Archive for the ‘densus88’ Tag

Densus88 Dalangi Fitnah Nasional Ormas-Islam   Leave a comment


Setelah penangkapan Ustad Abu Bakar Ba’asyir menjelang bulan Ramadhan lalu, seorang petinggi di Republik ini yang merupakan anggota Kabinet mendatangi salah satu ketua Ormas Islam yang sering dipandang oleh Pemerintah sebagai Ormas Islam garis keras. Dalam pembicaraan tersebut, sang petinggi meminta agar Ormas Islam tersebut tidak usah mempersoalkan mengenai penangkapan Ustad Abu Bakar Ba’asyir. Sang petinggi berusaha memaparkan bukti-bukti keterlibatan Ustad ABB dalam kegiatan pelatihan di Aceh.

Namun bukti-bukti tersebut seluruhnya disanggah oleh Ketua Ormas Islam dengan balik memaparkan rekayasa seorang deserter brimob dan dua orang anggota aktif Polri dalam perencanaan dan penyediaan senjata untuk pelatihan militer di Aceh pada Januari 2010.

Cerita yang disampaikan kepada sang Petinggi cukup detail. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut. Pagi itu, pada setiap akhir minggu sekitar Februari – Maret 2009, 10 orang pemuda Aceh yang direkrut oleh Sofyan Tsauri, ditugaskan untuk pergi ke pasar kaget mingguan, yang berjarak pulang pergi lebih kurang 10 km, dengan berjalan kaki. Ini memang kegiatan rutin mingguan yang diwajibkan oleh Sofyan Tsauri kepada anak didiknya, setiap orang harus berjalan sendirian tanpa boleh didampingi siapapun.

Ada lagi kegiatan lain yang diwajibkan oleh Sofyan Tsauri, yaitu pergi ke sebuah masjid yang sudah ditentukan oleh Sofyan Tsauri, yang juga berjarak cukup jauh dan selalu berpindah dari satu masjid ke masjid lainnya, juga harus berjalan sendirian, dan di masjid yang ditentukan ini Sofyan sudah menunggu anak didiknya, kemudian Sofyan berceramah layaknya seorang Ustad kepada anak muridnya.

Diantara satu dua hari dalam satu minggu, Sofyan mengajak anak didiknya untuk latihan menembak di lapangan tembak Mako Brimob Kelapa Dua Depok. Latihan menembak ini menggunakan senjata sungguhan. Untuk latihan fisik, Sofyan menggembleng anak-anak yang seluruhnya berasal dari Aceh ini berlatih di lapangan samping Mako Brimob Kelapa Dua Depok.

Pada sessi latihan malam hari, Sofyan melakukan indoktrinasi kepada anak didiknya ini dengan menyatakan bahwa dibolehkan untuk mengambil harta dari pemerintah Thogut, dan selain itu juga, untuk dana operasional “jihad” dibenarkan untuk merampok Bank dan harta orang kafir lainnya. Kalimat-kalimat provokasi sering kali diucapkan oleh Sofyan Tsauri dalam sessi latihan malam ini, diantaranya adalah untuk membunuh orang-orang asing yang berada di Aceh.

Sesungguhnya cerita soal Sofyan Tsauri di Aceh ini, bermula dari pembukaan posko relawan untuk Gaza pada awal 2009 yang lalu. Ketika itu, Israel membombardir Gaza secara membabi buta. Umat Islam di seluruh dunia merespon tindakan biadab Israel ini dengan membuka berbagai posko relawan untuk diberangkatkan ke Gaza.

FPI adalah salah satu ormas Islam yang membuka kesempatan bagi para relawan untuk berangkat ke Gaza. Secara teknis FPI Aceh melaksanakan kegiatan ini, hingga mampu menjaring lebih kurang 160 relawan. Dalam pelatihan tersebut FPI Aceh berusaha mencari pelatih yang berpengalaman baik dari pihak TNI maupun Polri. Akan tetapi kedua institusi ini tidak bersedia untuk menyediakan tenaga pelatih.

Akhirnya, entah melalui siapa, datanglah seorang yang mengaku memiliki pengalaman tempur di Afghanistan dan Palestina menawarkan diri untuk menjadi pelatih di Aceh. Tanpa prasangka buruk, panitia rekrutmen relawan untuk Gaza yang ada di Aceh ini, menerima sang pelatih yang kemudian diketahui bernama Sofyan Tsauri. Dilaksanakanlah pelatihan selama lebih kurang satu bulan, mulai Januari hingga awal Februari 2009. Pelatihan ini berlangsung secara terbuka dan tanpa menggunakan senjata.

Ternyata pelatihan ini tidak berhenti hingga disini, secara perorangan Sofyan menghubungi beberapa mantan peserta pelatihan sebelumnya, dan mengajak mereka untuk berlatih di Kelapa Dua Depok. Akhirnya sejak Februari hingga Maret 2009 berlangsunglah cerita pelatihan di Kelapa Dua Depok seperti yang diatas.

Cerita terus berlanjut, Sofyan dengan modal akses anak anak Aceh, bahkan merencanakan untuk melakukan pelatihan militer di Aceh. Senjatapun disiapkan melalui dua orang anggota polisi aktif yaitu Briptu Tatang Mulyadi dan Biptu Abdi Tunggal sebagai pemasok senjata dan amunisi. Namun sepertinya, pelatihan yang berlangsung Januari 2010 kali ini, memang disiapkan untuk disergap dan dikampanyekan sebagai kegiatan terorisme. Sehingga para peserta pelatihan banyak yang menyerahkan diri dan bahkan menyerahkan senjata yang sudah ada ditangan.

