Archive for the ‘memaknai’ Tag

Memaknai Sholat Terawih   Leave a comment


Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan.[1]

 

Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam.[2] Shalat tarawih lebih afhdol dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al Khottob dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun terus menerus melakukan shalat tarawih secara berjama’ah karena merupakan syi’ar Islam yang begitu nampak sehingga serupa dengan shalat ‘ied.[3]

Keutamaan Shalat Tarawih

Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[4] Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi.[5]

Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh. Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda, “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[6] Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.

Waktu Terbaik Shalat Tarawih

Waktu shalat tarawih adalah setelah shalat Isya’ hingga terbit fajar, boleh menunaikan di antara waktu tersebut. An Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan, “Waktu shalat tarawih adalah dimulai selepas menunaikan shalat Isya’. Demikian disebutkan pula oleh Al Baghowi dan selainnya. Dan sisanya sampai waktu Shubuh.”

Akan tetapi jika seseorang melakukannya di masjid dan menjadi imam, maka hendaklah ia mengerjakan shalat tarawih tersebut setelah shalat Isya’. Janganlah ia akhirkan hingga pertengahan malam atau akhir malam supaya tidak menyulitkan para jama’ah. Karena dikhawatirkan jika dikerjakan di akhir malam, sebagian orang dapat luput karena ketiduran. Shalat tarawih di awal malam inilah yang biasa di lakukan kaum muslimin (dari masa ke masa). Kaum muslimin senatiasa mengerjakan shalat tarawih setelah shalat Isya’ dan tidak diakhirkan hingga akhir malam.

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menyebutkan, “Ada yang menanyakan pada Imam Ahmad: Bolehkah mengakhirkan shalat tarawih hingga akhir malam?” “Tidak. Sunnah kaum muslimin (di masa ‘Umar) lebih aku sukai,” jawab Imam Ahmad. [Sejak masa ‘Umar shalat tarawih biasa dilaksanakan di awal malam. Inilah yang berlaku dari masa ke masa. -pen]. Adapun jika seseorang ingin melaksanakan shalat di rumahnya (seperti para wanita, pen), maka ia punya pilihan. Ia boleh melaksanakan di awal malam, ia pun boleh melaksanakannya di akhir malam.[7]

Shalat Tarawih Pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.”[8]

Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih dari 11 Raka’at?

Shalat tarawih 11 raka’at itulah yang jadi pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun bolehkah kita menambah dari yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan? Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.”[9]

Disebutkan dalam Muwaththo’ Imam Malik riwayat sebagai berikut: Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, “Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata, “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.” (HR. Malik dalam Al Muwaththo’ 1/115). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.[10]

Dalam Musnad ‘Ali bin Al Ja’d terdapat riwayat sebagai berikut: Telah menceritakan kepada kami ‘Ali, bahwa Ibnu Abi Dzi’b dari Yazid bin Khoshifah dari As Saib bin Yazid, ia berkata, “Mereka melaksanakan qiyam lail di masa ‘Umar di bulan Ramadhan sebanyak 20 raka’at. Ketika itu mereka membaca 200 ayat Al Qur’an.” (HR. ‘Ali bin Al Ja’d dalam musnadnya, 1/413). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.[11] Hadits di atas juga memiliki jalur yang sama dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro (2/496).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa perbuatan sahabat di zaman ‘Umar bin Khottob bervariasi, kadang mereka melaksanakan 11 raka’at, kadang pula –berdasarkan riwayat yang shahih- melaksanakan 23 raka’at. Lalu bagaimana menyikapi riwayat semacam ini? Jawabnya, tidak ada masalah dalam menyikapi dua riwayat tersebut. Kita bisa katakan bahwa kadangkala mereka melaksanakan 11 raka’at, dan kadangkala mereka melaksanakan 23 raka’at dilihat dari kondisi mereka masing-masing.

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Kompromi antara riwayat (yang menyebutkan 11 dan 23 raka’at) amat memungkinkan dengan kita katakan bahwa mereka melaksanakan shalat tarawih tersebut dilihat dari kondisinya. Kita bisa memahami bahwa perbedaan (jumlah raka’at tersebut) dikarenakan kadangkala bacaan tiap raka’atnya panjang dan kadangkala pendek. Ketika bacaan tersebut dipanjangkan, maka jumlah raka’atnya semakin sedikit. Demikian sebaliknya.”[12]

Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.”[13]

Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya

Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.”[14]

Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.”[15] Ibnu Hajar –rahimahullah– membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud.[16] Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Karena ingatlah bahwa thuma’ninah (bersikap tenang) adalah bagian dari rukun shalat.

