Mesir ke peristiwa yang terjadi di Kan’an. Saudara-saudara Yusuf kembali pulang dan meneui ayah mereka. Sebelum mereka menurunkan muatan yang dibawa oleh unta, mereka masuk menemui ayah mereka: “Sungguh kami tidak mendapatkan sukatan gandum. Ini terjadi karena engkau melindungi dan mempertahankan anakmu.” Mereka mengatakan: “Kami tidak akan memberikan makanan bagi orang tak hadir. Mengapa engkau tidak merasa aman ketika kami membawanya? Biarkanlah ia pergi bersama kami dan sesungguhnya kami akan menjaganya.” Jelas sekali bahwa dialog tersebut bertujuan untuk memojokkan si ayah dan membebankan tanggung jawab kepadanya dalam hal ketidakmampuan mereka memperoleh makanan. Namun, si ayah menjawab dengan menggunakan sopan santun para nabi. Ia berkata bahwa ia tidak merasa aman terhadap mereka atas anaknya yang kecil sebagaimana kekhawatirannya terhadap Yusuf sebelumnya, dan ia tidak peduli atau tidak begitu yakin dengan ucapan mereka: “Sungguh kami sebaik-baik penjaga. Karena, Allah SWT-lah sebaik-baik penjaga dan Maha Pengasih di antara yang mengasihi.”

Anak-anak itu membuka wadah-wadah yang mereka bawa untuk mengeluarkan biji-bijian makanan yang ada di dalamnya. Tiba-tiba mereka mendapatkan barang-barang mereka telah dikembalikan bersama makanan. Pengembalian harga menunjukkan ketidakinginan untuk menjual atau itu semacam peringatan, dan barangkali itu merupakan hal yang mengganggu mereka agar mereka kembali membenarkan harga pada kali yang kedua. Melihat kenyataan tersebut, anak-anak itu segera menuju ke ayah mereka sambil mengatakan: “Wahai ayah kami, kami tidak berbuat aniaya dan kami tidak berbohong kepadamu. Sungguh harga yang telah kami beli dikembalikan kepada kami. Ini berarti bahwa mereka tidak akan menjual kepada kami kecuali jika saudara kami pergi bersama kami.”

Demikianlah dialog antara mereka dan ayah mereka terus berlanjut. Mereka memberikan pengertian kepada ayahnya bahwa kecintaannya kepada seorang anaknya dan hubungan dekat dengannya justru mengorbankan kepentingan mereka dan menjatuhkan perekonomian mereka. Mereka ingin untuk menambah perbekalan mereka dan mereka berjanji akan menjaga saudara mereka dengan penjagaan yang sangat hebat. Dialog tersebut berakhir dengan persetujuan si ayah terhadap keinginan mereka dengan syarat, bahwa mereka berjanji untuk membawa pulang anaknya kecuali jika mereka dikepung oleh musuh dan mereka tidak mampu menyelamatkannya. Si ayah menasihati mereka untuk tidak masuk—karena mereka berjumlah sebelas orang—dari satu pintu dari pintu-pintu Mesir sehingga tak seorang pun yang menaruh kecurigaan. Barangkali si ayah mengkhawatirkan terjadinya pencurian atau kedengkian, namun konteks ayat tersebut tidak menceritakan kepada kita apa yang dikhawatirkan oleh si ayah. Akhirnya, Nabi Yakub bertawakal kepada Allah SWT dan menyerahkan urusan anaknya pada mereka. Berkaitan dengan hal ter­sebut, Allah SWT berfirman:

“Maka tatkala mereka telah kembali kepada ayah mereka (Yakub), mereka berkata: ‘Wahai ayah kami, kami tidak akan mendapat sukatan (gandum) lagi, (jika tidak membawa saudara kami), sebab itu biarkanlah saudara kami pergi bersama-sama kami supaya kami mendapat sukatan, dan sesungguhnya kami benar-benar akan menjaganya.’ Berkatalah Yakub: ‘Bagaimana aku akan mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?.’ Maka Allah adalah sebaik-baik penjaga dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.’ Tatkala mereka membuka barang-barangnya, mereka menemukan kembali barang-barang (penukaran) mereka, dikembalikan kepada mereka. Mereka berkata: Wahai ayah kami apa lagi yang kita inginkan. Ini barang-barang kita dikembalihan kepada kita, dan kami akan dapat memberi makan keluarga kami, dan kami akan dapat memelihara saudara kami, dan kami akan mendapat tambahan sukatan (gandum) seberat beban seekor unta. Itu adalah sukatan yang mudah (bagi raja Mesir). Yakub berkata: ‘Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan akan membawanya kembali kepadaku, kecuali jika kamu dikepung musuh.’ Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Yakub berkata: ‘Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini).’ Dan Yakub berkata: ‘Hai anak-anakku, janganlah kamu (ber­sama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikit pun dari (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang ber­tawakal berserah diri.’ Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahhan ayah mereka, maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikit pun dari takdir Allah, akan tetapi itu hanya suatu keinginan pada diri Yakub yang telah ditetapkannya. Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Yusuf: 63-68)

Kali ini saudara-saudara Yusuf yang sebelas orang itu kembali lagi:

“Dan tatkala mereka masuk he (tempat) Yusuf membawa saudaranya (Bunyamin) ke tempatnya, Yusuf berkata: ‘Sesungguhnya aku (ini) adalah saudaramu, maka janganlah kamu berduka cita terhadap apa yang telah mereka kerjakan.'” (QS. Yusuf: 69)

Konteks Al-Qur’an mengarah ke keadaaan Yusuf di mana beliau melindungi saudaranya dan menunjukkan padanya rahasia kekerabatannya. Tentu hal ini tidak terjadi saat saudara-saudara Yusuf masuk menemuinya karena jika demikian niscaya mereka akan mengetahui hubungan kekerabatan Yusuf. Hal ini terjadi dalam ketersembunyian sehingga saudara-saudaranya tidak mengetahui. Tapi konteks ayat tersebut yang sangat mengagumkan, sengaja berpindah pada keadaan pertama yang dialami Yusuf di mana beliau tampak khawatir saat mereka masuk menemuinya dan saat beliau melihat saudaranya. Demikianlah, Al-Qur’an menjadikannya sebagai tugas pertama karena ia merupakan sesuatu yang pertama kali terlintas dalam hati Yusuf. Ini termasuk ungkapan yang dalam yang terdapat pada Kitab yang agung ini. Ayat tersebut juga tidak menyinggung masa perjamuan dan apa yang terjadi saat itu antara Yusuf dan saudara-saudaranya. Ia justru mengungkapkan peristiwa saat mereka meninggalkan tempat itu. Yusuf merencanakan sesuatu terhadap saudara-saudaranya. Yusuf ingin agar saudaranya yang kecil tetap bersamanya. Yusuf mengetahui bahwa usahanya untuk menahan saudaranya akan menimbulkan kesedihan buat ayahnya, dan barangkali kesedihan-kesedihan baru akan menumpuki kesedihan-kesedihan si ayah. Mungkin saja peristiwa ini akan mengingatkannya tentang hilangnya Yusuf.

Yusuf mengetahui semua itu. Beliau memandangi saudaranya. Dan tidak ada alasan kuat untuk menahannya. Karena itu, mengapa ia harus menahan saudaranya dengan cara demikian? Al-Qur’an menyinggung rahasia tersebut, yaitu bahwa Yusuf bergerak di bawah bimbingan wahyu Ilahi. Allah SWT menginginkan agar Yakub menerima ujian dan menjalani puncak dari penderitaan, sehingga ketika beliau mampu melalui berbagai penderitaan dan bersabar atasnya, maka Allah SWT akan mengembalikan padanya kedua putranya, dan akan mengembalikan juga matanya yang buta.

Rencana Yusuf sudah matang. Yusuf memerintahkan para pengawalnya untuk meletakkan gelas raja yang terbuat dari emas di tempat penyimpanan yang dibawa saudaranya secara rahasia. Gelas itu digunakan sebagai alat untuk menimbang gandum di mana gelas tersebut tentu sangat mahal karena ia terbuat dari emas murni. Akhirnya, gelas tersebut disembunyikan dalam barang bawaan saudaranya. Saudara-saudara Yusuf bersiap-siap untuk pergi dan bersama mereka saudara mereka yang kecil. Kemudian pintu kota pun ditutup dan tiba-tiba berteriaklah seseorang: “Hai kafilah, kalian adalah pencuri.”

Teriakan tentara tersebut menghentikan langkah semua kafilah. Kini, mereka semua menjadi tertuduh. Orang-orang berdatangan dan bersama mereka saudara-saudara Yusuf. “Barang apa yang hilang dari kamu?” tanya saudara-saudara Yusuf. Para tentara itu menjawab: “Kami kehilangan gelas milik raja yang terbuat dari emas. Barangsiapa yang mampu mendatangkannya dan menemukannya, makakami akan memberikan balasan. Kami akan memberikannya makanan yang dimuat oleh unta.”

Saudara-saudara bukanlah orang-orang yang mencuri. Para petugas keamanan Yusuf berkata (sebelumnya mereka telah mendapatkan pengarahan dari Yusuf): “Hukuman apa yang kalian inginkan bagi seorang pencuri?” Saudara-saudara Yusuf berkata: “Dalam peraturan kami, bahwa orang yang mencuri akan menjadi budak bagi orang yang kehilangan barangnya.” Petugas keamanan itu berkata: “Kami akan menerapkan peraturan kalian. Kami tidak menggunakan undang-undang Mesir yang menegaskan untuk memenjarakan orang yang mencuri.” Tawaran ini tentu sebagai tipu daya dan rencana jitu dari Allah SWT di mana Yusuf diberi ilham untuk membicarakan hal itu pada petugas keamanannya. Seandainya kalau bukan karena rencana Ilahi ini, niscaya Yusuf tidak akan dapat mengambil saudaranya. Agama raja atau peraturannya tidak memutuskan untuk menjadikan budak orang yang mencuri.

Salah seorang kepala keamanan berkata: “Mulailah kalian memeriksa.” Yusuf memperhatikan semua ini dari singgasananya. Ia telah menyerahkan perintahnya kepada petugas keamanan untuk pertama-tama memeriksa saudara-saudaranya dan hendaklah mereka tidak mengeluarkan gelas raja kecuali pada pemeriksaaan yang terakhir. Kemudian selesailah pemeriksaan saudara yang pertama, saudara yang kedua sampai saudara yang kesepuluh. Dan mereka tidak menemukan barang yang dimaksud. Saudara-saudara Yusuf merasa aman bahwa mereka terlepas dari tuduhan mencuri. Mereka mulai menarik nafas lega dan mereka berkata bahwa semua di antara kami telah diperiksa kecuali saudara kami yang kecil. Yusuf berkata—kali ini beliau turut campur—: “Ia tidak perlu di­periksa.” Tampaknya ia bukan seorang pencuri.