Dari pelatihan yang berlangsung Januari 2010  inilah kemudian cerita berkembang dan berujung pada penagkapan Ustad Abu Bakar Ba’asyir. Dikatakan oleh Polisi bahwa perancang pelatihan ini adalah Dul Matin yang sudah tewas ditembak oleh Polisi, sehingga tidak bisa lagi di konfirmasi. Dul Matin mendapatkan restu dari Ustad Abu untuk melakukan pelatihan di Aceh, pertemuan meminta restu ini diatur dan disaksikan oleh seorang bernama Lutfhi Haidaroh alias Ubaeid. Ini sebetulnya pengulangan dari scenario bom bali I, ketika dakwaan terhadap Ustad Abu juga disambungkan secara kasar kepada Amrozi, Muklas dan Imam Samudra.

Kali ini cerita agak lebih seru, karena rekayasa issu terorisme ini sudah tercium sejak awal. Dalam konferensi persnya, Kepolisian membenarkan keterlibatan dua personel polisi dan satu mantan personel polisi dalam jaringan teroris yang melakukan pelatihan di Aceh. “Betul ada  keterlibatan anggota Polri,” kata Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Edward Aritonang di Mabes Polri, Jakarta, Selasa 10 Agustus 2010.

Dia mengatakan, tiga orang itu adalah Sofyan Tsauri, bekas anggota Sabhara Polda Meto Jaya; Brigadir Satu Tatang Mulyadi; dan Brigadir Satu Abdi Tunggal dari Satuan Logistik Bagian Gudang Senjata. “Sofyan sebelumnya sudah dipecat,” kata Edward.

Menurut Edward, Sofyan pernah dikirim bertugas di Aceh. Di sana, Sofyan yang beristrikan orang Aceh itu kembali ke Jakarta, namun kemudian tidak masuk kerja hingga dipecat.

Sofyan yang suka berdakwah itu kemudian mengumpulkan orang-orang yang memiliki latar belakang militer yang punya kemampuan melatih dari kesatuan-kesatuan kepolisian. Sofyan pun kemudian kembali ke Aceh dan kemudian berkenalan dengan Yusuf Kurdowi.

Selanjutnya, Sofyan merekrut orang-orang yang akan diberangkatkan ke Jalur Gaza Palestina pada 2009. “Dibawa latihan menembak. Kebetulan Sofyan punya teman di Brimob dan punya klub menembak dan melakukan latihan menembak ilegal,” kata dia.

Untuk menyuplai senjata bagi kelompok teroris di Aceh, Sofyan kemudian menghubungi dua petugas logistik Polri yakni Tatang Mulyadi dan Abdi Tunggal. “(Sofyan) Berhasil mempengaruhi dua anggota kami yang bertugas sebagai bintara urusan logistik, khususnya menyangkut senjata yang akan dihapus (disposal) dan di sana Sofyan berhasil mendapatkan senjata dan amunisi yang diserahkan ke kelompok pelatihan di Aceh,” kata dia.

“Ketiganya sudah ditahan dan termasuk 102 yang ditahan. Satu Sofyan dan dua anggota Polri aktif. Jadi betul ada keterlibatan anggota polri di dalamnya secara perseorangan,” kata Edward.

Cerita mengenai penyusupan dan rekayasa intelijen di tubuh gerakan Islam memang sudah tidak asing lagi di Republik ini. Salah satu yang memberikan informasi tersebut adalah Mardigu.  “JAT itu sudah lama disusupi intel, dan sampai sekarang hal itu masih dilakukan oleh kepolisian,” ujar pengamat teroris Mardigu Wowiek Prasantyo saat dihubungi detikcom, Jumat (13/8/2010).

Menurut Mardigu, intel memiliki dua cara kerja, yakni mengawasi dari dalam dan masuk ke jaringan, atau hanya mengawasi dari luar tanpa harus masuk kedalam jaringan yang sedang diawasinya.

“Kalau JAT itu diawasi dari luar, sekarang sudah jarang intel yang menyusup sampai ke dalam jaringan teroris, saya juga tidak tahu kenapa?,” terangnya.
Intel akan berusaha meredam setiap aksi yang akan dilakukan jaringan tertentu yang dinilai mengganggu stabilitas negara. Namun bila hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh intel, densus 88 menjadi garda terakhir.

“Biasanya ada jaringan yang tidak kompromis, dalam artian usaha intel untuk membujuk gagal. Kalau sudah seperti ini maka densus yang turun tangan,” terangnya.

Menurut Mardigu, organisasi keras kerap sekali mendapatkan tawaran atau bujukan tertentu agar mengurungkan niatnya. tawaran tersebut biasasnya dilakukan oleh intel. “Itu salah satu cara untuk meredam aksi organisasi tertentu. Biasanya ditawari sesuatu atau uang,” tutupnya.

