Archive for the ‘Kisah-Teladan’ Category

Mendapatkan Azab Dari Allah swt   Leave a comment


Syaikh Ahmad Syakir, salah seorang Ahli Hadits kontemporer dari Mesir bercerita tentang salah seorang penceramah di Mesir yang fasih lidahnya, orator dan piawai. Suatu ketika saat hendak berkhuthbah, dia ingin memuji salah seorang penguasa Mesir atas sambutan dan penghormatannya kepada Thaha Husein, dia berkata, “Telah datang seorang yang buta, namun dia tidak cemberut dan tidak berpaling darinya.”

Yang dimaksudnya dengan orang buta di sini adalah Thaha Husein, seorang sastrawan sekuler terkenal yang memang buta mata dan juga hatinya. Perkataan penceramah itu sebenarnya sebagai bentuk Iqtibas (pengutipan) terhadap makna ayat al-Qur’an, surat ‘Abasa.

Mendengar hal itu, Syaikh Muhammad Syakir, ayahanda syaikh Ahmad Syakir berdiri di hadapan para jema’ah begitu shalat usai seraya mengumumkan kepada mereka bahwa shalat yang mereka lakukan tersebut batal, tidak sah hukumnya dan mereka harus mengulanginya sebab si khathib tersebut telah kafir dengan caciannya terhadap Rasulullah (Karena itu artinya bahwa Thaha Husein, sebagai orang buta yang disinggungnya itu, menurutnya lebih baik dan lebih mulia ketimbang Rasulullah karena beliau bersikap cemberut dan berpaling ketika seorang buta bernama Ibnu Ummi Maktum datang dimana karenanya turun surat ‘Abasa itu yang merupakan teguran buat Rasulullah sedangkan Thaha Husein, si buta itu tidak demikian, na’udzu billah min dzâ lik-red.,).

Syaikh Ahmad Syakir mengutarakan,
“Akan tetapi Allah tidak membiarkan kejahatan si penjahat ini di dunia ini sebelum mengazabnya kelak di akhirat. Aku bersumpah, Demi Allah, sungguh aku telah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri hidup hina dan merana menjadi jongos di salah satu masjid sebagai penjaga titipan sandal-sepatu. Hal ini terjadi setelah beberapa tahun kemudian dan setelah orang tersebut berada di puncak kehidupan, meraih kesenangan duniawi dan merasa bangga hidup di bawah ketiak para penguasa dan pembesar. Karena kondisinya itu, aku merasa malu kalau dia melihatku sebab kami sama-sama saling mengenal. Sikapku ini bukan karena kasihan terhadapnya karena sudah ada tempat kasihan terhadap orang yang seperti itu dan juga bukan karena ingin mencacinya sebab orang yang mulia dan luhur biasa mulia dengan cacian orang lain akan tetapi karena betapa pelajaran dan makna yang dapat saya lihat dari pemandangan itu.”

(SUMBER: Qashash Wa Mawâqif Dzât ‘Ibar karya ‘Adil bin Muhammad Ali ‘Abdil ‘Aly, h.11-12)

Posted 20 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Hak Cipta, Kisah-Kisah, Kisah-Teladan

Hikmah Dari Kesabaran   Leave a comment


Bakr bin ‘Abdullah al-Muzanny mengisahkan bahwa ada seorang tukang bambu yang jatuh cinta pada seorang wanita (pembantu) rumah salah seorang tetangganya. Lalu wanita itu dikirim keluarganya untuk suatu kepentingan ke kampung yang lain, maka si tukang bambu ini membuntutinya dan merayunya untuk melakukan sesuatu yang terlarang.

Lalu dia berkata, “Jangan kamu lakukan itu. Sungguh rasa cintaku kepadamu lebih besar daripada rasa cintamu kepadaku namun aku takut kepada Allah.”

Tukang bambu itu berkata, “Kamu saja takut kepada-Nya sedangkan aku tidak?.” Lalu diapun pulang guna bertaubat kepada Allah.

Suatu ketika, dia merasakan dahaga yang amat sangat hingga kerongkongannya terasa akan putus. Tiba-tiba dia bertemu seorang utusan sebagian para Nabi dari kalangan Bani Isra`il.

Lalu utusan ini bertanya kepadanya, “Ada apa denganmu.?”
Dia menjawab, “Dahaga.”

“Mari kita berdoa kepada Allah agar dinaungi awan dan bisa masuk ke kampung.” Kata utusan itu.
“Apa yang harus kulakukan.?” Tanya tukang bambu
“Aku berdoa dan kamu mengamini saja.” Katanya.
Lalu utusan itu berdoa dan dia mengaminkannya. Maka awan menaungi mereka hingga bisa mencapai kampung tersebut.

Si tukang kayu kembali ke tempatnya sementara awan yang tadinya condong lalu menaunginya. Utusan itu pulang sembari berkata, “Kamu bilang tidak punya pekerjaan dan akulah yang berdoa tadi sementara engkau mengamininya, lantas awan menaungi kita kemudian aku mengikutimu. Tolong ceritakanlah, apa masalahmu?.”

Lalu dia menceritakannya, maka berkatalah utusan itu, “Tidak ada orang yang dapat menempati tempat yang ditempati oleh orang yang bertobat.”

(SUMBER: al-Maw’id Jannât an-Na’îm karya Ibrâhîm bin ‘Abdullah al-Hâzimy, h.27-28)

Posted 20 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Kisah-Kisah, Kisah-Teladan

Tagged with ,

Jernihnya Kedermawanan   Leave a comment


Seorang pria dari kaum Quraisy bercerita:
“Suatu saat, Muhammad bin Al-Munkadir* dari Bani Taim bin Murrah pergi untuk berhaji. Dia seorang yang sa-ngat dermawan. Sebelum berangkat dia memberikan sedekah kepada orang-orang. Semua barang miliknya sudah habis, yang tersisa hanyalah baju yang dia pakai. Dia berangkat haji bersama kawan-kawannya.

Dalam perjalanan, dia singgah di telaga air. Saat itu da-tanglah wakilnya dalam rombongan itu dan berkata, ‘Kita tidak punya apa-apa, bahkan meski sisa uang satu dirham.’ Mengetahui hal itu, Muhammad meneriakkan bacaan talbiyah dan diikuti oleh semua kawan-kawannya, bahkan juga orang-orang yang sama-sama singgah di telaga itu. Di antara orang-orang itu ada Muhammad bin Hisyam **.

Setelah mendengar suara talbiyah menggema, Muhammad bin Hisyam berkata, ‘Demi Allah, aku yakin di sekitar telaga ini ada Muhammad bin Al-Munkadir, cobalah kalian lihat.’ Ternyata memang benar Muhammad bin Al-Munkadir ada di situ. Kemudian Muhammad bin Hisyam berkata, ‘Aku kira dia tidak mempunyai uang. Bawalah uang sebanyak 4000 dirham ini kepadanya.’

* Dia adalah Muhammad bin Al-Munkadir bin Abdullah bin Abdul Izza Al-Quraisy At-Taimy (54-130 H.), dia penduduk Madinah, seorang ahli hadits dan zuhud. (Al-A’lam 7/333).

** Bin Isma’il Al-Makhzumy, dia diangkat oleh Hisyam bin Abdul Malik sebagai gubernur Makkah dan Thaif tahun 114 H. Ketika Al-Walid bin Yazid berkuasa dia diturunkan dari jabatannya dan ditangkap. (Al-A’lam 7/355).

Posted 20 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Kisah-Kisah, Kisah-Teladan

Jangan Ingin Berbuat Maksiat   Leave a comment


Abu Idris al-Awdy berkata, “Ada dua orang Ahli Ibadah dari kalangan Bani Israil. Rupanya masing-masing dari mereka memendam rasa cinta terhadap seorang budak wanita yang berparas cantik. Satu sama lain tidak ada yang tahu mengenai isi hati masing-masing terhadap wanita tersebut.

Suatu ketika, pernah masing-masing bersembunyi di balik sebuah pohon untuk mengintip wanita itu namun kemudian masing-masing saling memergoki hingga akhirnya saling mengungkapkan uneg-uneg dan berterus-terang. Keduanya kemudian bersepakat untuk merayunya dan tatkala wanita itu sudah mendekati mereka berdua, keduanya berkata kepadanya,
‘Kiranya engkau sudah tahu kedudukan kami di tengah Bani Israil. Sesungguhnya, bila engkau tidak mau melakukan ‘affair’ dengan kami, kami akan katakan di pagi hari bahwa kami mendapati seorang laki-laki bersamamu yang lolos dari kejaran kami dan kami akan menghukum kalian.’