Saudara-saudara Yusuf berkata: “Kami tidak akan meninggalkan tempat ini kecuali setelah barang bawaannya diperiksa. Ini harus dilakukan agar hati kami menjadi tenang begitu juga hati kalian. Sungguh kami adalah anak-anak dari seorang tua yang baik dan kami bukanlah pencuri.” Akhirnya, petugas keamanan pun memeriksa barang bawaan saudaranya, dan tiba-tiba mereka mengeluarkan gelas raja dari dalamnya. Dan sesuai peraturan yang ditetapkan oleh mereka, saudara Yusuf menjadi budak baginya. Saudara-sau­dara Yusuf yang merasa tenang dan selamat dari tuduhan, kini mereka mulai mencela saudara kandung Yusuf. Mereka berkata: “Jika ia mencuri, maka saudaranya yang dulu pun juga mencuri.” Yusuf mendengarkan tuduhan mereka padanya dan beliau menampakkan kesedihan yang dalam. Yusuf menyembunyikan kesedihannya dalam dirinya dan tidak menampakkan perasaannya.

Yusuf berkata dalam dirinya: “Sesungguhnya sifat-sifat kalian lebih buruk, dan Allah SWT mengetahui apa yang kalian nyatakan itu.” Beliau ingin mengatakan: “Dengan tuduhan ini, kalian justru menambah keburukan kalian di sisi Allah SWT daripada si tertuduh karena kalian menuduh seseorang yang sebenarnya terlepas dari tuduhan dan Allah SWT mengetahui hakikat yang kalian katakan.” Kemudian terjadilah keheningan setelah komentar saudara-saudara yang terakhir. Kemudian hilanglah perasaan selamat dan mereka mulai mengingat Yakub. Bukankah mereka telah menjalin suatu perjanjian besar dengannya agar mereka tidak berlaku aniaya terhadap anaknya? Mereka mulai merengek-rengek dan mencoba mendapat belas kasih dari Yusuf: “Wahai seorang yang mulia, wahai raja, sungguh ia mempunyai ayah yang sudah tua, maka ambilah salah seorang dari kami sebagai gantinya. Sungguh kami melihatmu sebagai seorang yang baik.”

Yusuf berkata dengan penuh ketenangan: “Bagaimana kalian ingin agar kami melepaskan seseorang yang kami temukan gelas raja di tempatnya, lalu kalian meminta seseorang yang lain sebagai gantinya? Ini adalah tindakan yang lalim dan kami tidak akan berbuat lalim.” Saudara-saudara Yusuf berusaha untuk terus meminta belas kasihnya tetapi petugas keamanan dan para tentara meyakinkan mereka bahwa pemimpin Mesir, Yusuf yang jujur, telah berbicara dan mengeluarkan perintah. Karena itu, hendaklah mereka pergi dan meninggalkan saudara mereka sebagai budak di sisinya.

Kemudian saudara-saudara Yusuf mulai bergerak. Mereka tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan saat menghadapi musibah yang baru ini, dan bagaimana mereka akan menghadapi ayah mereka dan menceritakan padanya apa yang terjadi. Salah seorang saudara yang paling tua duduk di atas tanah dan berkata: “Aku tidak akan bergerak dari tempatku. Kalian telah berbuat aniaya terhadap Yusuf sebelumnya, dan sekarang kalian berbuat aniaya terhadap saudaranya. Pulanglah kalian pada ayah kalian tanpa aku dan ceritakan padanya apa yang terjadi.

Allah SWT berfirman:

“Maka tatkala telah disiapkan untuk mereka bahan makanan mereka, Yusuf memasukan piala (tempat minum) ke dalam karung saudaranya. Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan: ‘Hai kafilah, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri.’ Mereka menjawab, sambil menghadap kepada penyeru-penyeru itu: ‘Barang apakah yang hilang dari kamu?’ Penyeru-penyeru itu ber­kata: ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.’ Saudara-saudara Yusuf menjawab: ‘Demi Allah, sesungguhnya kamu mengetahui bahwa kami datang bukan untuk membuat kerusakan di negeri (ini) dan kami bukanlah para pencuri.’ Mereka berkata: ‘Tetapi apa balasannya jika kamu betul-betul pendusta?’ Mereka menjawab: ‘Balasannya, ialah pada siapa diketemukan (barang yang hilang) dalam karungnya, maka dia sendirilah balasannya (tebusannya). Demikianlah kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang lalim.’ Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, hecuali Allah menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki: Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengatahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui. Mereka ber­kata: ‘Jika ia mencuri, maka sesungguhnya telah pernah mencuri pula saudaranya sebelum itu.’ Maka Yusuf menyembunyikan kejengkelan itu pada dirinya dan tidak menampakkannya kepada mereka. Dia berkata (dalam hatinya): ‘Kamu lebih buruk dari kedudukanmu (sifat-sifatmu) dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu terangkan itu. Mereka berhata: ‘Wahai al-Aziz, sesungguhnya ia mempunyai ayah yang sudah lanjut usianya, lantaran itu ambillah salah seorang di antara kami sebagai gantinya, sesungguhnya kami melihat hamu termasuk orang-orang yang berbuat baik.’ Berkata Yusuf: ‘Aku mohon perlindungan kepada Allah dari menahan seseorang, kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya, jika kami berbuat demikian, maka benar-benarlah kami orang-orang yang lalim.’ Maka tatkala mereka berputus asa daripada (putusan) Yusuf mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. Berkatalah yang tertua di antara mereka: ‘Tidakkah kamu ketahui bahwa sesungguh­nya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu, aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali) atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya.'” (QS. Yusuf: 70-80)

Saudara-saudara Yusuf menetapkan akan kembali tanpa saudara kandung mereka yang paling besar dan tanpa saudara kandung mereka yang paling kecil. Mereka masuk menemui ayahnya dan berkata: “Wahai ayahku, anakmu benar-benar mencuri.” Dengan penuh keheranan ayahnya bertanya, seakan-akan ia mendustakan apa yang didengarnya: “Apa yang kalian katakan?” Mereka menceritakan apa yang telah terjadi. Mereka memberitahukan kepadanya bahwa mereka mengatakan apa yang benar-benar mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri. Kalau ayah mereka ragu, hendaklah ia bertanya kepada orang-orang yang bersama mereka di Mesir, dan hendaklah ia bertanya kepada kafilah yang datang bersama mereka. Kali ini mereka benar. Terdapat banyak saksi yang mendukung mereka.

Nabi Yakub berusaha mendengar apa yang mereka katakan dan dengan kesedihan yang diliputi dengan kesabaran dan mata yang menangis beliau berkata: “Hanya dirimu sendiri yang memandang baik perbuatan yang buruk itu. Maka kesabaran yang baik itulah kesabaranku. Mudah-mudahan Allah SWT mendatangkan mereka semuanya kepadaku. Sesungguhnya Dia Maria Mengetahui dan Maha Bijaksana.” Yakub tidak percaya kepada mereka karena mereka sebelumnya telah berbuat kelaliman. Akhirnya, Yakub mulai merasakan kesepian. Ia hidup tanpa ditemani putranya yang lebih dicintainya daripada saudara-saudaranya yang lain. Yakub adalah seorang yang sudah tua dan di masa tuanya Allah SWT mengujinya dengan kesepian dan kesendirian tetapi Yakub telah mewasiatkan kesabaran dalam dirinya dan bertawakal kepada Allah SWT. Yakub telah berusaha menerapkan kesabaran yang indah tanpa mengadukan apa yang dialaminya kepada seseorang pun selain Allah SWT. Beliau hanya mengharap kebaikan kepada Allah SWT dan berharap kepada-Nya untuk mendatangkan semua anak-anaknya. Sesungguhnya Allah SWT mengetahui keadaaannya dan Dia Maha Bijaksana, Maha Penyayang, dan Maha Pengasih terhadap hamba-Nya.

Nabi Yakub pergi dan kembali ke kamarnya. Mendengar peristiwa tersebut, beliau kembali terkenang dengan peristiwa lamanya berkenaan dengan anaknya Yusuf. Ia mulai merenung sambil berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf.” Keluarlah dalam hatinya suatu kegoncangan cinta yang dalam lalu kedua matanya dipenuhi dengan air mata yang banyak yang semakin menambah kesedihannya. Allah SWT memberitahukan kepada kita tentang dialog yang terjadi antara saudara-saudara Yusuf dan ayah mereka dalam firman-Nya:

“Kembalilah kepada ayahmu dan katakanlah: ‘Wahai ayah kami! Sesungguhnya anakmu telah mencuri; dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui dan sekali-kali kami tidak dapat menjaga (mengetahui) barang yang gaib. Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar. Yakub berkata: ‘Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mengetahui. ‘Dan Yakub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: ‘Aduhai duka citaku terhadap Yusuf,’ dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). ” (QS. Yusuf: 81-84)

Tangisan yang cukup lama itu menjadikan beliau kehilangan matanya atau menyerupai sesuatu yang menampakkan kehilangan matanya. Adakah orang yang mengatakan: “Apakah mungkin seorang nabi menangis seperti ini? Tidakkah menangis justru menam­pakkan keputusasaan?” Untuk menjawab kegelisahan orang yang bertanya demikian, kami katakan: “para nabi adalah manusia yang memiliki perasaan yang paling besar dan paling sensitif terhadap penderitaan. Tangisan itu sendiri merupakan bentuk dan tingkatan dari cinta. Juga merupakan bentuk pengaduan kepada Allah SWT. Yakub menangis karena beliau adalah seseorang yang memiliki jiwa yang besar. Beliau tidak menangis di hadapan seseorang pun. Tangisan beliau sekadar pengaduan kepada Allah SWT yang tiada seorang pun yang mengetahuinya kecuali Allah SWT. Tangisan tersebut tidak dipahami oleh anak-anaknya di mana mereka menyerang sisi kemanusiaannya yang dalam dengan menasihatinya agar berhenti menangis dan kalau tidak, kata mereka, ia akan menghancurkan dirinya sendiri.”

“Mereka berkata: ,Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa.'” Yakub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 85-86)

Nabi Yakub menjawab perkataan anak-anaknya itu dan beliau berusaha menunjukkan alasan dan hakikat dari tangisannya. Beliau mengadukan persoalan-persoalannya kepada Allah SWT karena Dia Maha Mengetahui terhadap banyak hal yang tidak mereka ketahui. Beliau meminta kepada mereka agar membiarkannya menangis dan menganjurkan mereka untuk melakukan hal lebih bermanfaat bagi mereka.