Rekayasa dalam kasus-kasus terorisme ini nampaknya semakin kental terasa. Salah satu yang cukup aneh dan tidak dikritisi oleh kebanyakan media massa adalah kasus Ali Al khelaw, seorang warga Saudi yang dituduh sebagai penyandang dana peristiwa Bom Marriot dan Rizlt Carlton. Ali dituduh mendanai kegiatan tersebut dari dana yang dibawa dari luar. Padahal dalam fakta persidangan, terungkap bahwa Ali justru kabut dari Saudi Arabia, tempat asalnya karena terlilit hutang. Atas budi baik salah seorang temannya, Ali mendapatkan pinjaman yang sebagaian digunakan untuk membayar hutang dan sebagian digunakan untuk berangkat ke Indonesia. Sisa dari uang inilah sebesar Rp.50 juta digunakan untuk membeli Warnet melalui perantara Saifudin Zuhri yang juga ditembak mati oleh Polisi. Warnet tersebut dijalankan oleh seorang yang bernama Iwan Kurniawan, dan ini adalah bisnis yang halal dan legal. Akan tetapi karena uang fee yang diberikan kepada Saifudin Zuhri karena memperkenalkan dengan Iwan Kurniawan inilah yang menyebabkan Ali harus berurusan dengan pengadilan dan dituduh sebagai penyandang dana bom Marriot dan Rizlt Carlton.

Dalam perang melawan terorisme ini, tidak jarang Kepolisian melalui Densus 88 maupun Satgas Anti Bom melakukan berbagai macam metode penyiksaan. Tujuan dari penyiksaan ini selain mendapatkan pengakuan adalah juga sebagai metode standar dalam perang melawan terorisme.

“Saya kira apa yang selama ini dilakukan Densus 88 dalam menginterogasi dengan cara menyiksa secara keji para tersangka teroris sebelum diadili, merupakan pelanggaran HAM dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Ini tidak bisa lagi ditoleransi, sebab bangsa Indonesia adalah bangsa merdeka yang menjunjung tinggi HAM. Kita harus hapuskan kekejian semacam ini. Saya mengusulkan agar dibentuk Panja untuk menyelesaikannya,” tegas anggota Komisi III dari FPP, Ahmad Yani, yang akhirnya disetujui seluruh unsur pimpinan dan anggota Komisi III DPR yang hadir dalam pertemuan tersebut.

…apa yang selama ini dilakukan Densus 88 dalam menginterogasi dengan cara menyiksa secara keji para tersangka teroris sebelum diadili, merupakan pelanggaran HAM dan prinsip-prinsip kemanusiaan…

Sedangkan menurut Nudirman Munir, tindakan Densus 88 itu merupakan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) dari Polri terhadap umat Islam dengan tuduhan terorisme. Dengan melakukan penyiksaan, polisi telah melakukan pelanggaran HAM berat.

“Cara yang dilakukan Densus 88 dengan metode penyiksaan kejinya jelas menunjukkan jauhnya mereka dari kepribadian bangsa Indonesia. Apa kita ingin menciptakan Kamp Penyiksaan Guantanamo kedua di Indonesia,” tegas Nudirman Munir dengan merujuk Kamp Penyiksaan Guantanamo milik AS di Kuba.

“Cara yang dilakukan Densus 88 dengan metode penyiksaan kejinya jelas menunjukkan jauhnya mereka dari kepribadian bangsa Indonesia. Apa ingin menciptakan Kamp Penyiksaan Guantanamo kedua di Indonesia?…

“Densus 88 dan Satgas Anti Bom berperan seperti Kopkamtib pada masa Orde Baru dengan melakukan tindakan represif terhadap para aktivis Islam yang berseberangan dengan pemerintah. Saya minta keuangan Densus 88 dan Satgas Anti Bom diaudit, sebab pendanaannya tidak diambilkan dari APBN tetapi dari bantuan asing,” tegas Munarman.

Adapun tindakan keji dan biadab yang dilakukan Densus 88 dan Satgas Anti Bom, diceritakan secara jelas dan terperinci oleh Ustadz Abu Jibril, ayah Muhammad Jibril, tersangka teroris yang sempat mengalami penyiksaan keji dan disaksikan langsung Komjen (Pol) Gories Mere.

“Wajah anak saya sampai hancur dipukuli para interogatornya selama seminggu dan disaksikan langsung Gories Mere. Bahkan anak saya juga ditelanjangi dan dipaksa melakukan sodomi. Padahal sebelumnya tiga Jenderal Polisi dari Mabes Polri yakni Komjen (Pol) Saleh Saaf, Komjen (Pol) Susno Duadji dan Brigjen (Pol) Saud Nasution (Komandan Densus 88) telah menjamin anak saya tidak akan diapa-apakan. Namun ternyata ketiga Jenderal Polisi itu tidak mampu mencegah kekejian Gories Mere dan anak buahnya yang Kristen Katolik itu,” ungkap Abu Jibril dengan menitikkan air mata.

…Satgas Anti Bom yang dipimpin Komjen (Pol) Gories Mere bertanggungjawab langsung kepada Kapolri. Satgas Anti Bom inilah yang paling berperan dalam menyiksa dan membunuhi para tersangka aktivis Islam yang dituduh sebagai teroris…

Akhirnya, dalam pernyataan yang dibacakan Sekjen Muhammad Al Khaththath, FUI menyatakan menolak segala bentuk terorisasi Islam dan tokoh Islam beserta umatnya. Mengecam penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir oleh Densus 88 ketika sedang berdakwah di Jawa Barat. Penangkapan Ustadz Abu merupakan politik rekayasa terorisme, politik pengalihan isyu dan politik pemberangusan gerakan Islam. Rekayasa terorisme telah dilkukan desersir polisi Sufyan Tsauri dalam merekrut dan membiayai pelatihan militer di Aceh. Sebelumnya pelatihan teroris telah dilakukan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat yang disponsori Sufyan Tsauri. Namun anehnya justru Ustadz Abu yang tak tahu apa-apa dijadikan kambing hitam. Untuk itu FUI menuntut pembebasan Ustadz Abu tanpa syarat serta menyerukan umat Islam Indonesia untuk merapatkan barisan dan memperkokoh ukhuwah Islamiyah dalam melawan kezaliman yang dilakukan oleh penguasa.