Aturan Dalam Shalat Tarawih

1. Salam setiap dua raka’at. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.”[17] [18]

2. Istirahat tiap selesai empat raka’at. Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.”[19] Yang dimaksud dalam hadits ini adalah shalatnya dua raka’at salam, dua raka’at salam, namun setiap empat raka’at ada duduk istrirahat.

Sebagai catatan penting, tidaklah disyariatkan membaca dzikir-dzikir tertentu atau do’a tertentu ketika istirahat setiap melakukan empat raka’at shalat tarawih, sebagaimana hal ini dilakukan sebagian muslimin di tengah-tengah kita yang mungkin saja belum mengetahui bahwa hal ini tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam.[20] Ulama-ulama Hambali mengatakan, “Tidak mengapa jika istirahat setiap melaksanakan empat raka’at shalat tarawih ditinggalkan. Dan tidak dianjurkan membaca do’a-do’a tertentu ketika waktu istirahat tersebut karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal ini.”[21]

3. Tidak ada tuntunan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan Ash Sholaatul Jaami’ah. Ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Juga dalam shalat tarawih tidak ada seruan adzan ataupun iqomah untuk memanggil jama’ah karena adzan dan iqomah hanya ada pada shalat fardhu.[22]

4. Sudah selayaknya bagi makmum untuk menyelesaikan shalat tarawih hingga imam selesai. Dan kuranglah tepat jika jama’ah bubar sebelum imam selesai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[23] Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.

5. Bagaimana shalat tarawih bagi wanita? Jika menimbulkan godaan ketika keluar rumah (ketika melaksanakan shalat tarawih), maka shalat di rumah lebih utama bagi wanita daripada di masjid. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As Saa’idiy. Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata bahwa dia sangat senang sekali bila dapat shalat bersama beliau. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Aku telah mengetahui bahwa engkau senang sekali jika dapat shalat bersamaku. … (Namun ketahuilah bahwa) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.”[24]

Namun jika wanita tersebut merasa tidak sempurna mengerjakan shalat tarawih tersebut di rumah atau malah malas-malasan, juga jika dia pergi ke masjid akan mendapat faedah lain bukan hanya shalat (seperti dapat mendengarkan nasehat-nasehat agama atau pelajaran dari orang yang berilmu atau dapat pula bertemu dengan wanita-wanita muslimah yang sholihah atau di masjid para wanita yang saling bersua bisa saling mengingatkan untuk banyak mendekatkan diri pada Allah, atau dapat menyimak Al Qur’an dari seorang qori’ yang bagus bacaannya), maka dalam kondisi seperti ini, wanita boleh saja keluar rumah menuju masjid. Hal ini diperbolehkan bagi wanita asalkan dia tetap menutup aurat dengan menggunakan hijab yang sempurna, keluar tanpa memakai harum-haruman (parfum)[25], dan keluarnya pun dengan izin suami. Apabila wanita berkeinginan menunaikan shalat jama’ah di masjid (setelah memperhatikan syarat-syarat tadi), hendaklah suami tidak melarangnya. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik.”[26] Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Jika istri kalian meminta izin pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.”[27] [28]

 

[Muhammad Abduh Tuasikal]

_____________

[1] Lihat Al Jaami’ Li Ahkamish Sholah, 3/63 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9630.

[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9631.

[3] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39.

[4] HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759

[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39.

[6] HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan Tirmidzi. Tirmidzi menshahihkan hadits ini. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[7] Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab, no. 37768.

[8] HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738.

[9] At Tamhid, 21/70.

[10] ‘Adadu Raka’at Qiyamil Lail, Musthofa Al ‘Adawi, Daar Majid ‘Asiri, hal. 36.

[11] Adadu Raka’at Qiyamil Lail, hal. 36.

[12] Fathul Bari, 4/253.

[13] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H, 22/272.

[14] HR. Muslim no. 756

[15] HR. Bukhari no. 1220 dan Muslim no. 545.

[16] Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3.

[17] HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749.

[18] Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi ketika menjelaskan hadits “shalat sunnah malam dan siang itu dua raka’at, dua raka’at”, beliau rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud hadits ini adalah bahwa yang lebih afdhol adalah mengerjakan shalat dengan setiap dua raka’at salam baik dalam shalat sunnah di malam atau siang hari. Di sini disunnahkan untuk salam setiap dua raka’at. Namun jika menggabungkan seluruh raka’at yang ada dengan sekali salam atau mengerjakan shalat sunnah dengan satu raka’at saja, maka itu dibolehkan menurut kami.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/30)

[19] HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738.

[20] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/420.

[21] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9639

[22] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9634

[23] HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan Tirmidzi. Hadits ini shahih.

[24] HR. Ahmad no. 27135. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[25] “Jika salah seorang di antara kalian ingin mendatangi masjid, maka janganlah memakai harum-haruman.” (HR. Muslim no. 443)

[26] HR. Abu Daud no. 567 dan Ahmad 7/62. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[27] HR. Muslim no. 442.