“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. ” (QS. Yusuf: 87)

Di tengah-tengah kesedihannya yang dalam, beliau menyingkapkan harapannya akan rahmat Allah SWT. Beliau mengetahui melalui ilham yang didapatnya bahwa Yusuf tidak mati. Oleh karena itu, hendaklah saudara-saudara Yusuf pergi mencarinya, dan hen­daklah dalam mencarinya mereka benar-benar berharap kepada Allah SWT. Kafilah bergerak dan menuju ke Mesir. Saudara-saudara Yusuf berjalan menuju ke al-Aziz. Keadaan perekonomian mereka sedang merosot tajam dan begitu juga suasana kejiwaaan mereka, kefakiran mereka, kesedihan ayah mereka, dan penderitaan yang mengiringi mereka sangat meruntuhkan kekuatan mereka. Kini mereka menemui Yusuf dan mereka membawa harta benda yang sangat sederhana dan hina. Mereka datang dengan membawa sesuatu yang memiliki harga sangat minim atau sedikit. Allah SWT berfirman:

“Maka ketika mereka masuk (ke tempat) Yusuf, mereka berkata: ‘Hai al-Aziz, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tak berharga, maka sempurnakanlah sukatan untuk kami, dan bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada arang-orang yang bersedekah.” (QS. Yusuf: 88)

Akhirnya, mereka terpaksa meminta-minta. Mereka meminta kepada Yusuf agar sudi kiranya bersedekah untuk mereka dan menunjukkan belas kasihnya kepada mereka dengan mengingatkan bahwa Allah SWT akan membalas orang-orang yang bersedekah. Di tengah-tengah kehinaan mereka dan kemerosotan mereka, Yusuf berbicara dengan bahasa mereka tanpa perantara seorang penerjemah:

“Yusuf berkata: ‘Apakah kamu mengetahui (kejelekan) apa yang telah kamu lakukan terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kamu tidak mengetahui (akibat) perbuatanmu itu?’ Mereka berkata: ‘Apakah kamu ini benar-benar Yusuf?’ Yusuf menjawab: ‘Akulah Yusuf dan ini saudaraku, sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami.’ Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.’ Mereka berkata: ‘Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).'” (QS. Yusuf: 89-91)

Dialog tersebut menyentuh ungkapan-ungkapan yang sangat dalam yang ada pada jiwa mereka. Penguasa Mesir mengagetkan mereka dengan bertanya seputar apa yang telah mereka lakukan terhadap Yusuf. Nabi Yusuf berbicara dengan bahasa mereka sehingga mereka mengetahui bahwa ia benar-benar Yusuf. Kemudian dia­log itu semakin berkembang sehingga terungkaplah kesalahan me­reka di hadapannya. Mereka telah membuat tipu daya pada Yusuf tetapi Allah SWT memenangkan urusan-Nya. Setelah berlalu tahun demi tahun, maka tersingkaplah tipu daya mereka. Dan Allah SWT memenangkan rencana-Nya dengan cara yang sangat elegan. Masuknya Yusuf dalam sumur merupakan awal dari kebangkitan untuk menduduki kursi istana dan kekuasaan, dan jauhnya beliau dari ayahnya justru menjadi sebab bertambahnya cinta Yakub kepadanya. Ini adalah tabir yang tersingkap di depan mereka.

Kali ini, Nabi Yusuf justru benar-benar menjadi tumpuan harapan mereka. Mereka menutup dialog mereka bersamanya dengan mengatakan: “Demi Allah, sesungguhnya Allah SWT telah melebih­kan kamu atas kami, dan kami adalah orang-orang yang bersalah.” Pengakuan mereka terhadap kesalahan yang mereka lakukan di sisi lain justru menyembunyikan kekhawatiran pada diri mereka. Mungkin mereka berpikir bahwa Yusuf akan melakukan balas dendam kepada mereka sehingga tubuh mereka tampak gemetar. Melihat hal yang demikian itu, Yusuf menenangkan mereka dengan ucapannya:

“Dia (Yusuf) berkata: ‘Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang. ” (QS. Yusuf: 92)

Tidak ada balas dendam, tidak ada celaan, dan tidak ada kebencian. Yusuf tidak mengatakan bahwa aku akan memaafkan kalian atau aku mengampuni kalian, tetapi ia berdoa kepada Allah SWT agar Dia mengampuni mereka. Ini mengisyaratkan bahwa beliau mengampuni mereka. Nabi Yusuf berdoa kepada Allah SWT agar Dia mengampuni mereka dan tentu doa seorang nabi akan dikabulkan. Ini adalah sikap toleransi beliau yang sangat terpuji. Ini adalah contoh terbaik dari sikap toleran. Setelah itu, Nabi Yusuf mengalihkan pembicaraan kepada ayahnya. Beliau mengetahui bahwa mata ayahnya sudah memutih karena saking sedihnya. Beliau mengetahui bahwa ayahnya tidak mampu lagi melihat. Beliau merasakan penderitaaan ayahnya sehingga beliau melepas bajunya dan memberikannya kepada mereka:

“Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku.” (QS. Yusuf: 93)

Kafilah kembali ke Palestina. Akhirnya, peristiwa di Mesir berpindah ke tanah Palestina. Kita sekarang berada di rumah Nabi Yakub. Lelaki itu duduk di kamarnya dalam keadaan kedua matanya memutih. Tiba-tiba laki-laki itu bangkit dan tampaklah perubahan drastis pada wajahnya. Ia menggantikan pakaiannya dan keluar menemui istri-istri anak-anaknya. Ia berhenti di tengah-tengah rumah dan mengangkat kepalanya ke langit lalu menghirup udara dengan kuat. Dadanya dipenuhi dengan hembusan angin yang datang dari Mesir. kemudian ia kembali ke kamarnya. Salah seorang istri anak yang paling besar berkata kepada istri-istri anak-anak yang lain: “Sungguh Yakub hari ini keluar dari kamarnya tidak seperti biasanya. Kami merasakan ada sesuatu yang lain. Yakub meninggalkan persembunyiannya dan berdiri di depan halaman rumah. Ia melihat ke langit padahal ia buta, dan bagaimana ia melihat ke langit? Aku tidak tahu. Tetapi aku bersumpah, aku telah melihat senyum yang menghiasi wajahnya.”

Istri-istri dan anak laki-laki yang lain bertanya dalam keadaan keheranan: “Kamu mengatakan bahwa ia memakai baju yang baru dan kamu mengatakan bahwa dia tersenyum?” Wanita-wanita itu segera menuju Nabi Yakub dan tampak senyuman masih menghiasi wajahnya. Apakah yang dilihat oleh wanita-wanita itu suatu imajinasi? Wanita-wanita itu bertanya kepadanya: “Apa yang kamu rasakan, wahai seorang yang mulia?” Lelaki tua itu menjawab: “Aku mencium bau Yusuf.” Mendengar jawaban itu, para wanita menggerutu. Lalu Yakub menambahkan: “Sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal, tentu kamu membenarkan aku.”

Istri-istri dan anak laki-laki itu meninggalkan Yakub dan kemudian terjadilah dialog-dialog lanjutan antara sesama mereka: “Lelaki tua itu tidak memiliki harapan. Tangisannya atas Yusuf akan menghancurkannya,” kata sebagian mereka. “Apakah ia berbicara tentang pakaiannya?” “Aku tidak tahu, ia hanya berkata bahwa ia men­cium bau Yusuf,” jawab yang lain. “Engkau mengatakan bahwa ia mengganti pakiannya?,” tanya sebagian mereka. “Barangkali ia gila, hanya orang yang gila yang menceritakan sesuatu yang tidak ada,” sambung yang lain. Pada hari itu Yakub meminta segelas susu. Ia berpuasa dan berbuka dengannya, lalu untuk pertama kalinya ia meminta makanan dan tidak menolaknya.

Datanglah waktu sore dan ia menggantikan pakaiannya dengan agak lambat. Kafilah berjalan dengan membawa pakian Yusuf. Pakaian itu disembunyikan di bawah gandum. Pakaian itu bercampur dengan embun-embun kebun dan bau tanah yang baik dan minyak wangi Nabi Yusuf serta kehangatan matahari yang mematangkan gandum. Kafilah mulai mendekat ke desa lelaki tua itu. Lelaki itu berputar-putar di kamarnya. Ia tampak sibuk salat dan mengangkat kedua tangannya ke langit kemudian ia mulai men­cium udara dan menangis. Ia membayangkan pakaian Yusuf yang sedang menuju padanya:

“Tatkala kafilah itu telah ke luar (dari negeri Mesir) berkata ayah mereka: ‘Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku). Keluarganya berkata: ‘Demi Allah, sesungguhnya kamu masih dalam kekeliruanmu yang dahulu.’ Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Yakub, lalu kembalilah dia dapat melihat. Berkata Yakub: Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya.’ Mereka berkata: ‘Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).'” (QS. Yusuf: 94-97)

Inilah fase terakhir dari kisah Nabi Yusuf di mana kisahnya dimulai dengan mimpi dan di episode terakhirnya menyebutkan takwil mimpinya:

“Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf: Yusuf merangkul ibu bapaknya dan dia berkata: ‘Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.” Dan ia menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya bersujud kepada Yusuf. Dan berkata Yusuf: ‘Wahai ayahku inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah setan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengeta­hui. ” (QS. Yusuf: 99-100)

Perhatikanlah apa yang dilakukannya saat mimpinya terwujud, beliau berdoa kepada Tuhannya:

“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepa­daku sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh. ” (QS. Yusuf: 101)

Itu hanya satu doa: “wafatkanlah aku sebagai seorang Muslim.” Kita tidak ingin meninggalkan kisah Nabi Yusuf putra Nabi Yakub yang mulia sebelum kita memperhatikan poin penting di bawah ini:

Dalam kisah Nabi Ibrahim, cinta naluriah terhadap Ismail, anaknya, dicabut darinya, sehingga hatinya benar-benar dipenuhi dengan cinta yang murni untuk Allah SWT semata. Dan ketika persoalan tersebut terwujud, maka perintah untuk menyembelih anaknya dibatalkan dan kemudian datanglah tebusan dari Allah SWT. Dalam hal ini terdapat kesamaan dengan apa yang terjadi pada Nabi Yakub di mana Yakub sangat mencintai Yusuf kemudian ia diuji dengan hilangnya Yusuf, dan ketika hatinya murni untuk Allah SWT tanpa ada kecemburuan kepada Yusuf dan saudaranya, Allah mengembalikan kedua anaknya kepadanya.

Kembali ke Kisah Nabi


Artikel lainnya :

Posted 30 September 2010 by arraahmanmedia in Kisah-Kisah, Nabi-Nabi

Tagged with , ,

Riwayat Nabi Nuh as   Leave a comment


Selesailah kisah kaum Nabi Nuh dalam sejarah. Mayoritas di antara mereka yang mendustakan ajarannya telah dihancurkan oleh topan. Sedangkan minoritas di antara mereka dapat kembali memakmurkan bumi sebagai wujud dari sunatullah dan janji-Nya: Sedangkan janji Allah SWT kepada Nabi Nuh adalah:

“Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang takwa.” (QS. al-Qashash: 83)

Dan janji Allah SWT juga kepada Nabi Nuh adalah:

“Difirmankan: ‘Hai Nuh, turunlah dengan selamat dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang beriman) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada pula umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam hehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami. ” (QS. Hud: 48)

Berputarlah roda kehidupan dan datanglah janji Allah SWT. Setelah datangnya topan, tiada yang tersisa dari manusia di muka bumi kecuali orang-orang yang beriman. Tiada satu hati yang kafir pun berada di muka bumi dan setan mulai mengeluhkan pengangguran.

Berlalulah tahun demi tahun, lalu matilah para orang tua dan anak-anak, dan datanglah anak dari anak-anak. Manusia lupa akan wasiat Nabi Nuh dan mereka kembali menyembah berhala. Manusia menyimpang dari penyembahan yang semata-mata untuk Allah SWT. Akhirnya, tipuan kuno berulang kembali. Para cucu kaum Nabi Nuh berkata: “Kita tidak ingin melupakan kakek kita yang Allah SWT selamatkan mereka dari topan.”