Wanita itu menjawab, ‘Aku tidak akan patuh pada ajakan kalian untuk berbuat maksiat kepada Allah.!!”

Akhirnya kedua orang itu memegangnya lantas berkata, ‘Sungguh, kami telah mendapati seorang laki-laki bersamanya yang lolos dari incaran kami.’

Lalu datanglah salah seorang Nabi Bani Israil, lalu mereka menyediakan kursi untuknya dan dia pun duduk di atasnya seraya berkata,
‘Aku yang akan memutuskan perkara kalian.’

Keduanya menjawab, ‘Ya, putuskanlah perkara di antara kami.’

Nabi tadi kemudian menginterogasi mereka dari tempat yang terpisah. Dia bertanya kepada salah seorangnya, ‘Di belakang pohon apa, kalian melihat wanita tadi.?’

Orang itu menjawab, ‘Pohon anu dan anu.’

Lalu Nabi itu menanyakan kepada salah seorangnya lagi dengan pertanyaan yang sama, namun jawabannya berbeda dengan temannya itu. Tak berapa lama turunlah api dari langit menyambar dan membakar kedua orang itu dan selamatlah wanita itu.”

(SUMBER: al-Maw’id: Jannâtun Na’îm karya Ibrahim bin ‘Abdullah Al Hâzimy sebagai yang dinukilnya dari buku Tsamarât al-Awrâq karya al-Hamawy dan Rawdlah al-Muhibbîn karya Ibn al-Qayyim, h.496)

Posted 20 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Kisah-Kisah, Kisah-Teladan

Para Ulama Yang Pemberani   Leave a comment


1. Dikisahkan bahwa Hisyâm bin ‘Abdul Malik datang ke Baitullah, Ka’bah untuk melakukan manasik haji. Ketika masuk ke Masjid al-Haram, dia berkata, “Tolong hadirkan ke hadapanku salah seorang dari kalangan para shahabat.!”
Lalu ada orang yang menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, mereka semua sudah meninggal dunia.”

Lalu dia berkata lagi, “Kalau begitu, dari kalangan tabi’in saja.”

Maka dihadirkanlah Thâwûs al-Yamâny. Tatkala menemui sang Amir, dia mencopot kedua sandalnya di pinggir permadaninya dengan tidak memberi salam terlebih dahulu dan tidak pula memanggilnya dengan julukannya (kun-yah), lantas duduk di sampingnya tanpa idzin pula seraya berujar,
“Bagaimana kabarmu wahai Hisyâm.?”

Maka meledaklah kemarahan sang Amir sehingga ia hampir saja berkeinginan untuk membunuhnya, namun kemudian ada yang mencegahnya seraya berkata,
“Wahai Amirul Mukminin, engkau saat ini berada di kawasan Haram Allah dan Rasul-Nya (Ka’bah) yang tidak boleh hal itu terjadi.”

Maka Hisyam berkata, “Wahai Thâwûs, apa yang mendorongmu untuk berbuat seperti itu tadi.?”
“Apa gerangan yang telah aku perbuat,?” balas Thâwûs

“Engkau telah mencopot kedua sandalmu di pinggir permadaniku, tidak memberi salam dengan menyapa, ‘Wahai Amirul Mukminin,’ tidak memanggilku dengan julukanku lalu duduk di sampingku tanpa idzin,” kata Hisyâm

“Adapun kenapa aku mencopot kedua sandalku di pinggir permadanimu, karena aku sudah biasa mencopotnya kala berada di hadapan Allah Ta’ala setiap hari, sebanyak lima kali akan tetapi Dia tidak mencela ataupun marah kepadaku. Adapun ucapanmu ‘engkau tidak memberi salam kepadaku dengan menyapa, ‘wahai Amirul Mukminin’’ karena tidak setiap Muslim setuju atas naiknya engkau ke tampuk kekuasaan. Jadi, aku takut kalau menjadi seorang pendusta (dengan menyapamu sebagai Amir semua orang-orang beriman-red.,). Mengenai perkataanmu ‘engkau tidak memanggilku dengan julukanku’ karena Allah Ta’ala juga menamai para Nabi-Nya, lalu memanggi mereka; ‘wahai Daud’ ‘wahai Yahya’ ‘wahai ‘Isa’ bahkan Dia malah menyebut musuh-musuh-Nya dengan julukan dalam firman-Nya, ‘Celakalah tangan Abu Lahab.’ Sedangkan ucapanmu, ‘kamu duduk di sampingku (tanpa idzin), maka hal itu karena aku telah mendengar ‘Aly bin Abi Thalib RA., berkata, ‘Bila kamu ingin melihat salah seorang penghuni neraka, maka lihatlah kepada seorang yang duduk sementara orang-orang di sekitarnya berdiri menghormatinya,” jawab Thâwûs

Kemudian Hisyam berkata, “Kalau begitu, nasehatilah aku.”
Maka Thâwûs berkata, “Aku mendengar ‘Aly bin Abi Thalib RA., berkata, ‘Sesungguhnya di neraka Jahannam terdapat ular-ular dan kalajengking seperti bagal (peranakan antara kuda dan keledai) yang mematuk setiap Amir (Penguasa) yang tidak berlaku adil terhadap rakyatnya.”

2. Diriwayatkan bahwa Abu Ghayyâts, seorang ahli zuhud selalu tinggal di sekitar pekuburan Bukhara, lalu suatu ketika datang ke kota untuk mengunjungi saudaranya. Kebetulan bersamaan dengan itu, putera-putera Amir Nashr bin Muhammad (penguasa setempat) barusan keluar dari kediamannya bersama para biduan dan alat-alat bermain mereka. Tatkala melihat mereka, sertamerta Abu Ghayyâts berkata,
“Wahai diriku, telah terjadi sesuatu yang bila engkau diam, berarti engkau ikut andil di dalamnya.”

Lalu dia mengangkat kepalanya ke langit sembari memohon pertolongan Allah. Kemudian mengambil tongkat lalu menggebuki mereka secara serentak sehingga mereka pun lari kocar-kacir menuju kediaman sang penguasa (Amir). Setibanya di sana, mereka menceritakan kejadian tersebut kepada sang penguasa.

Maka, sang penguasa pun memanggil Abu Ghayyâts seraya berkata,
“Tidak tahukah kamu bahwa siapa saja yang membangkang terhadap penguasa, dia akan diberi makan siang di penjara.?”

“Tidak tahukah kamu bahwa siapa saja yang membangkang terhadap ar-Rahmân (Allah), dia akan makan malam di dalam neraka,?” balas Abu Ghayyâts

“Kalau begitu, siapa yang memberimu wewenang melakukan Hisbah (Amr Ma’ruf Nahi Munkar) ini,?” tanya Amir
“Dia adalah Yang telah mengangkatmu ke tampuk kekuasaan ini,” jawab Abu Ghayyâts

“Yang mengangkatku adalah sang Khalifah,” kata Amir
“Kalau begitu, Yang mengangkatku melakukan Hisbah adalah Tuhannya sang khalifah,” jawab Abu Ghayyâts

“Aku hanya mengangkatmu melakukan Hisbah di daerah Samarkand saja,” kata Amir
“Aku sudah mencopot diriku dari bertugas di sana,” jawab Abu Ghayyâts

“Aneh kamu ini, engkau melakukan Hisbah di tempat yang tidak diperintahkan kepadamu dan menolak melakukannya di tempat kamu diperintahkan,?” kata Amir lagi

“Sesungguhnya jika engkau yang mengangkatku, maka suatu ketika kamu akan mencopotku akan tetapi bila Yang mengangkatku adalah Rabbku, maka tidak akan ada seorangpun yang dapat mencopotku,” tegas Abu Ghayyâts pula

“Baiklah, sekarang mintalah apa keperluanmu,!” tanya Amir akhirnya
“Yang aku perlukan adalah kembali lagi ke masa muda,” kata Abu Ghayyâts

“Wah, itu bukan wewenangku, mintalah yang lain,!” kata Amir
“Kalau begitu, tulislah kepada Malaikat Malik, penjaga neraka, agar tidak menyiksaku kelak,” kata Abu Ghayyâts

“Wah, itu bukan wewenangku juga, mintalah yang lainnya,!” kata Amr
“Kalau begitu, tulislah kepada malaikat Ridlwân, penjaga surga, agar memasukkanku kelak ke dalam surga,!” jawab Abu Ghayyâts

“Wah, itu juga bukan wewenangku,” kata Amir lagi
“Kalau begitu, keperluanku hanya kepada Allah Yang merupakan Pemilik semua keperluan dan kebutuhan, Yang tidaklah aku meminta kepada-Nya suatu keperluan melainkan pasti Dia akan mengabulkannya,”jawab Abu Ghayyâts

Atas jawaban tegas dan brilian itu, akhirnya Abu Ghayyâts dibebaskan oleh sang Amir bahkan dia malah salut dengan keimanan dan keberaniannya.