“Kita minta Komisi II bisa mengaudit dana Densus, karena selama ini tidak jelas siapa yang biayai Densus karena Densus tidak pernah dibiayai APBN,” ujarnya.

FUI mengklaim pihaknya memilki bukti aliran dana luar negeri untuk pembiayaan operasional kepolisian. Densus disebutkan menerima USD 7,7 juta. “Ini data dari Deplu Amerika langsung,” klaim FUI. Untuk pembentukannya Densus mendapatkan dana sebesar US $ 12 juta pada tahun 2002.

Setelah mendapat laporan mengenai kebiadaban aparat Densus 88 Mabes Polri dalam menyiksa para tersangka “terorisme” saat interogasi dalam tahanan dan proses penangkapan sewenang-wenang terhadap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, akhirnya Komisi III DPR RI sepakat akan membentuk Panitia Kerja (Panja) Pencari Fakta Pemberantasan Terorisme.

Demikian antara lain hasil dari dengar pendapat antara Komisi III DPR RI dengan Forum Umat Islam (FUI) yang dihadiri hampir 50 ormas Islam di Gedung DPR-MPR Senayan, Jakarta, Selasa (31/8). Dari FUI diwakili KH Muhammad Al Khaththath (Sekjen), Achmad Michdan (TPM), KH Mudzakir (FPIS), Munarman (FPI), Chep Hernawan (GARIS) dan Ustadz Abu Jibril (MMI), Ust. Sobri Lubis (FPI), Aru Syeif Ashadullah (Suara Islam), Ustadzah. Nurdiati Akma (MPU), dan Tokoh FUI lainnya. Sedangkan Komisi III diwakili Fachri Hamzah dan Aziz Syamsuddin (Wakil Ketua), Ahmad Yani, Nudirman Munir, Adang Darojatun (anggota) dan lain-lain.

Sebelumnya, Pimpinan FUI, antara lain HM. Cholil Badawi, KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’ie, Habib Rizieq Shihab, Ahmad Sumargono, KH. Cholil Ridwan, Sekjen FUI M. Al-Khaththath, Munarman serta Luthfie Hakim berhasil menemui Menteri Agama Suryadharma Ali menyampaikan sejumlah tekanan-tekanan yang dialami umat Islam, antara lain kasus Ciketing-Bekasi yang telah dieksploitasi HKBP. Soal lain terkait kasus Ahmadiyah, dan rekayasa pendiskreditan Ormas Islam.

Rupaya Menag Sangat responsif dan membenarkan adanya tangan-tangan jahat yang selalu merekayasa pendiskreditan terhadap Islam dan umat Islam di negeri yang justru mayoritas Islam ini.  Beberapa hari kemudian Menag menyatakan dengan tegas pendiriannya bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat yang harus dibubarkan.

Source : Suara-islam


Posted 24 September 2010 by arraahmanmedia in Tidak Dikategorikan

Tagged with ,

Bukti Arogansi Densus88 Binaan AS-Australia   Leave a comment


Arogansi tembak mati adalah ciri khas Densus 88, sebuah pasukan khusus bentukan Polri pasca Bom Bali I. Banyak alasan dan justifikasi yang mungkin akan disampaikan oleh institusi berwenang negeri ini atas arogansi gaya koboi AS dan Australia (sebagai donatur Densus 88), mulai dari alasan bela negara, kalau tidak menembak duluan maka akan ditembak, dan sejenisnya.

Masalahnya kemudian, setiap ada aksi maka pasti akan ada reaksi. Maka yang perlu diperhatikan apakah tindakan main tembak dan membunuh orang tanpa haq ini akan mengikis habis terorisme atau malah menyuburkannya?

Hal lain yang juga patut diperhitungkan adalah ‘balasan’ yang pasti telah dipersiapkan oleh para korban Densus 88. Apalagi untuk kalangan mujahid yang sangat memperhitungkan hilangnya nyawa seseorang, apalagi nyawa seorang Muslim. Karena bagi mereka, darah harus dibayar dengan darah dan nyawa harus dibayar dengan nyawa.  Jadi, sampai kapan pertumpahan darah ini akan terus berlangsung?

Densus 88 & Arogansi Koboi Binaan AS-Australia

Coba simak kekejaman dan arogansi Densus 88 dalam aksinya baru-baru ini.

Ahad malam (19/9) sekitar pukul 20.00, Iwan sedang bermain dengan anaknya, Faruq, 8 tahun. Sejumlah anggota Densus 88 tanpa sepatah kata masuk dan langsung menembak Iwan di hadapan anak yang sangat dicintainya.

“Sampai saat ini tak seorang pun keluarga diperkenankan melihat jasad Iwan. Kami hanya mendengar cerita dari anak Iwan yang mengatakan ayahnya ditembak di bagian dada dari jarak dekat oleh polisi,” cerita Siti, 62, ibu kandung Iwan, ketika ditemui wartawan di rumahnya.