Oleh karena itu, mereka membuat patung-patung orang-orang yang selamat itu yang dapat mengingatkan mereka dengannya. Dan pengagungan ini semakin berkembang generasi demi generasi, namun akhimya penghormatan itu berubah menjadi penghambaan. Patung-patung itu berubah—dengan bisikan setan—menjadi tuhan selain Allah SWT. Dan bumi kembali mengeluhkan kegelapan. Lalu Allah SWT rnengutus junjungan kita Nabi Hud di tengah-tengah kaumnya.

Al-Qur’an menyingkap ceritanya setelah diutusnya Nabi Hud untuk membawa agama kepada manusia. Nabi Hud berasal dari kabilah yang bernama ‘Ad. Kabilah ini tinggal di suatu tempat yang bernama al-Ahqaf. la adalah padang pasir yang dipenuhi dengan gunung-gunung pasir dan tampak dari puncaknya lautan. Adapun tempat tinggal mereka berupa tenda-tenda besar dan mempuyai tiang-tiang yang kuat dan tinggi. Kaum ‘Ad terkenal dengan kekuatan fisik di saat itu, dan mereka juga memiliki tubuh yang amat tinggi dan tegak sampai-sampai mereka mengatakan seperti yang dikutip oleh Al-Qur’an:

“Mereka berkata: ‘Siapakah yang lebih kuat daripada kami.'” (QS. Fushilat: 15)

Tiada seorang pun di masa itu yang dapat menandingi kekuatan mereka. Meskipun mereka memiliki kebesaran tubuh, namun mereka memiliki akal yang gelap. Mereka menyembah berhala dan membelanya bahkan mereka siap berperang atas namanya. Mereka malah menuduh nabi mereka dan mengejeknya. Selama mereka menganggap bahwa kekuatan adalah hal yang patut dibanggakan, maka seharusnya mereka melihat bahwa Allah SWT yang menciptakan mereka lebih kuat dari mereka. Sayangnya, mereka tidak melihat selain kecongkakan mereka. Nabi Hud berkata kepada mereka:

“Wahai kaumku, sembahlah Allah yang tiada tuhan lain bagi kalian selain-Nya. ” (QS. Hud: 50)

Itu adalah perkataan yang sama yang diucapkan oleh seluruh nabi dan rasul. Perkataan tersebut tidak pernah berubah, tidak pernah berkurang, dan tidak pernah dicabut kembali. Kaumnya bertanya kepadanya: “Apakah engkau ingin menjadi pemimpin bagi kami melalui dakwahmu ini? Imbalan apa yang engkau inginkan?” Nabi Hud memberitahu mereka bahwa ia hanya mengharapkan imbalan dari Allah SWT. Ia tidak menginginkan sesuatu pun dari mereka selain agar mereka menerangi akal mereka dengan cahaya kebenaran. Ia mengingatkan mereka tentang nikmat Allah SWT terhadap mereka. Bagaimana Dia menjadikan mereka sebagai khalifah setelah Nabi Nuh, bagaimana Dia memberi mereka kekuatan fisik, bagaimana Dia menempatkan mereka di bumi yang penuh dengan kebaikan, bagaimana Dia mengirim hujan lalu menghidupkan bumi dengannya.

Kaum Hud membuat kerusakan dan mengira bahwa mereka orang-orang yang terkuat di muka bumi, sehingga mereka menampakkan kesombongan dan semakin menentang kebenaran. Mereka berkata kepada Nabi Hud: “Bagaimana engkau menuduh tuhan-tuhan kami yang kami mendapati ayah-ayah kami menyembahnya?” Nabi Hud menjawab: “Sungguh orang tua kalian telah berbuat kesalahan.” Kaum Nabi Hud berkata: “Apakah engkau akan mengatakan wahai Hud bahwa setelah kami mad dan menjadi tanah yang beterbangan di udara, kita akan kembali hidup?” Nabi Hud menjawab: “Kalian akan kembali pada hari kiamat dan Allah SWT akan bertanya kepada masing-masing dari kalian tentang apa yang kalian lakukan.”

Setelah mendengar jawaban itu, meledaklah tertawa dari mereka. Alangkah anehnya pengakuan Hud, demikianlah orang-orang kafir berbisik di antara mereka. Manusia akan mati dan ketika mati jasadnya akan rusak dan ketika jasadnya rusak ia akan menjadi tanah kemudian akan dibawa oleh udara dan tanah itu akan beter­bangan, lalu bagaimana semua ini akan kembali ke asalnya. “Kemu­dian apa pengertian adanya hari kiamat? Mengapa orang-orang yang mati akan bangkit dari kematiannya?” Hud menerima pertanyaan-pertanyaan ini dengan kesabaran yang mulia. Kemudian ia mulai menerangkan pada kaumnya keadaan hari kiamat. Ia menjelaskan kepada mereka bahwa kepercayaan manusia kepada hari akhir adalah satu hal yang penting yang berhubungan dengan keadilan Allah SWT, sebagaimana ia juga sesuatu yang penting yang juga berhubungan dengan kehidupan manusia.

Nabi Hud menerangkan kepada mereka sebagaimana apa yang diterangkan oleh semua nabi berkenaan dengan hari kiamat. Sesungguhnya hikmah sang Pencipta tidak menjadi sempurna dengan sekadar memulai penciptaan kemudian berakhirnya kehidupan para makhluk di muka bumi ini, lalu setelah itu tidak ada hal yang lain. Ini adalah masa tenggang yang pertama dari ujian. Dan ujian tidak selesai dengan hanya menyerahkan lembar jawaban. Harus juga disertai dengan koreksi terhadap lembar jawaban itu, memberi nilai, dan menjelaskan siapa yang berhasil dan siapa yang gagal.

Manusia selama hidup di dunia tidak hanya mempunyai satu tindakan; ada yang berbuat kelaliman, ada yang membunuh, dan ada yang melampaui batas. Seringkali kita melihat orang-orang lalim pergi dengan bebas tanpa menjalani hukuman. Cukup banyak orang-orang yang jahat namun mereka mendapatkan fasilitas yang mewah dan mendapatkan penghormatan serta kekuasaan. Ke mana orang-orang yang teraniaya akan mengadu dan kepada siapa orang-orang yang menderita akan mengeluh?

Logika keadilan menuntut adanya hari kiamat. Sesungguhnya kebaikan tidak selalu menang dalam kehidupan, bahkan terkadang pasukan kejahatan berhasil membunuh dan memperdaya para pejuang kebenaran. Lalu, apakah kejahatan ini berlalu begitu saja tanpa mendapatkan balasan? Sungguh suatu kelaliman besar terhampar seandainya kita menganggap bahwa hari kiamat tidak pernah terjadi. Allah SWT telah mengharamkan kelaliman atas diri-Nya sendiri, dan Dia pun mengharamkannya terjadi di antara hamba-hamba-Nya., maka adanya hari kiamat, hari perhitungan, hari pembalasan adalah sebagai bukti kesempurnaan dari keadilan Allah SWT. Sebab hari kiamat adalah hari di mana semua persoalan akan disingkap kembali di depan sang Pencipta dan akan di tinjau kembali, dan Allah SWT akan memutuskan hukum-Nya di dalam-nya. Inilah kepentingan pertama tentang hari kiamat yang berhubungan langsung dengan keadilan Allah SWT.

Ada kepentingan lain berkenaan dengan hari kiamat, yang berhubungan dengan perilaku manusia sendiri. Bahwa keyakinan dengan adanya hari akhir, mempercayai hari kebangkitan, perhitungan amal, penerimaan pahala dan siksa, dan kemudian masuk surga atau neraka adalah perkara-perkara yang langsung berkenaan dengan perilaku manusia, di mana konsentrasi manusia dan had mereka akan tertuju dengan alam lain setelah alam ini. Oleh karena itu, mereka tidak akan terbelenggu oleh kenikmatan dunia, kerakusan kepadanya, dan egoisme untuk menguasinya. Mereka tidak perlu gelisah saat mereka tidak berhasil melihat balasan usaha mereka dalam umur mereka yang pendek dan terbatas. Dengan demikian, manusia semakin meninggi dari tanah yang menjadi asal penciptaannya ke roh yang ditiupkan oleh Tuhannya.

Barangkali persimpangan jalan antara tunduk terhadap imajinasi dunia, nilai-nilainya, dan pertimbangan-pertimbangannya dan ketergantungan dengan nilai-nilai Allah SWT yang tinggi dapat terwujud dengan adanya keimanan terhadap hari kiamat. Nabi Hud telah membicarakan semua ini dan mereka telah mendengarkannya namun mereka mendustakannya. Allah SWT menceritakan sikap kaum itu terhadap hari kiamat:

“Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan pertemuan dengan hari kiamat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan dunia: ‘Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia, makan dari apa yang kamu, makan, dan meminum dari apa yang kamu minum. Dan sesungguhnya jika kamu sekalian menaati manusia yang seperti kamu, niscaya bila demikian itu, kamu benar-benar menjadi orang-orang yang merugi. Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu sesungguhnya akan dikeluarkan (dari kuburmu)?, jauh, jauh sekali (dari kebenaran) apa yang diancamkan kepadamu itu, kehidupan tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan hidup dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi. ” (QS. al-Mu`minun: 33-37)

Demikianlah kaum Nabi Hud mendustakan nabinya. Mereka berkata kepadanya: “Tidak mungkin, tidak mungkin.” Mereka keheranan ketika mendengar bahwa Allah SWT akan membangkitkan orang-orang yang ada dalam kuburan. Mereka bingung ketika dibe-ritahu bahwa Allah SWT akan mengembalikan penciptaan manusia setelah ia berubah menjadi tanah, meskipun Dia telah menciptakannya sebelumnya juga dari tanah. Seharusnya para pendusta hari kebangkitan itu merasa bahwa mengembalikan penciptaan manusia dari tanah dan tulang lebih mudah dari penciptaannya pertama kali. Bukankah Allah SWT telah menciptakan semua makhluk, maka kesulitan apa yang ditemui-Nya dalam mengembalikannya. Kesulit­an itu disesuaikan dengan tolok ukur manusia yang tersembunyi dalam ciptaan., maka tolok ukur manusia tersebut tidak dapat diterapkan kepada Allah SWT. Karena Dia tidak mengenal kesulitan atau kemudahan. Ketika Dia ingin membuat sesuatu, maka Dia hanya sekadar mengeluarkan perintah:

“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepa­danya: “Jadilah.”Lalu jadilah ia.” (QS. al-Baqarah: 117)

Kita juga memperhatikan firman-Nya:

“Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya.” (QS. al-Mu^minun: 33)

Al-Mala’ ialah para pembesar (ar-Ruasa’). Mereka dinamakan al-Mala’ karena mereka suka berbicara dan mereka mempunyai kepentingan dalam kesinambungan situasi yang tidak sehat. Kita akan menyaksikan mereka dalam setiap kisah para nabi. Kita akan melihat para pembesar kaum, orang-orang kaya di antara mereka, dan orang-orang elit di antara mereka yang menentang para nabi. Allah SWT menggambarkan mereka dalam firman-Nya:

“Dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan dunia. ” (QS. al-Mukminun: 33)

Karena pengaruh kekayaan dan kemewahan hidup, lahirlah keinginan untuk meneruskan kepentingan-kepentingan khusus, dan dari pengaruh kekayaan dan kekuasaan, muncullah sikap sombong. Para pembesar itu menoleh kepada kaumnya sambil bertanya-tanya: “Tidakkah nabi ini manusia biasa seperti kita, ia memakan dari apa yang kita, makan, dan meminum dari apa yang kita minum? Bahkan barangkali karena kemiskinannya, ia sedikit, makan dari apa yang kita, makan dan ia minum, menggunakan gelas-gelas yang kotor sementara kita minum dari gelas-gelas yang terbuat dari emas dan perak., maka bagaimana ia mengaku berada dalam kebenaran dan kita dalam kebatilan? Ini adalah manusia biasa, maka bagaimana kita menaati manusia biasa seperti kita? Kemudian, mengapa Allah SWT memilih manusia di antara kita untuk mendapatkan wahyu-Nya?”