(SUMBER: Buku Mi`ah Qishshah Wa Qishshah Fî Anîs ash-Shâlihîn Wa Samîr al-Muttaqîn disusun oleh Muhammad Amîn al-Jundy, Juz II, h.29-33)

Posted 20 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Kisah-Kisah, Kisah-Teladan

Mengupas Trik-Trik Setan   Leave a comment


Kisah berikut ini kami ambil dari buku yang nanti akan kami sebutkan di akhir tulisan. Namun, karena terkait dengan kualitas hadits; apakah ia hadits yang shahih atau tidak, maka perlu kami berikan sedikit penjelasan.

Yaitu, bahwa mengenai kisah ini terdapat banyak versi dan penafsirannya dapat diambil dari tafsir terhadap ayat 16 surat al-Hasyr.

Dalam hal ini, sedikit kami ketengahkan perkataan Ibn Katsir dalam tafsirnya terhadap ayat tersebut, “Yakni seperti orang-orang Yahudi yang tergiur oleh rayuan orang-orang Munafik yang menjanjikan kemenangan dan pertolongan mereka, namun tatkala mereka (orang-orang Yahudi) benar-benar dikepung kaum Muslimin dan terjadi peperangan; orang-orang Munafik tersebut meninggalkan mereka sendirian menghadapi kebinasaan. Permisalan mereka dalam hal ini seperti permisalan syaithan tatkala menggoda manusia agar kafir –wal ‘iyaadzu billah– di mana bila ia (manusia) sudah masuk ke dalam perangkapnya, ia pun berlepas diri darinya dan kabur seraya berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.’”

Ibn Katsir melanjutkan, “Berkenaan dengan ayat ini, sebagian mereka (para mufassir-red.,) menyebutkan sebuah kisah sebagian dari para ahli ibadah yang berasal dari kalangan Bani Israil, yang merupakan contoh bagi permisalan ini bukan sebagai yang dimaksudkan (dikehendaki) dalam penafsiran ayat ini, bahkan ia termasuk darinya beserta kisah nyata lainnya yang mirip dengannya…” (Tafsir Ibn Katsir, Jld.IV, h.436-438)

Dengan demikian, berdasarkan pernyataan Ibn Katsir tersebut, maka kisah yang akan diketengahkan berikut ini juga termasuk salah satu contoh (bukan maksud dari tafsir ayat tersebut) betapa syaithan menggunakan berbagai trik untuk menggoda manusia sehingga pada akhirnya mengikutinya dan terjerumus ke dalam perangkapnya (kafir kepada Allah) kecuali orang-orang yang dirahmati Rabb. Wallahu a’lam.

Jalan Cerita

Ada seorang ahli ibadah (‘Abid) dari kalangan Bani Israil, yang merupakan ahli ibadah pada masanya.

Tersebutlah tiga bersaudara yang memiliki satu-satunya saudara perempuan yang masih perawan. Suatu ketika, ketiga orang ini ingin pergi ikut berjihad di jalan Allah namun mereka tidak tahu kepada siapa saudara perempuan mereka itu akan dititipkan dan mendapatkan tempat yang aman padahal orang tua mereka sudah meninggal dunia. Lalu bersepakatlah mereka untuk menitipkannya kepada seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil tersebut sebab hanya dia yang mereka percayai.

Karena itu, mereka mendatangi orang tersebut dan memintanya agar bersedia menerima titipan saudara perempuan mereka tersebut sehingga ia bisa tinggal dulu di sampingnya hingga mereka pulang kembali dari perjalanan namun si ahli ibadah ini menolaknya dan berlindung kepada Allah dari mereka dan sikap mereka tersebut. Karena terus didesak dan mereka tetap ngotot, akhirnya dia pun bersedia menerima seraya berkata, “Tolong inapkan dia di sebuah rumah di dekat tempat ibadah yang khusus untukku.” Maka mereka pun membawanya ke tempat itu, kemudian berangkat dan meninggalkannya.

Wanita, saudara perempuan ketiga orang itu pun menginap di rumah sang ahli ibadah itu hingga beberapa masa. Selama itu, dia turun dari tempat ibadahnya (yang berada di atas dan berdampingan dengan rumah di mana wanita itu tinggal) untuk memberinya makan, memanggilnya, lalu wanita itu keluar untuk mengambil makanan yang diletakkannya di suatu tempat.

Maka, syaithan pun memainkan perannya; pertama-tama ia pura-pura peduli dengan si ahli ibadah ini dengan mensugestinya terus agar berbuat baik, akan tetapi ia menyayangkan keluarnya si wanita itu dari rumahnya pada siang hari dengan menakut-nakutinya bahwa cara seperti itu bisa saja dilihat seseorang lalu tertarik pada wanita itu. Dia lalu menganjurkan, “Andaikata kamu sendiri yang berjalan dan meletakkan makanannya di pintu rumah, tempat si wanita itu, tentulah pahalanya bagimu lebih besar.” Si Iblis terus menggodanya dengan hal itu hingga akhirnya, si ahli ibadah itu mengikutinya. Dia datang ke rumah, tempat wanita itu menginap, membawa makanan itu sendiri dan meletakkannya di depan pintunya namun tidak berbicara sepatah kata pun dengannya. Kondisi ini berjalan beberapa lama.

Kemudian Iblis itu datang lagi seraya mensugestinya untuk senantiasa berbuat kebaikan sehingga mendapatkan pahala. Dia berkata, “Andaikata kamu berbicara dengannya sehingga dia bisa merasa terhibur denganmu. Sebab ia tentu dicekam kesepian yang amat sangat.” Iblis terus menggodanya hingga akhirnya dia berani mengajak si wanita itu berbicara sekalipun sembari melihat dari tempat ibadahnya yang berada di bagian atas.

Setelah itu, Iblis mendatanginya lagi seraya berkata, “Andaikata kamu menghampirinya dengan duduk di pintu tempat ibadahmu seraya mengajaknya berbicara sementara ia juga duduk di pintu rumahnya sambil berbicara denganmu, tentulah ini lebih baik dan lebih membuatnya terhibur (tidak kesepian).” Iblis terus menggodanya hingga akhirnya dia pun turun dan duduk di pintu tempat ibadahnya sambil mengajak berbicara si wanita itu yang juga keluar dari rumahnya sambil duduk di pintunya guna meladeninya berbicara. Kondisi ini pun berjalan beberapa lama.

Kemudian Iblis itu datang lagi seraya tidak lupa mensugestinya untuk berbuat kebaikan dan meraih pahala terhadap apa yang dilakukannya. Ia bertutur, “Andaikata kamu keluar saja dari tempat ibadahmu itu, kemudian duduk di dekat pintu rumahnya lalu mengajaknya bicara tentulah akan lebih membuatnya merasa terhibur lagi dan akan lebih baik baginya.” Iblis terus menggodanya hingga akhirnya dia melakukannya juga. Kondisi itu pun berjalan beberapa lama.

Kemudian Iblis datang lagi sembari terus mensugestinya untuk berbuat kebaikan. Ia berkata, “Andaikata kamu mendekatinya dan duduk di samping pintu rumahnya lalu berbicara dengannya tetapi dia tidak usah keluar dari rumahnya, tentu lebih baik.” Maka dia pun melakukannya; turun dari tempat ibadahnya, berdiri di depan pintu si wanita itu lalu berbicara dengannya. Kondisi ini berjalan untuk beberapa waktu.

Setelah itu, Iblis datang lagi seraya berkata, “Andaikata kamu masuk bersama-sama dengannya lalu berbicara akan tetapi dia tidak usah menampakkan wajahnya kepada siapapun, tentulah lebih baik bagimu.” Iblis terus menggodanya hingga si ahli ibadah ini pun memasuki rumah si wanita lalu mengajaknya berbicara sepanjang siang hari itu dan begitu siang sudah habis, ia kembali naik ke tempat ibadahnya.

Keesokan harinya, Iblis datang lagi dan terus membuatnya terbayang-bayang dengan si wanita tersebut hingga akhirnya si ahli ibadah berani memegang pahanya dan menciumnya. Iblis terus memperdayanya dengan membuat hal demikian elok di hadapan matanya dan menggodanya hingga akhirnya dia berbuat zina dengan wanita itu dan menghamilinya. Wanita itu pun kemudian melahirkan anak dari hasil hubungan gelap mereka.