[28] Periksa http://www.islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=1914

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in At-Tauhid, Buletin

Tagged with , ,

Memaknai Zakat Fitri   Leave a comment


Zakat secara bahasa berarti an namaa’(tumbuh), az ziyadah (bertambah), ash sholah(perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya. Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.[1] Ada pula ulama yang menyebut zakat ini dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah/ naluri. An Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh”[2]. Istilah ini digunakan oleh para pakar fikih. Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.[3]

 

Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri

Hikmah disyari’atkannya zakat fithri adalah: (1) untuk berkasih sayang dengan orang miskin, yaitu mencukupi mereka agar jangan sampai meminta-minta di hari ‘ied, (2) memberikan rasa suka cita kepada orang miskin supaya mereka pun dapat merasakan gembira di hari ‘ied, dan (3) membersihkan kesalahan orang yang menjalankan puasa akibat kata yang sia-sia dan kata-kata yang kotor yang dilakukan selama berpuasa sebulan.[4] Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[5]

Hukum Zakat Fithri

Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.[6] Bukti dalil dari wajibnya zakat fithri adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.”[7]

Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri

Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh: (1) setiap muslim karena untuk menutupi kekurangan puasa yang diisi dengan perkara sia-sia dan kata-kata kotor, (2) yang mampu mengeluarkan zakat fithri. Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang seperti ini berarti dia dikatakan mampu dan wajib mengeluarkan zakat fithri. Kepala keluarga wajib membayar zakat fithri orang yang ia tanggung nafkahnya.[8] Menurut Imam Malik, ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, suami bertanggung jawab terhadap zakat fithri si istri karena istri menjadi tanggungan nafkah suami.[9]

Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fithri?

Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri jika ia bertemu terbenamnya matahari di malam hari raya Idul Fithri. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fithri. Inilah yang menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i.[10] Alasannya, karena zakat fithri berkaitan dengan hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan demikian (disandarkan pada kata fithri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada waktu fithri tersebut.[11]

Bentuk Zakat Fithri

Bentuk zakat fithri adalah berupa makanan pokok seperti kurma, gandum, beras, kismis, keju dan semacamnya. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa. Namun hal ini diselisihi oleh ulama Hanabilah yang membatasi macam zakat fithri hanya pada dalil (yaitu kurma dan gandum). Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama, tidak dibatasi hanya pada dalil.[12]

Ukuran Zakat Fithri

Para ulama sepakat bahwa kadar wajib zakat fithri adalah satu sho’ dari semua bentuk zakat fithri kecuali untuk qomh (gandum) dan zabib (kismis) sebagian ulama membolehkan dengan setengah sho’.[13] Dalil yang menunjukkan ukuran 1 sho’ adalah hadits Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan bahwa zakat fithri itu seukuran satu sho’ kurma atau gandum. Satu sho’ adalah ukuran takaran yang ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama berselisih pendapat bagaimanakah ukuran takaran ini. Lalu mereka berselisih pendapat lagi bagaimanakah ukuran timbangannya.[14] Satu sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran empat cakupan penuh telapak tangan yang sedang[15]. Ukuran satu sho’ jika diperkirakan dengan ukuran timbangan adalah sekitar 3 kg.[16] Ulama lainnya mengatakan bahwa satu sho’ kira-kira 2,157 kg.[17] Artinya jika zakat fithri dikeluarkan 2,5 kg, sudah dianggap sah. Wallahu a’lam.

Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang?

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh menyalurkan zakat fithri dengan uang yang senilai dengan zakat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menyatakan dibolehkannya hal ini. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bolehnya zakat fithri diganti dengan uang. Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah tidak bolehnya zakat fithri dengan uang sebagaimana pendapat mayoritas ulama.

Abu Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya dan aku pun menyimaknya. Beliau ditanya oleh seseorang, “Bolehkah aku menyerahkan beberapa uang dirham untuk zakat fithri?” Jawaban Imam Ahmad, “Aku khawatir seperti itu tidak sah. Mengeluarkan zakat fithri dengan uang berarti menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Dalam kisah lainnya masih dari Imam Ahmad, “Ada yang berkata pada Imam Ahmad, “Suatu kaum mengatakan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz membolehkan menunaikan zakat fithri dengan uang seharga zakat.” Jawaban Imam Ahmad, “Mereka meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka mengatakan bahwa si fulan telah mengatakan demikian?! Padahal Ibnu ‘Umar sendiri telah menyatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri (dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum …).[18]” Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya.”[19] Sungguh aneh, segolongan orang yang menolak ajaran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam malah mengatakan, “Si fulan berkata demikian dan demikian”.”[20]

Penerima Zakat Fithri

Para ulama berselisih pendapat mengenai siapakah yang berhak diberikan zakat fithri. Mayoritas ulama berpendapat bahwa zakat fithri disalurkan pada 8 golongan sebagaimana disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60[21]. Sedangkan ulama Malikiyah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat fithri hanyalah khusus untuk fakir miskin saja.[22] Karena dalam hadits disebutkan, “Zakat fithri sebagai makanan untuk orang miskin.” Pendapat terakhir ini yang lebih kuat, yaitu zakat fithri hanya khusus untuk orang miskin.