Para pembesar kaum Nabi Hud berkata: “Bukankah hal yang aneh ketika Allah SWT memilih manusia biasa di antara kita untuk menerima wahyu dari-Nya?” Nabi Hud balik bertanya: “Apa keanehan dalam hal itu? Sesungguhnya Allah SWT mencintai kalian dan oleh karenanya Dia mengutus aku kepada kalian untuk mengingatkan kalian. Sesungguhnya perahu Nuh dan kisah Nuh tidak jauh dari ingatan kalian. Janganlah kalian melupakan apa yang telah terjadi. Orang-orang yang menentang Allah SWT telah dihancurkan dan begitu juga orang-orang yang akan mengingkari-Nya pun akan dihancurkan, sekuat apa pun mereka.” Para pembesar kaum berkata: “Siapakah yang dapat menghancurkan kami wahai Hud?” Nabi Hud menjawab: “Allah SWT.”

Orang-orang kafir dari kaum Nabi Hud berkata: “Tuhan-tuhan kami akan menyelamatkan kami.” Nabi Hud memberitahu mereka, bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah ini dengan maksud untuk mendekatkan mereka kepada Allah SWT pada hakikatnya justru menjauhkan mereka dari-Nya. Ia menjelaskan kepada mere­ka bahwa hanya Allah SWT yang dapat menyelamatkan manusia, sedangkan kekuatan lain di bumi tidak dapat mendatangkan mudarat dan manfaat.

Pertarungan antara Nabi Hud dan kaumnya semakin seru. Dan setiap kali pertarungan berlanjut dan hari berlalu, kaum Nabi Hud meningkatkan kesombongan, pembangkangan, dan pendustaan kepada nabi mereka. Mereka mulai menuduh Nabi Hud sebagai seorang idiot dan gila. Pada suatu hari mereka berkata kepadanya: “Sekarang kami memahami rahasia kegilaanmu. Sesungguhnya engkau menghina tuhan kami dan tuhan kami telah marah kepadamu, dan karena kemarahannya engkau menjadi gila.” Allah SWT menceritakan apa yang mereka katakan dalam firman-Nya:

“Kaum ‘Ad berkata: ‘Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu. ” (QS. Hud: 53-54)

Sampai pada batas inilah penyimpangan itu telah terjadi pada diri mereka, sampai pada batas bahwa mereka menganggap, bahwa Nabi Hud telah mengigau karena salah satu tuhan mereka telah murka kepadanya sehingga ia terkena sesuatu penyakit gila. Nabi Hud tidak membiarkan anggapan mereka bahwa ia gila dan mengigau, naniun ia tidak bersikap emosi tetapi ia menunjukkan sikap tegas ketika mereka mengatakan: “Dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu. “

Setelah tantangan ini tiada lain bagi Nabi Hud kecuali memberikan tantangan yang sama. Nabi Hud hanya pasrah kepada Allah SWT. Nabi Hud hanya memberikan peringatan dan ancaman terhadap orang-orang yang mendustakan dakwahnya. Nabi Hud berkata:

“Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu bahwa Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya. Sebab itu, jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah karnu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudarat kepada-Nya sedikit pun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu. ” (QS. Hud: 54-57)

Manusia akan merasa keheranan terhadap perlawanan kepada kebenaran ini. Seorang lelaki menghadapi kaum yang kasar dan keras kepala serta bodoh. Mereka menganggap bahwa berhala-berhala dari batu dapat memberikan gangguan. Manusia sendiri rnampu menentang para tiran dan melumpuhkan keyakinan mereka, serta berlepas diri dari mereka dan dari tuhan mereka. Bahkan ia siap menentang mereka dan menghadapi segala bentuk, makar mereka. Ia pun siap berperang dengan mereka dan bertawakal kepada Allah SWT. Allah-lah yang Maha Kuat dan Maha Benar. Dia-lah yang menguasai setiap makhluk di muka bumi, baik berupa binatang, manusia, maupun makhluk lain. Tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah SWT.

Dengan keimanan kepada Allah SWT dan dengan kepercayaan pada janji-Nya serta merasa tenang dengan pertolongan-Nya, Nabi Hud menyeru orang-orang kaflr dari kaumnya. Nabi Hud melakukan yang demikian itu meskipun ia sendirian dan merasakan kelemahan karena ia mendapatkan keamanan yang hakiki dari Allah SWT. Dalam pembicaraannya, Nabi Hud menjelaskan kepada kaumnya bahwa ia melaksanakan amanat dan menyampaikan agama. Jika mereka mengingkari dakwahnya, niscaya Allah SWT akan mengganti mereka dengan kaum selain mereka. Yang demi­kian ini berarti bahwa mereka sedang menunggu azab. Demikianlah Nabi Hud menjelaskan kepada mereka, bahwa ia berlepas diri dari mereka dan dari tuhan mereka. la bertawakal kepada Allah SWT yang menciptakannya.

Ia mengetahui bahwa siksa akan turun di antara para pengikutnya yang menentang. Beginilah hukum kehidupan di mana Allah SWT menyiksa orang-orang kafir meskipun mereka sangat kuat atau sangat kaya. Nabi Hud dan kaumnya menunggu janji Allah SWT. Kemudian terjadilah masa kering di muka bumi di mana langit tidak lagi menurunkan hujan. Matahari menyengat sangat kuat hingga laksana percikan-percikan api yang menimpa kepala manusia.

Kaum Nabi Hud segera menuju kepadanya dan bertanya: “Mengapa terjadi kekeringan ini wahai Hud?” Nabi Hud berkata: “Sesungguhnya Allah SWT murka kepada kalian. Jika kalian beriman, maka Allah SWT akan rela terhadap kalian dan menurunkan hujan serta menambah kekuatan kalian.” Namun kaum Nabi Hud justru mengejeknya dan malah semakin menentangnya., maka masa kekeringan semakin meningkat dan menguningkan pohon-pohon yang hijau dan matilah tanaman-tanaman.

Lalu datanglah suatu hari di mana terdapat awan besar yang menyelimuti langit. Kaum Nabi Hud begitu gembira dan mereka keluar dari rumah mereka sambil berkata: “Hari ini kita akan dituruni hujan.” Tiba-tiba udara berubah yang tadinya sangat kering dan panas kini menjadi sangat dingin. Angin mulai bertiup dengan kencang. Semua benda menjadi bergoyang. Angin terus-menerus bertiup malam demi malam, dan hari demi hari. Setiap saat rasa dingin bertambah.

Kaum Nabi Hud mulai berlari. Mereka segera menuju ke tenda dan bersembunyi di dalamnya. Angin semakin bertiup dengan kencang dan menghancurkan tenda. Angin menghancurkan pakaian dan menghancurkan kulit. Setiap kali angin bertiup, ia menghan­curkan dan membunuh apa saja yang di depannya. Angin bertiup selama tujuh malam dan delapan hari dengan mengancam kehidupan dunia. Kemudian angin berhenti dengan izin Tuhannya.

Allah SWT berfirman:

“Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.’ (Bukan)! Bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya.” (QS. al-Ahqaf: 24-25) “Yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus;, maka kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk). ” (QS. al-Haqqah: 7)

Tiada yang tersisa dari kaum Nabi Hud kecuali pohon-pohon kurma yang lapuk. Nabi Hud dan orang-orang yang beriman kepadanya selamat sedangkan orang-orang yang menentangnya binasa.

Posted 28 September 2010 by arraahmanmedia in Kisah-Kisah, Nabi-Nabi

Tagged with , ,

Riwayat Nabi Nuh as   Leave a comment


Berlalulah beberapa tahun dari kematian Nabi Adam. Bunga-bunga berguguran di sekitar kuburannya dan pohon-pohon dan batu-batuan tampak tidak bergairah. Banyak hal berubah di muka bumi. Dan sesuai dengan hukum umum, terjadilah kealpaan terhadap wasiat Nabi Adam. Kesalahan yang dahulu kembali terulang. Kesalahan dalam bentuk kelupaan, meskipun kali ini terulang secara berbeda.

Sebelum lahirnya kaum Nabi Nuh, telah hidup lima orang saleh dari kakek-kakek kaum Nabi Nuh. Mereka hidup selama beberapa zaman kemudian mereka mati. Nama-nama mereka adalah Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr. Setelah kematian mereka, orang-orang membuat patung-patung dari mereka, dalam rangka menghormati mereka dan sebagai peringatan terhadap mereka. Kemu­dian berlalulah waktu, lalu orang-orang yang memahat patung itu mati. Lalu datanglah anak-anak mereka, kemudian anak-anak itu mati, dan datanglah cucu-cucu mereka. Kemudian timbullah berbagai dongeng dan khurafat yang membelenggu akal manusia di mana disebutkan bahwa patung-patung itu memiliki kekuatan khusus.

Di sinilah iblis memanfaatkan kesempatan, dan ia membisikkan kepada manusia bahwa berhala-berhala tersebut adalah Tuhan yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya sehingga akhirnya manusia menyembah berhala-berhala itu. Kami tidak mengetahui sumber yang terpecaya berkenaan dengan bagaimana bentuk kehidupan ketika penyembahan terhadap berhala dimulai di bumi, namun kami mengetahui hukum umum yang tidak pernah berubah ketika manusia mulai cenderung kepada syirik. Dalam situasi seperti itu, kejahatan akan memenuhi bumi dan akal manusia akan kalah, serta akan meningkatnya kelaliman dan banyaknya orang-orang yang teraniaya. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Alhasil, kehidupan manusia semuanya akan berubah menjadi neraka Jahim. Situasi demikian ini pasti terjadi ketika manusia menyembah selain Allah SWT, baik yang disembah itu berhala dari batu, anak sapi dari emas, penguasa dari manusia, sistem dari berbagai sistem, mazhab dari berbagai mazhab, atau kuburan seorang wali. Sebab satu-satunya yang menjamin persamaan di antara manusia adalah, saat mereka hanya menyembah Allah SWT dan saat Dia diakui sebagai Pencipta mereka dan yang membuat undang-undang bagi mereka. Tetapi saat jaminan ini hilang lalu ada seorang yang mengklaim, atau ada sistem yang mengklaim memiliki wewenang ketuhanan maka manusia akan binasa dan akan hilanglah kebebasan mereka sepenuhnya.