Tak berapa lama setelah itu, Iblis datang lagi seraya berkata kepada si ahli ibadah, “Menurutmu, apa yang dapat kamu perbuat bila saudara-saudara si wanita itu datang lalu mendapatinya telah melahirkan seorang anak? Tidak, Aku tidak dapat menjamin bahwa ia (wanita) tidak membuka rahasia terhadap aib itu atau pun mereka nantinya berhasil menyingkap aibmu. Karena itu, pergilah ke anak itu lalu goroklah dia dan kuburkan, pasti ia (wanita itu) tidak akan angkat bicara karena takut saudara-saudaranya akan berbuat kasar terhadapmu begitu mengetahui apa yang telah kamu lakukan terhadapnya.” Maka, si ahli ibadah ini pun menuruti saja bujukan Iblis itu dengan membunuh anak hasil hubungannya dengan wanita tersebut.

Kemudian Iblis berkata lagi, “Menurutmu, apakah ia (wanita itu) tidak akan angkat bicara kepada saudara-saudaranya mengenai perlakuanmu terhadapnya dan anaknya yang telah kamu bunuh? Tidak, karena itu, singkirkan dan goroklah dia lalu kuburkan bersama anaknya.” Iblis terus menggodanya hingga akhirnya ia pun menggorok wanita itu dan membuang kedua mayat itu ke dalam sebuah lubang, lalu menyumbatnya dengan batu besar kemudian tanahnya diratakan kembali. Setelah itu, ia naik ke tempat ibadahnya seraya terus melakukan ritual. Kondisi ini berlangsung beberapa lama hingga kemudian saudara-saudara wanita itu pulang dari berperang. Mereka datang seraya menanyakan keadaan saudara perempuan mereka. Namun, si ahli ibadah ini dengan mimik sedih menyampaikan bela sungkawanya kepada mereka atas kematiannya dan mendoakan semoga Allah merahmati arwahnya.

Mendengar kejadian itu, mereka berniat tinggal beberapa hari di kuburannya, untuk kemudian kembali menemui sanak saudara mereka.

Begitu malam tiba dan mereka sudah tertidur pulas, datanglah syaithan dalam mimpi mereka menyamar sebagai seorang laki-laki yang sedang bepergian. Lalu ia memulai pertanyaannya kepada kakak sulung dari tiga bersaudara tersebut mengenai kondisi saudara perempuan mereka. Maka si kakak sulung itu memberitahukan kepadanya seperti yang telah dikatakan si ahli ibadah itu mengenai kematiannya, bagaimana dia berbelasungkawa dan menunjukkan lokasi dikuburkannya saudara perempuan mereka tersebut, akan tetapi syaithan –yang menyamar tersebut- menyangkal ucapan si ahli ibadah dan menganggapnya telah berdusta, seraya berkata, “Ia tidak berbicara jujur pada kalian mengenai saudara perempuan kalian tersebut. Sebenarnya, dia telah menghamilinya lalu lahirlah seorang anak, kemudian si ahli ibadah itu menggoroknya dan anak itu karena takut kepada kalian, setelah itu, dia melempar keduanya ke dalam lubang yang digalinya di belakang pintu rumah tempat tinggal sudara wanita kalian itu, tepatnya di sebelah kanan orang yang masuk ke sana. Pergilah ke sana, lalu masuklah ke rumah itu, pasti kalian akan menemukan mayat keduanya sebagaimana yang telah aku beritahukan kepada kalian ini.”

Iblis kemudian mendatangi mimpi saudara nomor dua mereka dan mengatakan kepadanya persis seperti yang dikatakannya kepada kakak sulung mereka, kemudian ia datang lagi ke dalam mimpi si bungsu dan mengatakan hal yang sama.

Tatkala bangun, mereka tertegun-tegun terhadap apa yang masing-masing mereka lihat dalam mimpi. Akhirnya masing-masing bertemu dan berkata kepada saudaranya, “Semalam aku melihat sesuatu yang aneh di dalam mimpi.” Masing-masing saling menceritakan apa yang dilihatnya.

Maka, berkatalah si kakak sulung, “Ini hanyalah mimpi belaka, tidak akan ada apa-apa. Ayo kita berangkat dan anggap saja hal ini sebagai angin lalu.”

“Demi Allah, aku tidak akan berangkat hingga mendatangi tempat tersebut lalu melihat apa yang ada di dalamnya,” kata si bungsu.

Akhinrya, mereka semua menuju ke rumah di mana saudara perempuan mereka pernah tinggal tersebut. Mereka buka pintunya dan mencari lokasi seperti yang disebutkan di dalam mimpi mereka. Ternyata, mereka mendapati saudara perempuan mereka dan anaknya dalam kondisi tergorok di dalam sebuah lubang sebagaimana yang dikatakan kepada mereka dalam mimpi itu. Lalu mereka menanyakan kebenaran hal itu kepada si ahli ibadah, maka ia pun membenarkan apa yang dikatakan Iblis pada mereka di dalam mimpi itu berkenaan dengan apa yang telah diperbuatnya terhadap ke-dua orang tersebut (si wanita dan anaknya).

Mereka kemudian mengangkat perkara tersebut kepaada raja, menurunkannya dari tempat ibadahnya dan menghadirkannya untuk disalib. Tatkala mereka telah mengikatnya di atas kayu untuk dibunuh, datanglah Iblis menjumpai si ahli ibadah itu seraya berkata, “Aku lah temanmu yang tempo lalu telah mengujimu dengan wanita tersebut sehingga ia hamil dan anaknya engkau bunuh. Jika sekarang ini kamu mau patuh padaku dan kafir terhadap Allah Yang menciptakan serta membentukmu, aku akan menyelematkanmu dari kondisimu saat ini.” Maka, si ahli ibadah itupun menjadi kafir kepada Allah. Tatkala ia telah menyatakan kekafirannya, syaithan pun lari dan membiarkan urusannya dengan orang-orang diselesaikan sehingga mereka pun menyalibnya, lalu ia pun dibunuh.

Dan ayat yang berkenaan dengan kejadian ini sebagai permisalan adalah firman-Nya, “(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) syaithan ketika dia berkata kepada manusia, ‘Kafirlah kamu.’ Maka tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam. Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zhalim.” (Q.s.,al-Hasyr:16-17)

(SUMBER: Mi`ah Qishshah Wa Qishshah, Fii Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin, karya Muhammad Amin al-Jundy, h.20-25)

Posted 20 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Kisah-Kisah, Kisah-Teladan

Tagged with , ,

Kecerdasan Imam asy-Syafi’i   Leave a comment


Dihikayatkan bahwa ada sebagian ulama terkemuka di Iraq yang merasa dengki dan iri hati terhadap Imam asy-Syafi’i dan berupaya untuk menjatuhkannya. Hal ini dikarenakan keunggulan Imam asy-Syafi’i atas mereka di dalam ilmu dan hikmah, di samping karena beliau mendapatkan tempat yang khusus di hati para penuntut ilmu sehingga mereka begitu antusias menghadiri majlisnya saja dan merasa begitu puas dengan pendapat dan kapasitas keilmuannya.

Karena itu, para pendengki tersebut bersepakat untuk menjatuhkan Imam asy-Syafi’i. Caranya, mereka akan mengajukan beberapa pertanyaan yang rumit dalam bentuk teka-teki untuk menguji kecerdasannya dan seberapa dalam ilmunya di hadapan sang khalifah yang baik, Harun ar-Rasyid.

Khalifah memang sangat menyukai Imam asy-Syafi’i dan banyak memujinya.

Setelah menyiapkan beberapa pertanyaan tersebut, para pendengki tersebut memberitahu sang khalifah perihal keinginan mereka untuk menguji Imam asy-Syafi’i. Sang khalifah pun hadir dan mendengar langsung lontaran beberapa pertanyaan tersebut yang dijawab oleh Imam asy-Syafi’i dengan begitu cerdas dan amat fasih.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti berikut:

PERTANYAAN- 1

Para Pendengki (Selanjutnya disebut: PP) :
Apa pendapatmu mengenai seorang laki-laki yang menyembelih seekor kambing di rumahnya, kemudian dia keluar sebentar untuk suatu keperluan lalu kembali lagi seraya berkata kepada keluarganya, “Makanlah oleh kalian kambing ini karena ia sudah haram bagiku.’ Lalu dijawab oleh keluarganya pula, “Ia juga haram bagi kami.” (bagaimana hal ini bisa terjadi.?-red.,)

Imam asy-Syafi’i (Selanjutnya disebut: IS):
Sesungguhnya orang ini dulunya seorang yang musyrik, menyembelih kambing atas nama berhala, lalu keluar dari rumahnya untuk sebagian keperluan lalu diberi hidayah oleh Allah sehingga masuk Islam, maka kambing itu pun jadi haram baginya. Dan ketika mengetahui ia masuk Islam, keluarganya pun masuk Islam sehingga kambing itu juga haram bagi mereka.