Menurut Siti, saat malam kejadian, Iwan dan Faruq berada di ruang rumah. “Faruq dan Iwan berada di ruang rumah, sedangkan dua adik Faruq; Ifal, 4, dan Harun, 4 bulan, tidur di dalam kamar,” terang Siti.

Setelah ditembak, sambungnya, tubuh Iwan langsung diboyong polisi dari dalam rumah. Waktu jasad Iwan dibawa pergi, kepala dusun tempat Iwan tinggal sempat bertanya kepada polisi perihal apa yang terjadi. Tapi, polisi yang membawa jasad Iwan itu tidak memedulikan pertanyaan kepala dusun tersebut. ”Jangan menghalang-halangi, mau kau kutembak,” ungkap Siti menirukan ucapan polisi.

Keluarga korban penembakan dilarang melihat jenazah dilarang polisi dengan alasan masih dalam penyelidikan. Mereka tidak yakin Iwan terlibat perampokan maupun terorisme. (http://www.jawapos.com/halaman/index…ail&nid=156163)

Sekarang bayangkan bagaimana perasaan anak Iwan, yakni Faruq (8), istrinya Siti (62), dan anak-anaknya yang lain, Ifal (4) dan Harun (4 bulan) serta apa yang akan dilakukan jika mereka besar nanti?. Fikirkan juga yang akan dilakukan oleh kawan-kawan Iwan?

Ini cerita lain yang hampir sama.

Julheri Sinaga SH, Koordinator Advokasi MM Sumut menceritakan arogansi Densus 88 lainnya di Medan, Sumut.

“Penangkapan Hadiyono di Hamparan Perak bermula saat kediaman Nanong kedatangan dua orang pria sebagai tamu, dua hari yang lalu. Karena sebagai istri yang muslimah istri Nanong lantas memanggil abang iparnya Kasman Hadiyono yang tidak jauh dari rumah mereka,” beber Julheri.

Julheri juga memaparkan lebih lanjut, karena masih suasana lebaran maka istri Nanong lantas, menyiapkan makanan dan minuman menunggu Hadiyono datang.

“Pada saat Mursanti (istri Nanong, Red) datang tiba-tiba salah satu dari kedua tamu tersebut sudah tergeletak di lantai rumah miliknya dengan bersimbah darah. Sedangkan Hadiyono dibawa secara paksa dan entah kemana keberadaannya hingga saat ini,” tegas Julheri.

Julheri meminta niat baik Kapolri untuk mengembalikan mayat Nanong dan memberi tahu keberadaan Hadiyono. Hingga kini, pihak keluarga belum tahu apakah yang bersangkutan masih hidup atau sudah meninggal. (http://arrahmah.com/index.php/news/read/9211/dianggap-menculik-kapolri-akan-digugat#ixzz10AVZmoAY

Dalam aksi terbarunya di Medan, Sumut, Densus 88 menembak mati 3 orang Muslim. Sudah tidak terhitung lagi berapa nyawa yang dicabut paksa oleh pasukan sombong lagi arogan ini.

Penembakan demi penembakan, penculikan, penganiayaan, penyiksaan selalu dilakukan Densus 88 dan kini mencuat menjadi sebuah polemik publik. Muncul pertanyaan, mengapa dalam setiap aksinya Densus 88 harus langsung menembak mati buruannya? Apakah itu memang instruksi langsung dari atasan mereka atau hanya karena sebuah arogansi saja?

Sejak didirikan pasca Bom Bali I (2002) pasukan khusus dengan logo burung hantu predator ini telah ‘memangsa’ banyak nyawa kaum Muslimin. Ya, harus diberi penegasan bahwa yang banyak terbunuh adalah nyawa kaum Muslimin. Sepertinya nyawa kaum Muslimin begitu murah di mata Densus 88.

Sebelum aksi di Medan, Densus 88 sebenarnya sedang disorot terkait rencana investigasi dari Australia (sang donatur) atas perlakuan Densus 88 kepada separatis RMS. Australia wajib marah karena Densus 88 selama ini sudah disuplay dana sekian banyak dan keberadaan Densus 88 sendiri dimaksudkan untuk menjaga stabilitas negara non muslim tersebut dari berbagai macam ancaman.

Kabidpenum Mabes Polri sendiri, Kombes Marwoto Suto mengakui sejumlah paket dan bantuan untuk pelatihan dari Australia kepada Densus 88. Sayangnya belum pernah ada audit kepada Densus 88 yang semakin hari semakin arogan ini.

Amran Nasution, jurnalis senior yang juga mantan Redpel Tempo pernah mengungkapkan dana-dana yang mengalir ke Densus 88 sebagai berikut :

“Detasemen Khusus (Densus 88) Anti-Teror Polri ternyata dibentuk atas biaya sepenuhnya dari pemerintah Amerika Serikat. Majalah “Far Eastern Ekonomic Review” (FEER), edisi 13 November 2003, menulis bahwa pemerintahan Bush mengeluarkan biaya 16 juta dolar (Rp 150 Milyar ) Untuk membentuk detasemen yang punya 400 Anggota itu. Hal yang sama ditulis Koran ” Jakarta Post”, 6 September 2004, dan “Warta Kota”, 12 November 2003.”

“Laporan Congressional Research Service (CRS), Lembaga riset di bawah The Library Of Congress pada tahun 2005, memaparkan dengan rinci dana yang di keluarkan pemerintah Bush untuk Indonesia, termasuk untuk polri dan pasukan Anti – terornya. Misalnya, pada tahun 2004, Amerika Serikat memberikan bantuan $US. 5.778.000 tahun 2005 sebesar $ US 5.300.000.”

