Archive for 2 Oktober 2010

Kalian Seburuk-Buruknya Hamba   Leave a comment


Abdul Wahid bin Zaid berkata, “Ketika itu kami naik perahu, angin kencang berhembus menerpa perahu kami, sehingga kami terdampar di suatu pulau. Kami turun ke pulau itu dan mendapati seorang laki-laki sedang terdiam menyembah patung.”

Kami berkata kepadanya, ‘Di antara kami, para penumpang perahu ini tidak ada yang melakukan seperti yang kamu per-buat.’

Dia bertanya, ‘Kalau demikian, apa yang kalian sembah?’
Kami menjawab, ‘Kami menyembahAllah.’

Dia bertanya, ‘Siapakah Allah?’
Kami menjawab, ‘Dzat yang memiliki istana di langit dan kekuasaan di muka bumi.’

Dia bertanya, ‘Bagaimana kamu bisa mengetahuinya?’
Kami jawab, ‘Dzat tersebut mengutus seorang rasul kepada kami dengan membawa mu’jizat yang jelas, maka rasul itulah yang menerangkan kepada kami mengenai hal itu.’

Dia bertanya, ‘Apa yang dilakukan rasul kalian?’
Kami menjawab, ‘Ketika beliau telah tuntas menyampaikan risalahNya, Allah a mencabut ruhnya, kini utusan itu telah meninggal.’

Dia bertanya, ‘Apakah dia tidak meninggalkan sesuatu tanda kepada kalian?’
Kami menjawab, ‘Dia meninggalkan Kitabullah untuk kami.’

Dia berkata, ‘Coba kalian perlihatkan kitab suci itu ke-padaku!’
Kemudian kami memberikan mushaf kepadanya.

Dia berkata, ‘Alangkah bagusnya bacaan yang terdapat da-lam mushaf itu.’
Lalu kami membacakan beberapa ayat untuknya. Tiba-tiba ia menangis, dan berkata, ‘Tidak pantas Dzat yang memiliki firman ini didurhakai.’ Kemudian ia memeluk Islam dan menjadi seorang muslim yang baik.’

Selanjutnya dia meminta kami agar diizinkan ikut serta dalam perahu. Kami pun menyetujuinya lalu kami mengajarkan beberapa surat al-Qur’an. Ketika malam tiba sementara kami semua berangkat tidur, tiba-tiba dia bertanya, ‘Wahai kalian, apakah Dzat yang kalian beritahukan kepadaku itu juga tidur?’

Kami menjawab, ‘Dia Hidup terus, Maha Mengawasi dan tidak pernah ngantuk atau tidur.’

Dia berkata, ‘Ketahuilah, adalah termasuk akhlak yang tercela bilamana seorang hamba tidur nyenyak di hadapan tuannya.’ Dia lalu melompat, berdiri untuk mengerjakan shalat. Demikianlah, kemudian ia qiyamullail sambil menangis hingga datang waktu Shubuh.

Ketika sampai di suatu daerah, aku berkata kepada kawan-kawanku, ‘Laki-laki ini orang asing, dia baru saja memeluk Islam, sangat pantas jika kita membantunya.’ Mereka pun bersedia mengumpulkan beberapa barang untuk diberikan kepadanya, lalu kami menyerahkan bantuan itu kepadanya. Seketika saja ia bertanya, ‘Apakah ini?’
Kami jawab, ‘Sekedar infak, kami berikan kepadamu.’

Dia berkata, ‘Subhanallah. Kalian telah menunjukkan kepa-daku suatu jalan yang kalian sendiri belum mengerti. Selama ini aku hidup di suatu pulau yang dikelilingi lautan, aku menyem-bah dzat lain (bukan Allah q -pent), sekalipun demikian dia tidak pernah menyia-nyiakan aku… maka bagaimana mungkin dan apakah pantas Dzat yang aku sembah sekarang ini, Dzat Yang Maha Mencipta dan Dzat Maha Memberi rizki akan mene-lantarkan aku?’

Setelah itu dia pergi meninggalkan kami. Beberapa hari kemudian, aku mendapat khabar bahwa ia dalam keadaan saka-ratul maut. Kami segera menemuinya, dan ia sedang dalam detik-detik kematian. Setiba di sana aku ucapkan salam kepa-danya, lalu bertanya, ‘Apa yang kamu inginkan?’

Dia menjawab, ‘Keinginan dan harapanku telah tercapai pada saat kalian datang ke pulau itu sementara ketika itu aku tidak mengerti kepada siapa aku harus menyembah.’

Kemudian aku bersandar pada salah satu ujung kainnya untuk menenangkan hatinya, tiba-tiba saja aku tertidur. Dalam tidurku aku bermimpi melihat taman yang di atasnya terdapat kubah di sebuah kuburan seorang ahli ibadah. Di bawah kubah terdapat tempat tidur sedang di atasnya nampak seorang gadis sangat cantik. Gadis itu berkata, ‘Demi Allah, segeralah mengu-rus jenazah ini, aku sangat rindu kepadanya.’ Maka aku terba-ngun dan aku dapati orang tersebut telah mati. Lalu aku mandikan jenazah itu dan kafani.