PERTANYAAN –2
PP:

Ada dua orang Muslim yang berakal minum khamar, lalu salah satunya diganjar hukum Hadd (dicambuk 80 kali-red.,) tetapi yang satunya tidak diapa-apakan. (kenapa bisa demikian.?-red.,)

IS:
Sesungguhnya salah seorang di antara mereka berdua ini sudah baligh dan yang satunya lagi masih bocah (belum baligh).

PERTANYAAN-3
PP:

Ada lima orang menzinahi seorang wanita, lalu orang pertama divonis bunuh, orang kedua dirajam (dilempar dengan batu hingga mati-red.,), orang ketiga dikenai hukum hadd (cambuk seratus kali-red.,), orang keempat hanya dikenai setengah hukum hadd sedangkan orang kelima dibebaskan (tidak dikenai apa-apa). (Kenapa bisa demikian.?-red.,)

IS:
Karena orang pertama tersebut telah menghalalkan zina sehingga divonis murtad dan wajib dibunuh, orang kedua adalah seorang yang Muhshan (sudah menikah), orang ketiga adalah seorang yang Ghairu Muhshan (belum menikah), orang keempat adalah seorang budak sedangkan orang kelima adalah seorang yang gila.

PERTANYAAN-4
PP:

Seorang laki-laki mengerjakan shalat, lalu tatkala memberi salam ke kanan isterinya menjadi ditalak, tatkala memberi salam ke kiri batallah shalatnya serta tatkala melihat ke langit, dia malah wajib membayar 1000 dirham. (kenapa bisa begitu.?-red.,)

IS:
Tatkala memberi salam ke kanan, ia melihat seseorang yang telah ia nikahi isterinya saat dia menghilang (dalam pencarian), maka ketika ia melihatnya (suami lama isterinya tersebut) sudah hadir, ditalaklah isterinya tersebut dan tatkala menoleh ke arah kirinya, dia melihat ada najis sehingga batallah shalatnya, lalu ketika menengadah ke langit, dia melihat bulan sabit telah nampak di sana sementara ia punya hutang sebesar 1000 dirham yang harus dibayarnya pada awal bulan begitu nampak bulan sabit tersebut (karena dia harus membayar hutang tersebut pada awal bulan hijriah-red.,).

PERTANYAAN-5
PP:

Ada seorang imam melakukan shalat bersama empat orang jama’ah di masjid, lalu masuklah seorang laki-laki dan ikut melakukan shalat di samping kanan sang imam. Tatkala imam memberi salam ke kanan dan melihat orang tersebut, maka ia wajib dieksekusi mati sedangkan empat orang yang bersamanya harus dihukum cambuk sedangkan masjid tersebut wajib dihancurkan, (bagaimana bisa demikian.?-red.,)

IS:
Sesungguhnya lelaki yang datang itu dulunya memiliki seorang isteri, lalu dia bepergian dan meninggalkannya (mantan isterinya tersebut) di rumah saudaranya lantas si imam ini membunuh saudaranya tersebut dan mengklaim bahwa perempuan itu adalah isteri korban yang dikawininya (padahal ia adalah saudara perempuan si korban-red.,) lantas ke-empat orang yang melakukan shalat bersamanya itu bersaksi atas hal itu (bersaksi dusta-red.,), sedangkan masjid tersebut dulunya adalah rumah si korban (saudara laki-laki si wanita yang jadi isterinya-red.,) lalu dijadikan oleh si imam sebagai masjid (sehingga wajib dihancurkan-red.,).

PERTANYAAN- 6
PP:

Apa pendapatmu mengenai seorang laki-laki yang memiliki budak namun melarikan diri, lalu orang ini berkata, “Dia bebas (merdeka) jika aku makan, hingga aku menemukannya (alias: aku tidak akan makan hingga bisa menemukannya dan bila aku ternyata makan sebelum menemukannya, maka status budak tersebut adalah bebas/merdeka-red.,), bagaimana jalan keluar baginya dari ucapannya tersebut?

IS:
Ia hibahkan saja budak tersebut kepada sebagian anak-anaknya kemudian dia makan, kemudian setelah itu ia menarik kembali hibahnya tersebut.

PERTANYAAN- 7
PP:

Ada dua orang wanita bertemu dengan dua orang anak laki-laki, lalu kedua wanita tersebut berkata, “Selamat datang wahai kedua anak kami, kedua suami kami dan kedua anak dari kedua suami kami.” (bagaimana gambarannya?-red.,)

IS:
Sesungguhnya kedua anak laki-laki itu adalah dua anak dari masing-masing wanita tersebut, lalu masing-masing wanita itu menikah dengan anak laki-laki temannya (kawin silang-red.,), maka jadilah kedua anak laki-laki itu sebagai kedua anak mereka berdua, kedua suami mereka berdua dan kedua anak dari kedua suami mereka.

PERTANYAAN- 8
PP:

Seorang laki-laki mengambil sebuah wadah air untuk minum, lalu dia hanya bisa meminum separuhnya yang halal baginya sedangkan sisanya menjadi haram baginya, (bagaimana bisa terjadi.?-red.,)

IS:
Sesungguhnya laki-laki itu telah meminum separuh air di wadah, lalu ketika meminum separuhnya lagi ia mengalami ‘mimisan’ sehingga darah menetes ke wadah itu sehingga membuat darah bercampur dengan air. Maka, jadilah ia (sisanya tersebut) haram baginya.

PERTANYAAN- 9
PP:

Ada seorang laki-laki memberi kantong yang terisi penuh dan telah disegel kepada isterinya, lalu ia meminta kepada isterinya tersebut untuk mengosongkan isinya dengan syarat tidak membuka, merobek, menghancurkan segel atau membakarnya sebab bila ia melakukan salah satu dari hal tersebut, maka ia ditalak. (apa yang harus dilakukan sang isteri.?-red.,)

IS:
Sesungguhya kantong itu terisi penuh oleh gula atau garam sehingga apa yang harus dilakukan wanita hanyalah mencelupkannya ke dalam air hingga ia mencair sendiri.

PERTANYAAN- 10
PP:

Seorang laki-laki dan wanita melihat dua orang anak laki-laki di jalan, lalu keduanya mencium kedua anak laki-laki tersebut. Dan tatkala keduanya ditanyai mengenai tindakan mereka itu, si laki-laki itu menjawab, “Ayahku adalah kakek dari kedua anak laki-laki itu dan saudaraku adalah paman keduanya sedangkan isteriku adalah isteri ayahnya.” Sedangkan si wanita menjawab, “Ibuku adalah nenek keduanya dan saudara perempuanku adalah bibinya (dari pihak ibu).” (siapa sebenarnya kedua anak itu bagi kedua orang tersebut.?-red.,)

IS:
Sesungguhnya laki-laki itu tak lain adalah ayah kedua anak laki-laki itu sedangkan wanita itu adalah ibu mereka berdua.

PERTANYAAN- 11
PP:

Ada dua orang laki-laki berada di atas loteng rumah, lalu salah seorang dari mereka jatuh dan tewas. Sebagai konsekuensinya, isteri orang yang tewas tersebut menjadi haram bagi temannya yang satu lagi. (bagaimana ini bisa terjadi.?-red.,)

IS:
Sesungguhnya laki-laki yang jatuh lalu tewas itu adalah orang (majikan/tuan) yang telah menikahkan putrinya dengan budaknya yang bersamanya di atas loteng tersebut (yang selamat), maka tatkala ia tewas, putrinya tersebut mewarisinya sehingga menjadi pemilik budak yang tidak lain suaminya tersebut, maka jadilah ia (putri majikannya tersebut) haram baginya.

Sampai di sini, sang khalifah Harun ar-Rasyid yang menghadiri perdebatan tersebut tidak mampu menyembunyikan rasa kagumnya terhadap kecerdasan Imam asy-Syafi’i, spontanitasnya, kebagusan pemahamannya dan keindahan ilmunya seraya berkata, “Maha suci Allah atas karunianya kepada Bani ‘Abdi Manaf; engkau telah menjelaskan dengan baik dan menafsirkan dengan begitu menawan serta mengungkapkan dengan begitu fasih.”