Penyembahan kepada selain Allah SWT bukan hanya sebagai sebuah tragedi yang dapat menghilangkan kebebasan, namun pengaruh buruknya dapat merembet ke akal manusia dan dapat mengotorinya. Sebab, Allah SWT menciptakan manusia agar dapat mengenal-Nya dan menjadikan akalnya sebagai permata yang bertujuan untuk memperoleh ilmu. Dan ilmu yang paling penting adalah kesadaran bahwa Allah SWT semata sebagai Pencipta, dan selain-Nya adalah makhluk. Ini adalah poin penting dan dasar pertama yang harus ada sehingga manusia sukses sebagai khalifah di muka bumi.

Ketika akal manusia kehilangan potensinya dan berpaling ke selain Allah SWT maka manusia akan tertimpa kesalahan. Terkadang seseorang mengalami kemajuan secara materi karena ia berhasil melalui jalan-jalan kemajuan, meskipun ia tidak beriman kepada Allah SWT, namun kemajuan materi ini yang tidak disertai dengan pengenalan kepada Allah SWT akan menjadi siksa yang lebih keras daripada siksaan apa pun, karena ia pada akhirnya akan menghancurkan manusia itu sendiri. Ketika manusia menyembah selain Allah SWT maka akan meningkatlah penderitaan kehidupan dan kefakiran manusia. Terdapat hubungan kuat antara kehinaan manusia dan kefakiran mereka, serta tidak berimannya mereka kepada Allah. Allah SWT berfirman:

“Seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. ” (QS. al-A’raf: 96)

Demikianlah, bahwa kufur kepada Allah SWT atau syirik kepada-Nya akan menyebabkan hilangnya kebebasan dan hancurnya akal serta meningkatnya kefakiran, serta kosongnya kehidupan dari tujuan yang mulia. Dalam situasi seperti ini, Allah SWT mengutus Nuh untuk membawa ajaran-Nya kepada kaumnya. Nabi Nuh adalah seorang hamba yang akalnya tidak terpengaruh oleh polusi kolektif, yang menyembah selain Allah SWT. Allah SWT memilih hamba-Nya Nuh dan mengutusnya di tengah-tengah kaumnya.

Nuh membuat revolusi pemikiran. Ia berada di puncak kemuliaan dan kecerdasan. Ia merupakan manusia terbesar di zamannya. Ia bukan seorang raja di tengah-tengah kaumnya, bukan penguasa mereka, dan bukan juga orang yang paling kaya di antara mereka. Kita mengetahui bahwa kebesaran tidak selalu berhubungan dengan kerajaan, kekayaan, dan kekuasaan. Tiga hal tersebut biasanya dimiliki oleh jiwa-jiwa yang hina. Namun kebesaran terletak pada kebersihan hati, kesucian nurani, dan kemampuan akal untuk mengubah kehidupan di sekitarnya. Nabi Nuh memiliki semua itu, bahkan lebih dari itu. Nabi Nuh adalah manusia yang mengingat dengan baik perjanjian Allah SWT dengan Nabi Adam dan anak-anaknya, ketika Dia menciptakan mereka di alam atom. Berdasarkan fitrah, ia beriman kepada Allah SWT sebelum pengutusannya pada manusia. Dan semua nabi beriman kepada Allah SWT sebe­lum mereka diutus. Di antara mereka ada yang “mencari” Allah SWT seperti Nabi Ibrahim, ada juga di antara mereka yang beriman kepada-Nya dari lubuk hati yang paling dalam, seperti Nabi Musa, dan di antara mereka juga ada yang beribadah kepada-Nya dan menyendiri di gua Hira, seperti Nabi Muhammad saw.

Terdapat sebab lain berkenaan dengan kebesaran Nabi Nuh. Ketika ia bangun, tidur, makan, minum, atau mengenakan pakaian, masuk atau keluar, ia selalu bersyukur kepada Allah SWT dan memuji-Nya, serta mengingat nikmat-Nya dan selalu bersyukur kepada-Nya. Oleh karena itu, Allah SWT berkata tentang Nuh:

“Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. al-Isra’: 3)

Allah SWT memilih hamba-Nya yang bersyukur dan mengutusnya sebagai nabi pada kaumnya. Nabi Nuh keluar menuju kaumnya dan memulai dakwahnya:

“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar. ” (QS. al-A’raf: 59)

Dengan kalimat yang singkat tersebut, Nabi Nuh meletakkan hakikat ketuhanan kepada kaumnya dan hakikat hari kebangkitan. Di sana hanya ada satu Pencipta yang berhak disembah. Di sana terdapat kematian, kemudian kebangkitan kemudian hari kiamat. Hari yang besar yang di dalamnya terdapat siksaan yang besar.

Nabi Nuh menjelaskan kepada kaumnya bahwa mustahil terdapat selain Allah Yang Maha Esa sebagai Pencipta. Ia memberikan pengertian kepada mereka, bahwa setan telah lama menipu mereka dan telah tiba waktunya untuk menghentikan tipuan ini. Nuh menyampaikan kepada mereka, bahwa Allah SWT telah memuliakan manusia: Dia telah menciptakan mereka, memberi mereka rezeki, dan menganugerahi akal kepada mereka. Manusia mendengarkan dakwahnya dengan penuh kekhusukan. Dakwah Nabi Nuh cukup mengguncangkan jiwa mereka. Laksana tembok yang akan roboh yang saat itu di situ ada seorang yang tertidur dan engkau meng-goyang tubuhnya agar ia bangun. Barangkali ia akan takut dan ia marah meskipun engkau bertujuan untuk menyelamatkannya.

Akar-akar kejahatan yang ada di bumi mendengar dan merasakan ketakutan. Pilar-pilar kebencian terancam dengan cinta ini yang dibawa oleh Nabi Nuh. Setelah mendengar dakwah Nabi Nuh, kaumnya terpecah menjadi dua kelompok: Kelompok orang-orang lemah, orang-orang fakir, dan orang-orang yang menderita, di mana mereka merasa dilindungi dengan dakwah Nabi Nuh, sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok orang-orang kaya, orang-orang kuat, dan para penguasa di mana mereka menghadapi dakwah Nabi Nuh dengan penuh keraguan. Bahkan ketika mereka mempunyai kesempatan, mereka mulai melancarkan serangan untuk melawan Nabi Nuh. Mula-mula mereka menuduh bahwa Nabi Nuh adalah manusia biasa seperti mereka:

“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami.'” (QS. Hud: 27)

Dalam tafsir al-Quturbi disebutkan: “Masyarakat yang menentang dakwahnya adalah para pembesar dari kaumnya. Mereka dikatakan al-Mala’ karena mereka seringkali berkata. Misalnya mereka berkata kepada Nabi Nuh: “Wahai Nuh, engkau adalah manusia biasa.” Padahal Nabi Nuh juga mengatakan bahwa ia memang manusia biasa. Allah SWT mengutus seorang rasul dari manusia ke bumi karena bumi dihuni oleh manusia. Seandainya bumi dihuni oleh para malaikat niscaya Allah SWT mengutus seorang rasul dari malaikat.

Berlanjutlah peperangan antara orang-orang kafir dan Nabi Nuh. Mula-mula, rezim penguasa menganggap bahwa dakwah Nabi Nuh akan mati dengan sendirinya, namun ketika mereka melihat bahwa dakwahnya menarik perhatian orang-orang fakir, orang-orang lemah, dan pekerja-pekerja sederhana, mereka mulai menyerang Nabi Nuh dari sisi ini. Mereka menyerangnya melalui pengikutnya dan mereka berkata kepadanya: “Tiada yang mengikutimu selain orang-orang fakir dan orang-orang lemah serta orang-orang hina.”

Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): ‘Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesung­guhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang berdusta. ” (QS. Hud: 25-27)

Demikianlah telah berkecamuk pertarungan antara Nabi Nuh dan para bangsawan dari kaumnya. Orang-orang yang kafir itu menggunakan dalih persamaan dan mereka berkata kepada Nabi Nuh: “Dengarkan wahai Nuh, jika engkau ingin kami beriman kepadamu maka usirlah orang-orang yang beriman kepadamu. Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang lemah dan orang-orang yang fakir, sementara kami adalah kaum bangsawan dan orang-orang kaya di antara mereka. Dan mustahil engkau menggabungkan kami bersama mereka dalam satu dakwah (majelis).” Nabi Nuh mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dari kaumnya. la mengetahui bahwa mereka menentang. Meskipun demikian, ia menjawabnya dengan baik. Ia memberitahukan kepada kaumnya bahwa ia tidak dapat mengusir orang-orang mukmin, karena mereka bukanlah tamu-tamunya namun mereka adalah tamu-tamu Allah SWT. Rahmat bukan terletak dalam rumahnya di mana masuk di dalamnya orang-orang yang dikehendakinya dan terusir darinya orang-orang yang dikehendakinya, tetapi rahmat terletak dalam rumah Allah SWT di mana Dia menerima siapa saja yang dikehendaki-Nya di dalamnya. Allah SWT berfirman:

“Berkata Nuh: ‘Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tidak menyukainya? Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui.’ Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, siapakah yang dapat menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkan kamu mengambil pelajaran?’ Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): ‘Aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak mengetahui hal yang gaib, dan tidak pula aku mengatakan: ‘Sesungguhnya aku adalah malaikat,’ dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: ‘Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada mereka. Sesungguhnya aku kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang lalim.'” (QS. Hud: 28-31)

Nuh mematahkan semua argumentasi orang-orang kafir dengan logika para nabi yang mulia. Yaitu, logika pemikiran yang sunyi dari kesombongan pribadi dan kepentingan-kepentingan khusus. Nabi Nuh berkata kepada mereka bahwa Allah SWT telah memberinya agama, kenabian, dan rahmat. Sedangkan mereka tidak melihat apa yang diberikan Allah SWT kepadanya. Selanjutnya, ia tidak memaksakan mereka untuk mempercayai apa yang disampaikannya saat mereka membenci. Kalimat tauhid (tiada Tuhan selain Allah) tidak dapat dipaksakan atas seseorang. Ia memberitahukan kepada mereka bahwa ia tidak meminta imbalan dari mereka atas dakwahnya. Ia tidak meminta harta dari mereka sehingga memberatkan mereka. Sesungguhnya ia hanya mengharapkan pahala (imbalan) dari Allah SWT. Allahlah yang memberi pahala kepadanya. Nabi Nuh menerangkan kepada mereka bahwa ia tidak dapat mengusir orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Meskipun sebagai Nabi, ia memiliki keterbatasan dan keterbatasan itu adalah tidak diberikannya hak baginya untuk mengusir orang-orang yang beriman karena dua alasan. Bahwa mereka akan bertemu dengan Alllah SWT dalam keadaan beriman kepada-Nya, maka bagaimana ia akan mengusir orang yang beriman kepada Allah SWT, kemudian seandainya ia mengusir mereka, maka mereka akan menentangnya di hadapan Allah SWT. Ini berakibat pada pemberian pahala dari Allah SWT atas keimanan mereka dan balasan-Nya atas siapa pun yang mengusir mereka. Maka siapakah yang dapat menolong Nabi Nuh dari siksa Allah SWT seandainya ia mengusir me­reka?