Pada malam harinya saat aku tidur, aku memimpikannya lagi. Aku lihat ia sangat berbahagia, didampingi seorang gadis di atas tempat tidur dibawah kubah sambil menyenandungkan firman Allah.

“(Sambil mengucapkan), ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum.’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Ar-Ra’d: 24).

(SUMBER: 99 KISAH ORANG-ORANG SHALIH seperti yang dinukil dari Al-Mawa’izh wal Majalis, 40. PENERBIT, DARUL HAQ, 021-4701616)

Posted 2 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Islami, Kisah-Kisah

Tagged with ,

Seorang Pemuda dan Bidadari   Leave a comment


Abdul Wahid bin Zaid berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk di majlis kami, aku pun sudah siap dengan pakaian perangku, karena ada komando untuk bersiap-siap sejak Senin pagi. Kemudian saja ada seorang laki-laki membaca ayat, (artinya) “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan memberi Surga.” (At-Taubah: 111). Aku menyambut, “Ya, kekasihku.”

Laki-laki itu berkata, “Aku bersaksi kepadamu wahai Abdul Wahid, sesungguhnya aku telah menjual jiwa dan hartaku dengan harapan aku memperoleh Surga.”

Aku menjawab, “Sesungguhnya ketajaman pedang itu melebihi segala-galanya. Dan engkau sajalah orang yang aku sukai, aku khawatir manakala engkau tidak mampu bersabar dan tidak mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.”

Laki-laki itu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku telah berjual beli kepada Allah dengan harapan mendapat Surga, mana mungkin jual beli yang aku persaksikan kepadamu itu akan melemah.” Dia berkata, “Nampaknya aku memprihatinkan kemampuan kami semua, …kalau orang kesayanganku saja mampu berbuat, apakah kami tidak?” Kemudian lelaki itu menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah kecuali seekor kuda, senjata dan sekedar bekal untuk perang. Ketika kami telah berada di medan perang dialah laki-laki pertama kali yang tiba di tempat tersebut. Dia berkata, “Assalamu ’alaika wahai Abdul Wahid,” Aku menjawab, “Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh, alangkah beruntungnya perniagaan ini.”

Kemudian kami berangkat menuju medan perang, lelaki tersebut senantiasa berpuasa di siang hari dan qiyamullail pada malam harinya melayani kami dan menggembalakan hewan ternak kami serta menjaga kami ketika kami tidur, sampai kami tiba di wilayah Romawi.

Ketika kami sedang duduk-duduk pada suatu hari, tiba-tiba dia datang sambil berkata, “Betapa rindunya aku kepada bidadari bermata jeli.” Kawan-kawanku berkata, “Sepertinya laki-laki itu sudah mulai linglung.” Dia mendekati kami lalu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku sudah tidak sabar lagi, aku sangat rindu pada bidadari bermata jeli.” Aku bertanya, “Wahai saudaraku, siapa yang kamu maksud dengan bidadari bermata jeli itu.” Laki-laki itu menjawab, “Ketika itu aku sedang tidur, tiba-tiba aku bermimpi ada seseorang datang menemuiku, dia berkata, ‘Pergilah kamu menemui bidadari bermata jeli.’ Seseorang dalam mimpiku itu mendorongku untuk menuju sebuah taman di pinggir sebuah sungai yang berair jernih. Di taman itu ada beberapa pelayan cantik memakai perhiasan sangat indah sampai-sampai aku tidak mampu mengungkapkan keindahannya.

Ketika para pelayan cantik itu melihatku, mereka memberi kabar gembira sambil berkata, ‘Demi Allah, suami bidadari ber-mata jeli itu telah tiba.’ Kemudian aku berkata, ‘Assalamu Alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Pelayan cantik itu menjawab, ‘Tidak, kami sekedar pelayan dan pembantu bidadari bermata jeli. Silahkan terus!’

Aku pun meneruskan maju mengikuti perintahnya, aku tiba di sebuah sungai yang mengalir air susu, tidak berubah warna dan rasanya, berada di sebuah taman dengan berbagai perhiasan. Di dalamnya juga terdapat pelayan bidadari cantik dengan mengenakan berbagai perhiasan. Begitu aku melihat mereka aku terpesona. Ketika mereka melihatku mereka memberi kabar gembira dan berkata kepadaku, ‘Demi Allah telah datang suami bidadari bermata jeli.’ Aku bertanya, ‘Assalamualaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, Waalaikassalam wahai waliyullah, kami ini sekedar budak dan pelayan bidadari bermata jeli, silahkan terus.’