Mengapa Amerika dan juga Australia getol menggelontorkan dana untuk Densus 88? Karena Indonesia dianggap berjasa dalam perang melawan terorisme dan kontribusi Indonesia dalam memerangi terorisme ini adalah kepentingan vital AS. Padahal siapapun tahu bahwa perang melawan terorisme hakikatnya adalah perang menghancurkan Islam dan kaum Muslimin. Jadi, mengapa keberadaan Densus 88 dengan aksi arogan dan brutalnya terus dipertahankan?

Akar Masalah Terorisme

Kalau kita mau menghentikan aksi-aksi terorisme, maka kita harus mencari tahu terlebih dahulu apa akar dari masalah terorisme. Perang melawan terorisme diproklamirkan pertama kali oleh George W Bush, 20 September 2001. Bush mengatakan bahwa perang melawan terorisme adalah “Crusade” alias perang salib.

“Perang melawan teror tak akan berhenti sampai semua group teroris dunia ditemukan, dihentikan dan dikalahkan,” ujarnya.

Proklamasi perang itu diikuti pengarahan pesawat tempur membombardir Afganistan, Oktober 2001, dengan dalih untuk menghancurkan teroris Al-Qaedah, Pemimpinya Syekh Usama Bin Laden , serta Rezim Taliban yang melindunginya. Lalu, bagaimana pendapat Syekh Usamah bin Ladin sendiri?

Dalam Risalah Taujihat Manhajiyah, Syekh Usamah menjelaskan alasan mengapa Amerika menjadi target serangan-serangan jihadnya.

“Ketika para mujahidin melihat bahwa kelompok penjahat di gedung putih menggambarkan masalah tidak dengan sebenarnya, bahkan pemimpin mereka mengaku-orang bodoh yang ditaati-bahwa kami ini iri dengan cara kehidupan mereka, padahal sebenarnya kenyataan yang disembunyikan oleh Fir’aun masa kini sebenarnya kami menyerang mereka karena kedzoliman mereka pada dunia Islam, khususnya di Palestina dan Irak serta penjajahan mereka terhadap negeri Haromain (Mekkah dan Madinah). Dan ketika para mujahidin berpendapat untuk memusnahkan opini tersebut dan memindahkan pertempuran ke dalam negeri mereka.”

Syekh Usamah juga mengatakan :

“Pada saat darah orang-orang Islam mengalir dan ditumpahkan, di Palestina, Chechnya, Philipina, Kashmir dan Sudan, dan anak-anak kita mati lantaran embargo Amerika di Irak. Dan ketika luka-luka kita belum sembuh, sejak serangan-serangan salib terhadap dunia Islam pada kurun yang lalu, dan yang merupakan hasil dari kesepakatan Saiks-Beko atara Inggris dan Prancis, yang menyebabkan dunia Islam terbagi-bagi menjadi potongan-potongan, sedangkan para kaki-tangan salib masih berkuasa di dalamnya sampai hari ini, tiba-tiba keadaan yang serupa menghadang kita dengan kesepakatan Saiks-Beko, yaitu kesepakatan Bush-Blair, akan tetapi kesepakatan itu di bawah bendera yang sama dan dengan tujuan yang sama. Benderanya adalah bendera salib dan tujuannya adalah merampas dan menghancurkan umat nabi kita shollAllah u ‘alaihi wasallam yang dicintai.

Dalam sebuah video yang dikeluarkan oleh As Sahab Media berjudul “Badr Riyadh” para mujahid mengatakan :

“Kami adalah teroris, kami adalah teroris. Kami teroris karena melawan musuh-musuh kami, utamanya Amerika, karena mereka telah menzolimi kita.”

Jadi, itulah akar masalah terorisme. Ketidakadilan dan penjajahan kaum kafir AS dan sekutu-sekutunya atas kaum Muslimin. Perspektif penanganan terorisme pun seharusnya dilihat dari sisi ini sehingga solusinya adalah menghentikan arogansi AS dan antek-anteknya, bukan malah membentuk pasukan khusus seperti Densus 88 yang menjadi kaki-tangan AS di negeri-negeri Muslim untuk melanggengkan perang salib tersebut, termasuk di Indonesia.

Coba kita ingat rilis Nurdin M Top atas peledakan hotel JW Marriot & Ritz Carlton medio Juli 2009, aksi tersebut dilakukan sebagai qishos (pembalasan yang setimpal) atas perbuatan AS dan antek-anteknya, serta qishos atas Dr Azhari dan Jabir, teman seperjuangan mereka yang ditembak mati Densus 88. (http://arrahmah.com/index.php/news/read/5168/nur-din-m-top-klaim-bertanggung-jawab-atas-peledakan-hotel)

Kita lihat juga alasan Humam Khalil Abu-Mulal al Balawi (36) alias Abu Dujanah Al Khurasany meledakkan dirinya di basis militer AS di propinsi Khost, Afghanistan menewaskan 7 orang anggota CIA dan seorang agen Yordania sebagai balasan yang setimpal (qishos) atas dibunuhnya pimpinan Taliban Pakistan, Hakimullah Meshud. (http://arrahmah.com/index.php/news/read/6523/media-barat-pelaku-serangan-agen-cia-di-afghanistan-adalah-agen-ganda