Demikianlah Nabi Nuh menunjukkan bahwa permintaan kaumnya agar ia mengusir orang-orang mukmin adalah tindakan bodoh dari mereka. Nabi Nuh kembali menyatakan bahwa ia tidak dapat melakukan sesuatu yang di luar wewenangnya, dan ia memberitahu mereka akan kerendahannya dan kepatuhannya kepada Allah SWT. Ia tidak dapat melakukan sesuatu yang merupakan bagian dari kekuasaan Allah SWT, yaitu pemberian nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Ia tidak mengetahui ilmu gaib, karena ilmu gaib hanya khusus dimiliki oleh Allah SWT. Ia juga memberitahukan kepada mereka bahwa ia bukan seorang raja, yakni kedudukannya bukan seperti kedudukan para malaikat. Sebagian ulama berargumentasi dari ayat ini bahwa para malaikat lebih utama dari pada para nabi (silakan melihat tafsir Qurthubi).

Nabi Nuh berkata kepada mereka: “Sesungguhnya orang-orang yang kalian pandang sebelah mata, dan kalian hina dari orang-orang mukmin yang kalian remehkan itu, sesungguhnya pahala mereka itu tidak sirna dan tidak berkurang dengan adanya penghinaan kalian terhadap mereka. Sungguh Allah SWT lebih tahu terhadap apa yang ada dalam diri mereka. Dialah yang membalas amal mereka. Sungguh aku telah menganiaya diriku sendiri seandainya aku mengatakan bahwa Allah tidak memberikan kebaikan kepada mereka.”

Kemudian rezim penguasa mulai bosan dengan debat ini yang disampaikan oleh Nabi Nuh. Allah SWT menceritakan sikap mereka terhadap Nabi Nuh dalam flrman-Nya:

“Mereka berkata: ‘Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.’ Nuh menjawab: ‘Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri. Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu. Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. ” (QS. Hud: 32-34)

Nabi Nuh menambahkan bahwa mereka tersesat dari jalan Allah SWT. Allahlah yang menjadi sebab terjadinya segala sesuatu, namun mereka memperoleh kesesatan disebabkan oleh ikhtiar mereka dan kebebasan mereka serta keinginan mereka. Dahulu iblis berkata:

“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat…” (QS. al-A’raf: 16)

Secara zahir tampak bahwa makna ungkapan itu berarti Allahlah yang menyesatkannya, padahal hakikatnya adalah bahwa Allah SWT telah memberinya kebebasan dan kemudian Dia akan meminta pertanggungjawabannya. Kita tidak sependapat dengan pandangan al-Qadhariyah, al-Mu’tazilah, dan Imamiyah. Mereka berpendapat bahwa keinginan manusia cukup sebagai kekuatan untuk melakukan perbuatannya, baik berupa ketaatan maupun kemaksiatan. Karena bagi mereka, manusia adalah pencipta per­buatannya. Dalam hal itu, ia tidak membutuhkan Tuhannya. Kami tidak mengambil pendapat mereka secara mutlak. Kami berpen­dapat bahwa manusia memang menciptakan perbuatannya namun ia membutuhkan bantuan Tuhannya dalam melakukannya[1].

Alhasil, Allah SWT mengerahkan setiap makhluk sesuai dengan arah penciptaannya, baik pengarahann itu menuju kebaikan atau keburukan. Ini termasuk kebebasan sepenuhnya. Manusia memilih dengan kebebasannya kemudian Allah SWT mengerahkan jalan menuju pilihannya itu. Iblis memilih jalan kesesatan maka Allah SWT mengerahkan jalan kesesatan itu padanya, sedangkan orang-orang kafir dari kaum Nabi Nuh memilih jalan yang sama maka Allah pun mengerahkan jalan itu pada mereka.

Peperangan pun berlanjut, dan perdebatan antara orang-orang kafir dan Nabi Nuh semakin melebar, sehingga ketika argumentasi-argumentasi mereka terpatahkan dan mereka tidak dapat mengatakan sesuatu yang pantas, mereka mulai keluar dari batas-batas adab dan berani mengejek Nabi Allah.

“Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: ‘Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. al-A’raf: 60)

Nabi Nuh menjawab dengan menggunakan sopan-santun para nabi yang agung.

“Nuh menjawab: ‘Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-A’raf: 61-62)

Nabi Nuh tetap melanjutkan dakwah di tengah-tengah kaumnya, waktu demi waktu, hari demi hari, dan tahun demi tahun. Berlalulah masa yang panjang itu, namun Nabi Nuh tetap menga­jak kaumnya. Nabi Nuh berdakwah kepada mereka siang malam, dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, bahkan ia pun memberikan contoh-contoh pada mereka. Ia menjelaskan kepada mereka tanda-tanda kebesaran Allah SWT dan kekuasaan-Nya di dunia. Namun setiap kali ia mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT, mereka lari darinya, dan setiap kali ia mengajak mereka agar Allah SWT mengampuni mereka, mereka meletakkan jari-jari mereka di telinga-telinga mereka dan mereka menampakkan kesombongan di depan kebenaran. Allah SWT menceritakan apa yang dialami oleh Nabi Nuh dalam firman-Nya:

“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan keterlaluan. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mere­ka dengan cara yang terang-terangan, kemudian aku menyeru mereka lagi dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesung­guhnya Dia adalah Maha Pengampun. Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.'” (QS. Nuh: 5-12)

Namun apa jawaban kaumnya?

“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Mereka telah melakukan tipu-daya yang amat besar. Dan mereka berkata: ‘Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali meninggalkan (pen­yembahan) wadd, suwa, yaghuts, yauq, dan nasr. Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang lalim itu selain kesesatan,'” (QS. Nuh: 21-24)

Nuh tetap melanjutkan dakwah di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun. Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. ” (QS. aPAnkabut: 14)

Sayangnya, jumlah kaum mukmin tidak bertambah sedangkan jumlah kaum kafir justru bertambah. Nabi Nuh sangat sedih namun ia tidak sampai kehilangan harapan. la senantiasa mengajak kaumnya dan berdebat dengan mereka. Namun kaumnya selalu menghadapinya dengan kesombongan, kekufuran, dan penentangan. Nabi Nuh sangat bersedih terhadap kaumnya namun ia tidak sampai berputus asa. la tetap menjaga harapan selama 950 tahun. Tampak bahwa usia manusia sebelum datangnya topan cukup panjang. Dan barangkali usia panjang bagi Nabi Nuh merupakan mukjizat khusus baginya.

Datanglah hari di mana Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa orang-orang yang beriman dari kaumnya tidak akan bertambah lagi. Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia tidak bersedih atas tindakan mereka. Maka pada saat itu, Nabi Nuh berdoa agar orang-orang kafir dihancurkan. la berkata:

“Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (QS. Nuh: 26)

Nabi Nuh membenarkan doanya dengan alasan:

“Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat dan kafir. ” (QS. Nuh: 27)

Allah SWT berfirman dalam surah Hud:

“Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasannya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang-orang yang telah beriman saja, karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim itu. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 36-37)

Kemudian Allah SWT menetapkan hukum-Nya atas orang-orang kafir, yaitu datangnya angin topan. Allah SWT memberitahu Nuh, bahwa ia akan membuat perahu ini dengan “pengawasan Kami dan wahyu kami,” yakni dengan ilmu Allah SWT dan pengajaran-Nya, serta sesuai dengan pengarahan-Nya dan bantuan para malaikat.

Allah SWT menetapkan perintah-Nya kepada Nuh:

“Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim itu. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 37)

Allah SWT menenggelamkan orang-orang yang lalim, apa pun kedudukan mereka dan apa pun kedekatan mereka dengan Nabi. Allah SWT melarang Nabi-Nya untuk berdialog dengan mereka atau menengahi urusan mereka. Nabi Nuh mulai menanam pohon untuk membuat perahu darinya. Ia menunggu beberapa tahun, kemudian ia memotong apa yang ditanamnya dan mulai merakitnya. Akhirnya, jadilah perahu yang besar, yang tinggi, dan kuat.

Para mufasir berbeda pendapat tentang besarnya perahu itu, bentuknya, masa pembuatannya, tempat pembuatannya dan lain-lain. Berkenaan dengan hal tersebut Fakhrur Razi berkata: “Ketahuilah bahwa pembahasan ini tidak menarik bagiku karena ia merupakan hal-hal yang tidak perlu diketahuinya. Saya kira mengetahui hal tersebut hanya mendatangkan manfaat yang sedikit.” Mudah-mudahan Allah SWT merahmati Fakhrur Razi yang menyatakan kebenaran dengan kalimatnya itu. Kita tidak mengetahui hakikat perahu ini, kecuali apa yang telah Allah SWT ceritakan kepada kita tentang hal itu. Misalnya, kita tidak mengetahui dimana ia dibuat, berapa panjangnya atau lebarnya, dan kita secara pasti tidak mengetahui selain tempat yang ditujunya setelah ia berlabuh.

Allah SWT tidak memberikan keterangan secara detail berkenaan dengan hal tersebut yang tidak memberikan kepentingan pada kandungan cerita dan tujuannya yang penting. Nabi Nuh mulai membangun perahu, lalu orang-orang kafir lewat di depannya saat ia dalam keadaan serius membuat perahu. Saat itu, cuaca atau udara sangat kering, dan di sana tidak terdapat sungai atau laut yang dekat. Bagaimana perahu ini akan berlayar wahai Nuh? Apakah ia akan berlayar di atas tanah? Di manakah air yang memungkinkan bagi perahumu untuk belayar? Sungguh Nuh telah gila! Orang-orang kafir semakin tertawa terbahak-bahak dan semakin mengejek Nabi Nuh.

Puncak pertentangan dalam kisah Nabi Nuh tampak dalam masa ini. Kebatilan mengejek kebenaran dan cukup lama menertawakan kebenaran. Mereka menganggap bahwa dunia adalah milik mereka dan bahwa mereka akan selalu mendapatkan keamanan dan bahwa siksa tidak akan terjadi. Namun anggapan mereka itu tidak terbukti. Datangnya angin topan menjungkirbalikkan semua perkiraan mereka. Saat itu, orang-orang mukmin mengejek balik orang-orang kafir dan ejekan mereka adalah kebenaran. Allah SWT berfirman:

“Dan mulailah Nuh membuat bahtera itu. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan metewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: ‘Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek kami. Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakan dan yang akan ditimpa azab yang kekal.” (QS. Hud: 38-39)

Selesailah pembuatan perahu dan duduk menunggu perintah Allah SWT. Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa jika ada yang mempunyai dapur, maka ini sebagai tanda dimulainya angin topan. Di sebutkan bahwa tafsiran dari at-Tannur ialah oven (alat untuk memanggang roti) yang ada di dalam rumah Nabi Nuh. Jika keluar darinya air dan ia lari maka itu merupakan perintah bagi Nabi Nuh untuk bergerak. Maka pada suatu hari tannur itu mulai menunjukkan tanda-tandanya dari dalam rumah Nabi Nuh, lalu Nabi Nuh segera membuka perahunya dan mengajak orang-orang mukmin untuk menaikinya. Jibril turun ke bumi. Nabi Nuh membawa burung, binatang buas, binatang yang berpasang-pasangan, sapi, gajah, semut, dan lain-lain. Dalam perahu itu, Nabi Nuh telah membuat kandang binatang buas.