Waktu Pengeluaran Zakat Fithri

Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat fithri ada dua macam: (1) waktu afdhol yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied; (2) waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar.[23]

Yang menunjukkan waktu afdhol adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[24] Sedangkan dalil yang menunjukkan waktu dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum adalah disebutkan dalam shahih Al Bukhari, “Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya ‘Idul Fithri.”[25]

Ada juga sebagian ulama yang membolehkan zakat fithri ditunaikan tiga hari sebelum ‘Idul Fithri. Riwayat yang menunjukkan dibolehkan hal ini adalah dari Nafi’, ia berkata, “’Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul Fitri.”[26]

Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Seandainya zakat fithri jauh-jauh hari sebelum ‘Idul Fithri telah diserahkan, maka tentu saja hal ini tidak mencapai maksud disyari’atkannya zakat fithri yaitu untuk memenuhi kebutuhan si miskin di hari ‘ied. Ingatlah bahwa sebab diwajibkannya zakat fithri adalah hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Sehingga zakat ini pun disebut zakat fithri. … Karena maksud zakat fithri adalah untuk mencukupi si miskin di waktu yang khusus (yaitu hari fithri), maka tidak boleh didahulukan jauh hari sebelum waktunya.”[27]

Bagaimana Menunaikan Zakat Fithri Setelah Shalat ‘Ied?

Barangsiapa menunaikan zakat fithri setelah shalat ‘ied tanpa ada udzur, maka ia berdosa. Inilah yang menjadi pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Namun seluruh ulama pakar fikih sepakat bahwa zakat fithri tidaklah gugur setelah selesai waktunya, karena zakat ini masih harus dikeluarkan. Zakat tersebut masih menjadi utangan dan tidaklah gugur kecuali dengan menunaikannya. Zakat ini adalah hak sesama hamba yang mesti ditunaikan.[28]

Oleh karena itu, bagi siapa saja yang menyerahkan zakat fithri kepada suatu lembaga zakat, maka sudah seharusnya memperhatikan hal ini. Sudah seharusnya lembaga zakat tersebut diberi pemahaman bahwa zakat fithri harus dikeluarkan sebelum shalat ‘ied, bukan sesudahnya. Bahkan jika zakat fithri diserahkan langsung pada si miskin yang berhak menerimanya, maka itu pun dibolehkan. Hanya Allah yang memberi taufik.

Di Manakah Zakat Fithri Disalurkan?

Zakat fithri disalurkan di negeri tempat seseorang mendapatkan kewajiban zakat fithri yaitu di saat ia mendapati waktu fithri (tidak berpuasa lagi). Karena wajibnya zakat fithri ini berkaitan dengan sebab wajibnya yaitu bertemu dengan waktu fithri.[29]

 

[Muhammad Abduh Tuasikal]

_____________

[1] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278.

[2] Al Majmu’, 6/103.

[3] Mughnil Muhtaj, 1/592.

[4] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278 dan Minhajul Muslim, 230.

[5] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.

[7] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.

[8] Mughnil Muhtaj, 1/595.

[9] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/59.

[10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.

[11] Mughnil Muhtaj, 1/592.

[12] Shahih Fiqh Sunnah, 2/82.

[13] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284.

[14] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8286.

[15] Lihat Al Qomush Al Muhith, 2/298.

[16] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/202.

[17] Lihat pendapat Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/83.

[18] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.

[19] QS. An Nisa’ ayat 59.

[20] Lihat Al Mughni, 4/295.

[21] Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60). Untuk delapan golongan yang disebutkan dalam ayat ini adalah untuk zakat maal.

[22] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8287.

[23] Lihat Minhajul Muslim, 231.

[24] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[25] HR. Bukhari no. 1511.

[26] HR. Malik dalam Muwatho’nya no. 629 (1/285).

[27] Al Mughni, 4/301.

[28] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284.

[29] Misalnya, seseorang yang kesehariannya biasa di Jakarta, sedangkan ketika malam Idul Fithri ia berada di Yogyakarta, maka zakat fithri tersebut ia keluarkan di Yogyakarta karena di situlah tempat ia mendapati hari Idul Fithri. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8287.

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in At-Tauhid, Buletin

Tagged with , ,