Hukum Qishos Bagi Pembunuh

Secara fitrah, tidak ada seorangpun yang berkeinginan dirinya dibunuh secara dzolim (tanpa haq), begitu pula dengan keluarganya. Dalam Islam, salah satu bentuk hukuman atau sanksi terberat adalah pembunuhan tanpa hak. Allah SWT berfirman :

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah member kekuasaan kepada ahli warisnya.” (QS Al Isra (17) : 33)

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (QS An Nisa (4) : 93)

Dalam hukum Islam, siapa saja yang membunuh dengan sengaja maka pembunuhnya akan dibunuh (qishos). Dalam kasus pembunuhan yang disengaja wajib dijatuhkan qishos bagi pelakunya, yaitu membunuh si pembunuhnya sebagai balasan atas perbuatannya membunuh orang dengan sengaja. Allah SWT berfirman:

“Diwajibkan atas kamu qishas berkaitan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al Baqarah (2) : 179).

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda :

“Barangsiapa yang terbunuh, maka walinya memiliki dua hak, bisa meminta tebusan (diyat), atau membunuh si pelakunya.”

Qishah atau hukum balas bunuh bagi para pembunuh dzolim ini sangat diyakini oleh kaum Muslimin, apalagi mujahidin. Bahkan para mujahid tergerak untuk berjihad adalah dalam rangka membela setiap tetes darah kaum Muslimin yang ditumpahkan secara dzolim oleh musuh-musuhnya. Bagi para mujahid, mereka rela meregang nyawa asalkan bisa membela saudara muslimnya yang tertindas dan didzolimi.

Berapa banyak darah kaum Muslimin dihargai dengan sangat murah oleh AS dan sekutu-sekutunya, di Irak, Afghanistan, Palestina, Kashmir, Moro, dan di pelbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Belum pernah ada investigasi serius yang mengungkapkan secara jujur berapa korban pembantaian kaum Muslimin di Poso dan di Ambon ketika terjadi kerusuhan di sana. Belum lagi sembuh luka dan kekecewaan kaum Muslimin atas seluruh tragedi tersebut, kini Densus 88 membabi buta memburu dan menangkapi kaum Muslimin bahkan menembaki mereka.

Dengan demikian, aksi-aksi arogan dan brutal Densus 88 yang main tembak di tempat dengan alasan menghentikan terorisme sangat berbahaya dan mengundang aksi teror berkelanjutan. Hal ini dikarenakan mereka yang menjadi korban pasti tidak rela dan tidak akan pernah diam untuk kemudian melakukan aksi balas bunuh (qishas), karena itu merupakan sebuah kewajiban bagi mereka.

Seharusnya penyelesaian masalah terorisme dilakukan dengan jalan menghentikan atau memotong akar permasalahannya, yakni menghentikan pasukan AS dan sekutu-sekutunya yang menjajah bumi Islam, seperti di Irak, Afghanistan, Palestina, dan lainnya serta stop membunuhi kaum Muslimin tidak berdosa di sana. Kalau hal ini bisa dilakukan, maka bisa dipastikan serangan kepada AS dan fasilitas-fasilitasnya pun akan berkurang atau bahkan berhenti.

Tetapi, jika AS dan sekutu-sekutunya, termasuk Densus 88 tetap dengan arogansi dan secara brutal mereka menembak mati kaum Muslimin di manapun termasuk di negeri ini, maka permasalah terorisme tidak akan pernah berakhir dan pembalasan atau tuntutan qishah (balas bunuh) pasti akan terus dikumandangkan oleh para korbannya. Wallahu’alam!

By: M. Fachry
International Jihad Analysis

Selasa, 12 Syawwal 1431/21 September 2010

Ar Rahmah Media Network
http://www.arrahmah.com
The State of Islamic Media
© 2010 Ar Rahmah Media Network


Posted 24 September 2010 by arraahmanmedia in Tidak Dikategorikan

Tagged with

Densus88 Harus Dibasmi di Indonesia   Leave a comment


SIARAN PERS

No. 175/LBH/SP/IX/2010

“KEBERADAAN DENSUS 88 HARUS DIEVALUASI, JIKA TETAP MELANGGAR HUKUM & HAM”

Memberantas terorisme adalah keharusan menurut hukum, namun harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum dan HAM serta harus menjunjung asas Presumtion Of Innocence (Asas Praduga Tidak Bersalah) agar operasi operasi pengungkapan tindak pidana terorisme dapat dipertanggung jawabkan di hadapan hukum dan masyarakat, sehingga tidak terkesan semacam operasi rahasia.

Lembaga Bantuan Hukum Medan mengingatkan bahwa tugas Densus 88 adalah melumpuhkan, serta mengungkap bukan mematikan. Penembakan langsung yang dilakukan aparat Densus di sejumlah daerah di Sumatera Utara yang mengakibatkan tewasnya beberapa orang membuktikan cara kerja Densus 88 membabi buta dan unprosedural sehingga berimplikasi pada dilanggarnya aturan hukum yang Di buat oleh Polri sendiri, yaitu Perkap Kapolri Nomor 8 tahun 2009, tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selain melanggar Hukum dan HAM, cara dan metode seperti ini sebenarnya merugikan Polisi, karena polisi akan kesulitan mendapatkan informasi lebih detil. Para pelaku seharusnya diadili secara fair sehingga semakin banyak informasi yang bisa digali lewat proses hukum. Mereka tidak boleh dimatikan di luar proses hukum (Extra Judicial killing), dengan dimatikan, bukti menjadi hilang dan peluang untuk membuka tabir akar tindak terorisme semakin sulit.