Jibril menggiring setiap dua binatang yang berpasangan agar setiap spesies binatang tidak punah dari muka bumi. Ini berarti bahwa angin topan telah menenggelamkan bumi semuanya, kalau tidak demikian maka buat apa ia harus mengangkut jenis binatang-binatang itu. Binatang-binatang mulai menaiki perahu itu beserta orang-orang yang beriman dari kaumnya. Jumlah orang-orang mukmin sangat sedikit. Allah SWT berfirman:

“Hingga apabila perintah Kami datang dan tannur telah memancarkan air, Kami berfirman: ‘Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkanlah pula) orang-orang yang beriman.’ Dan tidak beriman bersama Nuh itu kecuali sedikit. ” (QS. Hud: 40)

Istri Nabi Nuh tidak beriman kepadanya sehingga ia tidak ikut menaiki perahu, dan salah satu anaknya menyembunyikan kekafirannya dengan menampakkan keimanan di depan Nabi Nuh, dan ia pun tidak ikut menaikinya. Mayoritas manusia saat itu tidak ber­iman sehingga mereka tidak turut berlayar. Hanya orang-orang mukmin yang mengarungi lautan bersamanya. Ibnu Abbas berkata: “Terdapat delapan puluh orang dari kaum Nabi Nuh yang beriman kepadanya.”

Air mulai meninggi yang keluar dari celah-celah bumi. Tiada satu celah pun di bumi kecuali keluar air darinya. Sementara dari langit turunlah hujan yang sangat deras yang belum pernah turun hujan dengan curah seperti itu di bumi, dan tidak akan ada hujan seperti itu sesudahnya. Lautan semakin bergolak dan ombaknya menerpa apa saja dan menyapu bumi. Perut bumi bergerak dengan gerakan yang tidak wajar sehingga bola bumi untuk pertama kalinya tenggelam dalam air sehingga ia menjadi bola air. Allah SWT berfirman:

“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku. (QS. al-Qamar: 11-13)

Air meninggi di atas kepala manusia, dan ia melampaui ketinggian pohon, bahkan puncak gunung. Akhirnya, permukaan bumi diselimuti dengan air. Ketika mula-mula datang topan, Nabi Nuh memanggil-manggil putranya. Putranya itu berdiri agak jauh dari­nya. Nabi Nuh memanggilnya dan berkata:

“Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (QS. Hud: 42)

Anak itu menjawab ajakan ayahnya:

“Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah.” (QS. Hud: 43)

Nabi Nuh kembali menyerunya:

“Tidak add yang melindungi hari ini dari azab Allah selain orang yang dirahmati-Nya. ” (QS. Hud: 43)

Selesailah dialog antara Nabi Nuh dan anaknya.

“Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. ” (QS. Hud: 43)

Perhatikanlah ungkapan AI-Qur’an al-Karim: Dan gelombang men­jadi penghalang antara keduanya. Ombak tiba-tiba mengakhiri dia­log mereka. Nabi Nuh mencari, namun ia tidak mendapati anak­nya. Ia tidak menemukan selain gunung ombak yang semakin meninggi dan meninggi bersama perahu itu. Nabi Nuh ddak dapat melihat segala sesuatu selain air. Allah SWT berkehendak—sebagai rahmat dari-Nya—untuk menenggelamkan si anak jauh dari penglihatan si ayah. Inilah kasih sayang Allah SWT terhadap si ayah. Anak Nabi Nuh mengira bahwa gunung akan mencegahnya dari kejaran air namun ia pun terkejar dan tenggelam. Angin topan terus berlanjut dan terus membawa perahu Nabi Nuh. Setelah berlalu beberapa saat, pemandangan tertuju kepada bumi yang telah musnah sehingga tiada kehidupan kecuali sebagian kayu yang darinya Nabi Nuh membuat perahu di mana ia menyelamatkan orang-orang mukmin, begitu juga berbagai binatang yang ikut bersama mereka. Adalah hal yang sulit bagi kita untuk membayangkan kedahsyatan topan itu. Yang jelas, ia menunjukkan kekuasaan Pencipta. Perahu itu berlayar dengan mereka dalam ombak yang laksana gunung. Sebagian ilmuwan meyakini bahwa terpisahnya beberapa benua dan terbentuknya bumi dalam rupa seperti sekarang adalah sebagai akibat dari topan yang dahulu.

Topan yang dialami oleh Nabi Nuh terus berlanjut dalam beber­apa zaman di mana kita tidak dapat mengetahui batasnya. Kemudian datanglah perintah Ilahi agar langit menghentikan hujannya dan agar bumi tetap tenang dan menelan air itu, dan agar kayu-kayu perahu berlabuh di al-Judi, yaitu nama suatu tempat di zaman dahulu. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah gunung yang terletak di Irak. Dengan datangnya perintah Ilahi, bumi kembali menjadi tenang dan air menjadi surut. Topan telah menyucikan bumi dan membasuhnya. Allah SWT berfirman:

“Dan difirmankan: ‘Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,’ dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukitjudi. Dan dikatakan: ‘Binasalah orang-orang yang lalim. ” (QS. Hud: 44)

Dan air pun disurutkan, yakni air berkurang dan kembali ke celah-celah bumi. Segala urusan telah diputuskan dan orang-orang kafir telah hancur sepenuhnya. Dikatakan bahwa Allah SWT me-mandulkan rahim-rahim wanita selama empat puluh tahun sebelum datangnya topan, karena itu tidak ada yang terbunuh seorang anak bayi atau anak kecil.

Firman-Nya: Dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit judi, yakni ia berlabuh di atasnya. Di sebutkan bahwa hari itu bertepatan dengan hari Asyura’ (hari kesepuluh dari bulan Muharam). Lalu Nabi Nuh berpuasa dan memerintahkan orang-orang yang bersamanya untuk berpuasa juga.

Dikatakan: ‘Binasalah orang-orang yang lalim, ‘yakni kehancuran bagi mereka. Topan menyucikan bumi dari mereka dan membersihkannya. Lenyaplah peristiwa yang mengerikan dengan lenyapnya topan. Dan berpindahlah pergulatan dari ombak ke jiwa Nabi Nuh. Ia mengingat anaknya yang tenggelam. Nabi Nuh tidak mengetahui saat itu bahwa anaknya menjadi kafir. Ia menganggap bahwa anak­nya sebagai seorang mukmin yang memilih untuk menyelamatkan diri dengan cara berlindung kepada gunung. Namun ombak telah mengakhiri percakapan keduanya sebelum mereka menyelesaikannya. Nabi Nuh tidak mengetahui seberapa jauh bagian keimanan yang ada pada anaknya. Lalu bergeraklah naluri kasih sayang dalam hati sang ayah. Allah SWT berfirman:

“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya. ” (QS. Hud: 45)

Nuh ingin berkata kepada Allah SWT bahwa anaknya termasuk dari keluarganya yang beriman dan Dia menjanjikan untuk menye­lamatkan keluarganya yang beriman. Allah SWT berkata dan menjelaskan kepada Nuh keadaan sebenarnya yang ada pada anaknya:

“Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Aku memperingatkan kepa-damu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.'” (QS. Hud: 46)

Al-Qurthubi berkata—menukil dari guru-gurunya dari kalangan ulama—ini adalah pendapat yang kami dukung: “Anaknya berada di sisinya (yakni bersama Nabi Nuh dan dalam dugaannya ia seorang mukmin). Nabi Nuh tidak berkata kepada Tuhannya: “Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku,” kecuali karena ia memang menampakkan hal yang demikian kepadanya. Sebab, mustahil ia meminta kehancuran orang-orang kafir kemudian ia meminta agar sebagian mereka diselamatkan.”

Anaknya menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan. Lalu Allah SWT memberitahukan kepada Nuh ilmu gaib yang khusus dimiliki-Nya. Yakni Allah SWT memberitahunya keadaan sebenarnya dari anaknya. Allah SWT ketika menasihatinya agar jangan sampai ia menjadi orang-orang yang tidak mengerti. Dia ingin menghilangkan darinya anggapan bahwa anaknya beriman kemudian mati bersama orang-orang kafir.

Di sana terdapat pelajaran penting yang terkandung dalam ayat-ayat yang mulia itu, yang menceritakan kisah Nabi Nuh bersama anaknya. Allah SWT ingin berkata kepada Nabi-Nya yang mulia bahwa anaknya bukan termasuk keluarganya karena ia tidak beriman kepada Allah SWT. Hubungan darah bukanlah hubungan hakiki di antara manusia. Anak seorang nabi adalah anaknya yang meyakini akidah, yaitu mengikuti Allah SWT dan nabi, dan bukan anaknya yang menentangnya, meskipun berasal dari sulbinya. Jika demikian seorang mukmin harus menghindar dari kekufuran. Dan di sini juga harus di teguhkan hubungan sesama akidah di antara orang-orang mukmin. Adalah tidak benar jika hubungan sesama mereka dibangun berdasarkan darah, ras, warna kulit, atau tempat tinggal.

Nabi Nuh memohon ampun kepada Tuhannya dan bertaubat kepada-Nya. Kemudian Allah SWT merahmatinya dan memerintahkannya untuk turun dari perahu dalam keadaan dipenuhi dengan keberkahan dari Allah SWT dan penjagaan-Nya:

“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikatnya). Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh mbelas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi. ” (QS. Hud: 47) “Difirmankan: ‘Hai Nuh, turunlah dengan selamat dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang beriman) dari orang-orang yang bersamamu.'” (QS. Hud: 48)

Nabi Nuh turun dari perahunya dan ia melepaskan burung-burung dan binatang-binatang buas sehingga mereka menyebar ke bumi. Setelah itu, orangorang mukmin juga tumn. Nabi Nuh meletakkan dahinya ke atas tanah dan bersujud. Saat itu bumi masih basah karena pengaruh topan. Nabi Nuh bangkit setelah salatnya dan menggali pondasi untuk membangun tempat ibadah yang agung bagi Allah SWT. Orang-orang yang selamat menyalakan api dan duduk-duduk di sekelilinginya. Menyalakan api sebelumnya di larang di dalam perahu karena dikhawatirkan api akan menyentuh kayu-kayunya dan membakarnya. Tak seorang pun di antara mereka yang memakan makanan yang hangat selama masa topan.

Berlalulah hari puasa sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. Al-Qur’an tidak lagi menceritakan kisah Nabi Nuh setelah topan sehingga kita tidak mengetahui bagaimana peristiwa yang dialami Nabi Nuh bersama kaumnya. Yang kita ketahui atau yang perlu kita tegaskan bahwa Nabi Nuh mewasiatkan kepada putra-putranya saat ia meninggal agar mereka hanya menyembah Allah SWT.

Posted 28 September 2010 by arraahmanmedia in Kisah-Kisah, Nabi-Nabi

Tagged with , , ,