Maka berkatalah Imam asy-Syafi’i, “Semoga Allah memanjangkan umur Amirul Mukminin. Aku mau mengajukan kepada para ulama tersebut satu pertanyaan saja yang bila mereka dapat menjawabnya, maka alhamdulillah sedang bila tidak bisa, aku berharap Amirul Mukminin dapat mengekang keusilan mereka terhadapku.”

“Ya, itu hakmu, silahkan ajukan pertanyaanmu kepada mereka, wahai asy-Syafi’i,?” kata sang khalifah

“Ada seorang laki-laki yang meninggal dunia dengan meninggalkan warisan sebanyak 600 dirham namun saudara wanitanya hanya mendapatkan bagian 1 dirham saja dari warisan tersebut, bagaimana cara membagikan warisan tersebut,?” tanya asy-Syafi’i.

Maka, masing-masing dari para ulama tersebut saling memandang satu sama lain begitu lama namun tidak seorang pun dari mereka yang mampu menjawab satu pertanyaan tersebut sehingga tampak keringat membanjiri jidat mereka. Dan setelah begitu lama mereka hanya terdiam, berkatalah sang khalifah, “Ayo, katakan kepada mereka apa jawabannya.!”

“Orang tersebut meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris; dua anak perempuan, seorang ibu, seorang isteri, dua belas orang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan. Jadi, dua anak perempuannya itu mendapatkan dua pertiganya, yaitu 400 dirham; si ibu mendapatkan seperenam, yaitu 100 dirham; isteri mendapatkan seperdelapan, yaitu 75 dirham; dua belas saudara laki-lakinya mendapatkan 24 dirham (masing-masing 2 dirham) sehingga sisanya yang satu dirham lagi itu menjadi jatah saudara perempuannya tersebut,” jawab Imam asy-Syafi’i setelah orang-orang yang ingin menjatuhkannya di hadapan khalifah yang amat mencintainya itu berbuat nekad terhadapnya.

Dan jawaban Imam asy-Syafi’i tersebut membuat sang khalifah tersenyum seraya berkata, “Semoga Allah memperbanyak pada keluarga besarku orang sepertimu.”

Lalu beliau memberi hadiah kepada Imam asy-Syafi’i sebanyak 2000 dirham. Hadiah itu diterimanya, lalu dibagi-bagikannya kepada para pelayan istana dan para pengawal.

(SUMBER: Mi`ah Qishshah Wa Qishshah Fi Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundy, Juz.II, h.3-10)

Posted 20 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Kisah-Kisah, Kisah-Teladan

Tobatnya Haalah ash-Shaafy   Leave a comment


Soerang artis terkenal yang juga penari, Haalah ash-Shaafy menceritakan kisah kenapa ia meninggalkan karirnya di dunia seni dan memilih untuk bertaubat serta bagaimana ketenangan jiwa yang ia rasakan ketika kembali ke rumahnya dan ke kehidupannya. Dengan gaya bahasa yang amat menyentuh, ia menceritakannya dalam sebuah wawancara di salah sebuah majalah,

“Suatu hari, seperti biasa aku melakukan adegan menari di salah satu hotel terkenal di Cairo, Mesir. Saat menari, aku merasakan diriku seperti mayat dan boneka yang bergerak tanpa makna. Dan untuk pertama kalinya aku merasa malu ketika menyadari dalam pose setengah telanjang, menari di hadapan mata kaum lelaki dan di tengah-tengah gelas-gelas yang dihampar.

Lalu aku tinggalkan arena tersebut dan cepat-cepat pergi sembari menangis secara histeris menuju kamar gantiku dan mengenakan pakaianku kembali.

Selama hidupku, baru kali ini aku diliputi suatu perasaan yang belum pernah aku rasakan semenjak mulai menari dari usia 15 tahun lalu. Maka, aku pun segera berwudlu dan melakukan shalat. Ketika itu, untuk pertama kalinya pula aku merasakan kebahagiaan dan kedamaian. Dan sejak hari itu, aku mengenakan hijab sekalipun masih banyak sekali tawaran-tawaran menggiurkan yang disodorkan kepadaku atau pun beragam ejekan dari sebagian orang. Aku pun melaksanakan manasik haji seraya berdiri dan menangis di hadapan ka’bah memohon kepada Allah kiranya mengampuni dosa-dosa yang telah aku lakukan pada hari-hari hitamku..”

Di akhir ceritanya yang menggugah hati, Halah berkata, “Haalah ash-Shaafy telah mati dan telah mengubur bersamanya masa lalunya. Ada pun saya sekarang ini adalah bernama Suhair ‘Abidin, Ummu Karim, pengasuh rumah, hidup bersama anak dan suamiku. Tetesan air mata penyesalan senantisa mendampingiku atas hari-hari yang dulu pernah aku lakukan dari usiaku, yang jauh dari Khaliq-ku Yang telah memberikan segala sesuatu kepadaku. Sesungguhnya, aku kini adalah bayi yang baru dilahirkan, aku merasakan ketenangan dan kedamaian setelah sebelumnya hanya perasaan cemas dan sedih yang menjadi temanku sekalipun kekayaan demikian melimpah, selalu bergadang malam dan bersenang-senang….Aku telah melakukan masa-masa yang lalu sebagai teman syetan, yang aku kenal hanya bersenang-senang dan menari. Aku telah hidup dalam kehidupan yang amat dibenci dan terhina. Syarafku selalu tegang tetapi sekarang aku merasa baru menjadi bayi kembali. Aku merasa berada di tangan yang begitu amanat, yang membelai kasih sayang dan mengucapkan selamat padaku…Yah, Tangan Allah SWT.,”

(SUMBER: al-‘Aaidaat Ilallaah, karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz al-Musnad, h.15-16, sebagai dinukil dari Majallah al-‘Arabiyyah, Volume 140)

Posted 20 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Kisah-Kisah, Kisah-Teladan

Dimakan Seekor Burung   Leave a comment


Abu Qudamah, salah seorang komandan kaum Muslimin dalam peperangan melawan orang-orang Romawi berkisah, “Ketika aku jadi Amir (komandan pasukan), aku pernah memerintahkan kaum Muslimin agar berpartisipasi dalam jihad di jalan Allah. Lalu datanglah seorang wanita membawa secarik kertas dan bungkusan (kantong), lalu aku buka kertasnya untuk membaca dan melihat apa isinya, ternyata di dalam kertas itu tertulis, ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim, dari seorang wanita, hamba Allah kepada Amir (komandan) pasukan kaum Muslimin. Salaamullah ‘alaika, amma ba’du: sesungguhnya engkau telah memerintahkan kami agar berpartisipasi dalam jihad di jalan Allah sedangkan aku tidak punya daya upaya untuk berjihad atau pun berperang. Karena itu, aku titipkan kantong ini yang berisi rambutku. Silahkan ambil agar diikatkan ke kudamu, semoga saja Allah mencatatkan bagiku sesuatu dari pahala para mujahidin.”

Abu Qudamah melanjutkan, “Aku pun bersyukur kepada Allah karena telah menganugerahkan wanita tersebut taufiq dan tahulah aku bahwa kaum Muslimin ikut merasakan betapa besar kewajiban yang harus diemban dan bersatu padu untuk menghadapi musuh-musuh mereka. Tatkala kami sudah menghadapi musuh, aku melihat seorang anak yang masih ingusan, yang aku pikir belum layak untuk ikut berperang karena usianya yang terlalu muda. Karenanya, aku pun menghardiknya karena kasihan terhadapnya. namun dia malah berkata, ‘Bagaimana bisa kamu menyuruhku kembali padahal Allah telah berfirman, ‘Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat.” (Q.s.,at-Taubah:41).’

Lalu aku tinggalkan dia, kemudian dia menyongsongku seraya berkata, ‘Tolong pinjamkan aku 3 buah anak panah.’

Lalu aku berkatanya seraya terkagum-kagum terhadapnya sekaligus kasihan, ‘Aku akan pinjamkan kepadamu apa yang kamu mau asalkan nanti bila Allah menganugerahimu mati syahid, kamu tidak lupa meminta syafa’at (pertolongan) untukku –ketika berbicara dengannya seakan aku merasa begitu mencintai dan menghormatinya-.
‘Ya, insya Allah,’ katanya

Aku pun memberinya tiga buah anak panah tersebut, kemudian ia menyongsong musuh dengan gagah dan bersemangat. Dia terus menghantam musuh-musuhnya, sementara musuh-musuh pun berhasil melukainya hingga akhirnya dia tersungkur jatuh di medan peperangan. Sepanjang jalannya peperangan, mataku tidak lepas-lepas dari menatapnya karena begitu terkagum-kagum sekaligus kasihan terhadapnya. Tatkala dia sudah jatuh tersungkur, aku menghampirinya dan berkata kepadanya, ‘Apakah kamu mau makan atau minum.?’