Pelanggaran terhadap aturan KUHAP oleh Densus 88 juga kerap terjadi dalam konteks prosedur penangkapan para terduga terorisme khususnya di berbagai daerah di Sumatera Utara, para terduga Terorisme tidak pernah diberikan hak hak nya sesuai dengan aturan KUHAP, misal nya surat penangkapan, surat penahanan dan pemberitahuan kepada keluarga yang bersangkutan di mana keberadaan terduga teroris yg ditangkap dan di tahan.

Dari hasil pemantauan Lembaga Bantuan Hukum Medan ada masyarakat yang mengaku kehilangan anggota saudaranya karena ditangkap oleh Densus 88, namun setelah penangkapan keberadaan orang tersebut tidak diketahui dimana keberadaannya. Dari perspektif KUHAP dan HAM, tindakan Densus 88 tersebut bisa dikategorikan sebagai Penculikan, karena tidak disertai dengan tindakan yang sesuai dengan prosedur Hukum.

Justru Densus 88 masih mewarisi cara Orde Baru dengan sejenis operasi-operasi rahasia semacam itu, kalau cara dan metode ini tidak dikoreksi, maka sangat berpotensi besar untuk menjadi bakal tumbuhnya otoritarianisme kembali, seperti penyerangan sekelompok orang bersenjata di Mapolsek Hamparan Perak yang menewaskan Tiga Anggota Polri, pendekatan kekerasan melawan terror sangat tidak efektif, karena metode kekerasan akan dibalas dengan terror.

Untuk itu Lembaga Bantuan Hukum Medan sebagai sebuah Lembaga yang konsern terhadap Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusi meminta dan mendesak agar Pemberantasan Terorisme, khususnya di Sumatera Utara dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum dan HAM serta harus menjunjung asas Presumtion Of Innocence (Asas Praduga Tidak Bersalah), bila tidak, maka LBH Medan menilai keberadaan densus 88 harus dievaluasi, karena melanggar Hukum & Ham Dalam Pemberantasan Tindak pidana Terorisme.

Demikian siaran pers ini disampaikan, terimakasih.

Medan, 23 September 2010

Hormat kami,

LEMBAGA BANTUAN HUKUM

MEDAN

Divisi Hak Asasi Manusia


AHMAD IRWANDI LUBIS, SH                                   LUHUT P. SIAHAAN, SH

Posted 24 September 2010 by arraahmanmedia in Tidak Dikategorikan

Tagged with

Densus88 Besutan Orang Kafir ‘america’   Leave a comment


Densus88 salah tembak atas dugaan perampok bank dan di duga teroris. Hingga pemuda itu mati syahid (arrahmah.com)

Beginilah tindakan densus88 jika mangsa sudah di depan matanya. Densus88 akhir-akhir ini sering berguru oleh FBI. Organisasi Intelegenci kafir america. Mereka berguru kepada FBI untuk membantu menumpas segala bentuk radikalisme yang dilakukan oleh para teroris.

Sudah dijelaskan, FBI memberikan doktrin-doktrin kepada Densus88 untuk siap siaga memerangi terorisme. Tidak peduli siapa mereka dan dari apa golongan mereka. Kejadian salah tembak ini tidak digubris sama sekali oleh Densus88. Densus88 tidak bertanggung jawab atas semua itu. Karena orang tersebut dianggap sebagai Teroris. Padahal tidak ada bukti yang falid bahwa mereka merupakan perampok bank yang digunakan untuk mendanai aksi teror di berbagai belahan Dunia.

Densus88 pengecut. Berani membunuh tidak berani mati. “Lebih baik ditembak mati daripada kita tertembak” inilah pernyataan yang jelas dari Densus88. Inilah bukti bahwa FBI telah memberikan doktrin-doktrin kepada Densus88. Densus88 sudah bukan orang Islam lagi. Mereka adalah sekutu orang-orang kafir ‘america’. Sampai-sampai kepolisian Australia  menduga ada tindak kekerasan yang dilakukan Densus88.

Namun apa faktanya? Denss88 tidak memperbolehkan kepolisian Australia menyelidiki kasus ini. Jadi marilah kita musuhi Densus88. Karena dia termasuk orang-orang kafir ‘america’. Allahukbar.

“Nabi memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah. Ada beberapa orang yang memberikan usulan. Yang pertama mengatakan, ‘Kibarkanlah bendera ketika waktu shalat tiba. Jika orang-orang melihat ada bendera yang berkibar maka mereka akan saling memberi tahukan tibanya waktu shalat’. Namun Nabi tidak menyetujuinya. Orang kedua mengusulkan agar memakai teropet. Nabipun tidak setuju, beliau bersabda, ‘Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi.’ Orang ketiga mengusulkan agar memakai lonceng. Nabi berkomentar, ‘Itu adalah perilaku Nasrani.’ Setelah kejadian tersebut, Abdullah bin Zaid bin Abdi Robbihi pulang dalam kondisi memikirkan agar yang dipikirkan Nabi. Dalam tidurnya, beliau diajari cara beradzan.” (HR. Abu Daud, shahih)

Hak Cipta

[Luqman Abdurrahman Shaleh]

Posted 24 September 2010 by arraahmanmedia in Artikel, Hak Cipta, Islam

Tagged with , ,