‘Tidak, aku malah bersyukur kepada Allah atas apa yang kualami ini akan tetapi aku punya hajat (wasiat) kepadamu.’

‘Dengan senang hati wahai anakku, perintahkan kepadaku apa yang kamu maui,’ jawabku

‘Tolong sampaikan salamku untuk ibuku, kemudian berikanlah barang-barang ini kepadanya,’ pesannya dalam detik-detik terakhir menghembuskan nafasnya

‘Siapa ibumu, wahai pemuda,’ tanyaku
‘Ibuku adalah wanita yang telah memberimu rambutnya itu agar diikat ke kudamu ketika ia tidak mampu untuk ikut berperang di jalan Allah, jawabnya

‘Semoga Allah memberkahi keluargamu,’ kemudian dia pun berpisah dengan alam dunia yang fana ini.

Lalu aku lakukan apa yang semestinya, namun tatkala telah aku kuburkan, tiba-tiba bumi memuntahkan jasadnya, lalu aku ulangi lagi sekali lagi, namun bumi kembali memuntahkannya. Lalu aku gali sedalam-dalamnya kemudian menguburkannya tetapi tetap saja bumi memuntahkannya lagi. Aku berkata dalam hati, ‘barangkali saja ketika keluar untuk berjihad, dia tidak mendapat restu dari ibunya.’ Lantas aku melakukan shalat dua raka’at dan berdoa kepada Allah agar menyingkap rahasia mengenai si anak ini. Tiba-tiba aku mendengar ada yang berkata, ‘Wahai Abu Qudamah, tinggalkan urusan Wali Allah tersebut.!’ Maka, tahulah aku bahwa ada janji Allah bersamanya. Tatkala kami sedang terpaku melihat hal itu semua, tiba-tiba datang seekor burung menyongsong lalu memakannya. Aku pun terheran-heran dengan peristiwa itu. Kemudian aku kembali menemui ibunya untuk melaksanakan wasiat putranya tersebut. Maka, tatkala dia melihatku, berkatah ia, ‘Wahai Abu Qudamah, apa yang ada di balik kedatanganmu; ingin melawat (ta’ziah) atau mengucapkan selamat.?’

Aku balik bertanya kepadanya, ‘Apa maksudnya itu.?”
“Jika putraku telah meninggal biasa, berarti kamu datang untuk berta’ziah. Tetapi jika ia terbunuh di jalan Allah dan mati syahid, berarti kamu datang untuk mengucapkan selamat,” katanya

Lalu aku menceritakan kepadanya kisah putranya tersebut; aku ceritakan perihal burung dan apa yang dilakukannya terhadapnya. Maka berkatalah sang ibu tersebut,
“Sungguh, Allah telah mengabulkan doanya.”
“Apa doanya,?” tanyaku

“Sesungguhnya dia selalu berdoa kepada Allah di dalam semua shalatnya, penyendiriannya, di pagi dan sore harinya, ‘Ya Allah kumpulkanlah aku di dalam tembolok (penampungan makanan) burung. Segala puji bagi Allah karena telah merealisasikan cita-citanya dan mengabulkan doanya,”jawabnya

Abu Qudamah mengakhiri kisahnya, “Lalu aku pun berpaling darinya dengan memetik sebuah pengetahuan berharga kenapa Allah mencatatkan kemenangan atas kami terhadap para musuh.”

(SUMBER: Mi`atu Qishshah Wa Qishshah Fii Aniisi ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin, karya Muhammad Amin al-Jundy, h.45-48)

Posted 20 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Kisah-Kisah, Kisah-Teladan

Orang Yang Melakukan Kejahatan   Leave a comment


Dikisahkan bahwa para pembantu sebagian raja menemukan seorang bocah di sebuah jalan, lalu mereka mengambilnya. Mengetahui hal itu, sang Amir memerintahkan agar bocah tersebut dididik dengan baik dan dijadikan bagian dari keluarga istana. Ia lantas memberinya nama ‘Ahmad al-Yatim’ (Ahmad Si Yatim).

Tatkala ia semakin tumbuh menjadi remaja, tampaklah padanya tanda-tanda kecerdasan dan kepintaran. Karena itu, sang raja menggambleng akhlaqnya dan memberikan pengajaran kepadanya. Dan ketika ajalnya sudah dekat, ia berwasiat kepada putra mahkotanya agar menjaga anak ini, maka ia pun dimasukkan ke dalam istana kerajaan, menjadi orang pilihan dan diambil janjinya untuk tetap setia sebagai pembantu yang amanah. Setelah itu, pangkatnya dinaikkan menjadi pemutus perkara yang terjadi di antara para pembantu Amir (putra mahkota) dan pengontrol jalannya urusan istananya.

Pada suatu hari, sang Amir menyuruhnya untuk menghadirkan sesuatu di sebagian biliknya. Maka pergilah ia ke sana untuk mengambilnya, namun secara tak sengaja ia memergoki salah seorang dari para pelayan wanita yang bekerja khusus untuk sang Amir tengah berduaan dengan seorang pemuda dari kalangan para pembantu, melakukan perbuatan mesum dan berzina. Menyadari dirinya kepergok, si pelayan wanita ini memelas kepadanya agar merahasiakan kejadian tersebut dan berjanji akan memberinya semua yang diinginkannya seraya menggodanya dengan tujuan agar rahasianya tidak dibocorkan akan tetapi ia malah berkata kepada si pelayan wanita tersebut, “Aku berlindung kepada Allah dari melakukan khianat terhadap sang Amir dengan berzina padahal dia telah berbuat baik padaku.” Kemudian ia meninggalkan pelayan wanita tersebut dan berpaling darinya sementara dalam hatinya, ia berniat untuk tidak membocorkan rahasia tersebut.

Rupanya, si pelayan wanita tersebut merasa ketakutan lebih dahulu dan membayangkan seakan Ahmad al-Yatim akan membocorkan rahasianya kepada sang Amir. Karena itu, ia menunggu kedatangan Amir ke istananya, kemudian pergi ke sana sambil menangis-nangis dan mengadu. Lalu Amir menanyakan kepadanya apa gerangan yang terjadi.? Dia mengatakan bahwa Ahmad al-Yatim telah menggodanya dan ingin memaksanya untuk melakukan zina. Begitu mendengar pengaduan itu, marah besarlah sang Amir pada Ahmad dan berniat untuk membunuhnya. Kemudian, beliau pun membuat rencana pembunuhan tersebut secara terselubung agar tidak ada orang yang tahu mengenai kematiannya nanti dan apa sebab terbunuhnya.

Untuk itu, sang Amir berkata kepada pembantunya yang paling senior, “Bila aku utus kepadamu seseorang yang membawa nampan dan meminta kepadamu begini dan begitu, maka penggallah lehernya dan letakkan kepalanya di dalam nampan tersebut serta kirim lagi kepadaku.” Sang pembantu senior itu pun mengiyakannya dengan penuh kepatuhan.

Pada suatu hari, sang Amir memanggil Ahmad al-Yatim seraya berkata, “Pergilah ke fulan, si pembantu lalu katakanlah kepadanya begini dan begitu.”

Ia pun melakukan apa yang diperintahkan Amir tersebut dan langsung pergi, hanya saja di tengah perjalanannya dia bertemu dengan sebagian pembantu yang ingin agar ia menengahi perselisihan yang terjadi di antara mereka akan tetapi ia minta ma’af karena ada halangan dengan mengatakan bahwa ia sedang mengemban tugas dari Amir. Mereka menahannya seraya berkata, “Kami akan mengirim fulan, si pembantu untuk menggantikanmu dan melakukan apa yang diminta darimu untuk melakukannya tersebut sehingga kamu bisa memutuskan perselisihan di antara kami ini.” Maka dia pun mengabulkan permintaan itu dan mereka pun mengirim seorang pembantu di antara mereka untuk menggantikannya. Ternyata, orang tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah pemuda yang telah berbuat zina dengan si pelayan wanita tersebut.

Tatkala orang ini pergi ke tempat yang telah ditentukan, ketua pembantu yang senior itu membawanya pergi ke suatu tempat yang telah dipersiapkannya dan setibanya di sana, ia segera memenggal lehernya dan meletakkan kepalanya ke dalam nampan lalu menutupnya. Setelah itu, ia membawanya ke hadapan Amir. Saat sang Amir melihat nampan tersebut, ia mengangkat tutupnya namun betapa terperanjatnya ia karena ternyata yang ada di dalamnya itu bukanlah kepala Ahmad al-Yatim. Karena itu, sang Amir langsung memanggil para pembantu agar menghadirkan Ahmad, lalu menanyakan kepadanya kenapa bisa terjadi demikian. Maka, ia memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi sehingga posisinya digantikan oleh pembantu yang lain. Sang Amir pun bertanya kepadanya, “Apakah kamu tahu apa dosa yang dilakukan si pembantu ini.?”
“Ya, dia telah melakukan ini dan itu bersama si pelayan wanita, lalu kembali dan mereka berdua memintaku atas nama Allah agar merahasiakan kejadian itu,” katanya.

Begitu mendengar penuturannya, sang Amir memerintahkan agar si pelayan wanita tersebut pun dieksekusi juga.

Akhirya, suasana seperti semula kembali lagi menyeruak ke dalam kehidupan Ahmad. Ia semakin mendapatkan kecintaan dan penghormatan dari sang Amir.

Alhasil, inilah buah dari kesetian dan sebaliknya akibat dari perbuatan khianat. Allah Ta’ala berfirman, “Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya.”(Q.s.,Faathir:43)

(SUMBER: Mi`atu Qishshah Wa Qishshah Fii Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundy, Juz.II, h.33-35)

Posted 20 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Kisah-Kisah, Kisah-Teladan

Menjadi Pencuri Yang Ahli Fiqih   Leave a comment


Mukaddimah

Sejenak sebelum membaca semua isinya, barangkali dari judulnya saja sudah mengundang keingin-tahuan anda, benarkah ada maling yang ahli fiqih.?
Kedengarannya aneh, kok ada maling yang bisa jadi ahli fiqih? Kenapa ia bisa melakukana hal itu? Siapakah ia sebenarnya?
Untuk menjawabnya, silahkan simak kisahnya!

Dikisahkan bahwa suatu malam, seorang Qadli dari Anthokia pergi ke sawah miliknya namun tatkala baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia dihadang oleh seorang maling yang membentak, “Serahkan semua yang engkau miliki.! Kalau tidak, aku tidak akan segan-segan berbuat kasar terhadapmu.!”

“Semoga Allah menolongmu. Sesungguhnya para ulama itu memiliki kehormatan. Dan aku adalah seorang Qadli negeri ini, karena itu lepaskan aku,” kata Qadli

“Alhamdulillah, karena Dia telah memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan orang sepertimu. Aku sangat yakin bahwa kamu bisa kembali ke rumah dengan pakaian dan kendaraan yang serba berkecukupan. Sementara orang selainmu barangkali kondisinya lemah, faqir dan tidak mendapatkan sesuatu pun,” jawab si maling

“Menurutku, kamu ini orang yang berilmu,” selidik Qadli
“Benar, sebab di atas setiap orang yang ‘alim ada yang lebih ‘Alim,”jawabnya tenang

“Kalau begitu, apa katamu tentang hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, ‘Dien itu adalah Dien Allah, para hamba adalah para hamba Allah dan as-Sunnah adalah sunnah-Ku; barangsiapa yang membuat-buat sesuatu yang baru (bid’ah), maka atasnya laknat Allah.’ Maka, memalak dan merampok adalah perbuatan bid’ah dan aku menyayangkan bila kamu masuk dalam laknat ini,” kata Qadli mengingatkan

“Wahai tuan Qadli, ini hadits Mursal (bagian dari hadits Dla’if), periwayatnya tidak pernah meriwayatkan dari Nafi’ atau pun dari Ibn ‘Umar. Kalau pun aku mengikuti kamu bahwa hadits itu shahih atau terputus, maka bagaimana dengan nasib si maling yang amat membutuhkan, tidak memiliki makanan pokok (keseharian) dan tidak dapat pulang dengan berkecukupan. Sesungguhnya harta yang bersamamu itu halal bagiku. Malik meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Andaikata dunia itu ibarat darah segar, niscaya ia halal menjadi makanan pokok kaum Mukminin.’ Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan seluruh ulama bahwa seseorang boleh menghidupi dirinya dan keluarga (tanggungan)-nya dengan harta orang selainnya bila ia khawatir binasa. Demi Allah, aku takut diriku binasa sementara harta yang ada bersamamu dapat menghidupiku dan keluargaku, maka serahkanlah ia lalu pergilah dari sini dengan selamat,” ujar si maling

“Kalau memang demikian kondisimu, biarkan aku pergi dulu ke sawahku agar singgah ke penginapan para budak dan pembantuku untuk mengambil sesuatu yang dapat menutupi auratkku. Setelah itu, aku akan serahkan kepadamu semua apa yang bersamaku ini,”kata Qadli beralasan

“Tidak mungkin, tidak mungkin.! Orang sepertimu ini ibarat burung di dalam sangkar; bila sudah terbang ke udara, lepaslah ia dari genggaman tangan. Aku khawatir bila membiarkanmu pergi, kamu tidak bakal memberikan sesuatu pun kepadaku,” kata si maling lagi

“Aku bersumpah untukmu bahwa aku akan melakukan itu,” kata Qadli mempertegas

“Malik menceritakan kepada kami dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Sumpah orang yang dipaksa (terpaksa) tidak menjadi kemestian (tidak berlaku).’ Allah Ta’ala berfirman, ‘Kecuali orang yang dipaksa sementara hatinya mantap dengan keimanan.’ Aku khawatir nanti kamu menakwil-nakwil terhadap perkaraku ini, karena itu serahkan saja apa yang ada bersamamu itu.!” tegas si maling seakan tidak mau berkompromi

Maka, sang Qadli pun memberinya kendaraan dan pakaian tetapi tidak menyerahkan celananya. Lalu si maling berkata,
“Serahkan juga celana itu, ini harus.!”

“Sesungguhnya sekarang sudah waktunya shalat padahal Rasulullah SAW bersabda, ‘Celakalah orang yang melihat aurat saudaranya.’ Sekarang ini, sudah waktunya shalat sementara orang yang telanjang tidak boleh shalat sebab Allah berfirman, ‘Ambillah hiasan kamu setiap pergi ke masjid.’ Dikatakan bahwa tafsir ‘hiasan’ tersebut adalah pakaian ketika akan shalat,” sang Qadli mulai berargumentasi

“Adapun mengenai shalat kamu itu, maka hukumnya sah. Malik menceritakan kepada kami, dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang-orang yang bertelanjang melakukan shalat dengan berdiri sedangkan imam mereka berada di posisi tengah.’ Malik berkata, ‘Mereka tidak boleh shalat dengan berdiri tetapi shalat secara terpisah-pisah dan saling berjauhan hingga salah seorang dari mereka tidak bisa melihat kepada aurat sebagian yang lainnya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ‘mereka shalat dengan duduk.’ Sementara mengenai hadits yang kamu sebutkan itu, maka ia adalah hadits Mursal dan andaikata aku menyerah kepada dalilmu, maka itu dapat diarahkan kepada makna ‘memandang dengan syahwat.’ Sedangkan kondisimu saat ini adalah kondisi terpaksa bukan bebas, dapat memilih. Bukankah engkau tahu bahwa wanita boleh mencuci farji (kemaluan)-nya dari najis padahal tidak dapat menghindar dari melihatnya.? Demikian juga dengan seorang laki-laki yang mencukur bulu kemaluannya, orang yang menyunat dan dokter. Bila demikian keadaannya, maka ucapan sang Qadli tidak berlaku,” sanggah si maling yang ahli fiqih ini

“Kalau begitu, kamulah Qadli sedangkan aku hanyalah seorang yang disidang (mustaqdla), kamulah Ahli Fiqih sedangkan aku hanya orang yang meminta fatwa dan kamulah Mufti sebenarnya. Ambillah celana dan pakaian ini.” aku sang Qadli mengakhiri debat itu

Lalu si maling yang ahli fiqih itu mengambil celana dan pakaian tersebut, kemudian berlalu. Sementara Qadli masih berdiri di tempatnya hingga akhirnya ada orang yang mengenalnya.

Qadli berkata, “Sesungguhnya ia adalah seorang ahli fiqih yang disanjung. Namun masa membuatnya pensiun hingga akhirnya melakukan apa yang telah dilakukannya tersebut.”

Akhirnya, sang Qadli mengutus seorang utusan kepadanya, memuliakannya serta menyuplai kebutuhan hidupnya.

(SUMBER: Mi`ah Qishsshah Wa Qishshah Fii Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundy, juz.II, h.62-65)

Posted 20 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Kisah-Kisah, Kisah-Teladan