Aku pun meneruskan maju, ternyata aku berada di sebuah sungai khamr berada di pinggir lembah, di sana terdapat bidadari-bidadari sangat cantik yang membuat aku lupa dengan kecantikan bidadari-bidadari yang telah aku lewati sebelumnya. Aku berkata, ‘Assalamu alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, kami sekedar pembantu dan pelayan bidadari bermata jeli, silahkan maju ke depan.’

Aku berjalan maju, aku tiba di sebuah sungai yang mengalirkan madu asli di sebuah taman dengan bidadari-bidadari sangat cantik berkilauan wajahnya dan sangat jelita, membuat aku lupa dengan kecantikan para bidadari sebelumnya. Aku bertanya, ‘Assalamu alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, ‘Wahai waliyurrahman, kami ini pembantu dan pelayan bidadari jelita, silahkan maju lagi.’

Aku berjalan maju mengikuti perintahnya, aku tiba di se-buah tenda terbuat dari mutiara yang dilubangi, di depan tenda terdapat seorang bidadari cantik dengan memakai pakaian dan perhiasan yang aku sendiri tidak mampu mengungkapka keindahannya. Begitu bidadari itu melihatku dia memberi kabar gembira kepadaku dan memanggil dari arah tenda, ‘Wahai bidadari bermata jeli, suamimu datang!’

Kemudian aku mendekati kemah tersebut lalu masuk. Aku mendapati bidadari itu duduk di atas ranjang yang terbuat dari emas, bertahta intan dan berlian. Begitu aku melihatnya aku terpesona sementara itu dia menyambutku dengan berkata, ‘Selamat datang waliyurrahman, telah hampir tiba waktu kita bertemu.’ Aku pun maju untuk memeluknya, tiba-tiba ia berkata, ‘Sebentar, belum saatnya engkau memelukku karena dalam tubuhmu masih ada ruh kehidupan. Tenanglah, engkau akan berbuka puasa bersamaku di kediamanku, insya Allah. ‘

Seketika itu aku bangun dari tidurku wahai Abdul Wahid. Kini aku sudah tidak bersabar lagi, ingin bertemu dengan bida-dari bermata jeli itu.”

Abdul Wahid menuturkan, “Belum lagi pembicaraan kami (cerita tentang mimpi) selesai, kami mendengar pasukan musuh telah mulai menyerang kami, maka kami pun bergegas meng-angkat senjata begitu juga lelaki itu.

Setelah peperangan berakhir, kami menghitung jumlah para korban, kami menemukan 9 orang musuh tewas dibunuh oleh lelaki itu, dan ia adalah orang ke sepuluh yang terbunuh. Ketika aku melintas di dekat jenazahnya aku lihat, tubuhnya berlu-muran darah sementara bibirnya tersenyum yang mengantarkan pada akhir hidupnya.”

(SUMBER: 99 KISAH ORANG SHALIH, PENERBIT DARUL HAQ, 021-4701616, seperti dinukil dari kitab, Tanbihul Ghafilin, 395)

Posted 2 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Islami, Kisah-Kisah

Tagged with ,

Mengaku Telah Membunuh   Leave a comment


Ibunda ar-Rabi’ bin Khutsaim berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, mengapa engkau tidak tidur?” Anaknya menjawab, “Wahai Ibu, siapa saja yang melewati malam hari dalam keadaan takut tidur, sungguh wajar baginya bila ia tidak tidur pada malam tersebut.”

Setelah sang ibu melihat anaknya senantiasa begadang dan menangis, ia bertanya kepada anaknya, “Wahai anakku, mungkin engkau telah membunuh seseorang?”
Sang anak menjawab, “Benar, wahai ibuku.”

Kemudian sang ibu bertanya, “Siapakah yang telah kamu bunuh, aku ingin memintakan ampunan kepada keluarganya. Sungguh demi Allah, sekiranya mereka mengetahui bahwa kamu senantiasa bangun malam dan menangis, tentulah mereka akan mengasihimu dan memaafkanmu.”

Sang anak menjawab, “Wahai ibuku, aku telah membunuh diriku sendiri (maksudnya, melakukan kemaksiatan, pent.).”

(SUMBER: 99 KISAH ORANG SHALIH, PENERBIT DARUL HAQ, 021-4701616, seperti dinukil dari kitab, Al-Hilyah, 2/114)

Posted 2 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Islami, Kisah-Kisah

Mengelus Telinga Seeekor Singa   Leave a comment


Sufyan ats-Tsauri berkata, “Pada waktu itu aku pergi haji bersama Syaiban ar-Ra’i. Dan ketika kami sampai di sebuah jalan tiba-tiba kami berpapasan dengan seekor singa. Aku berkata kepada Syaiban, ‘Tidakkah kamu melihat binatang buas ini? Dia telah menghadang kita!’

Syaiban menjawabku, ‘Jangan takut wahai Sufyan!’ Lalu ia memanggil singa itu dan memegang ekornya. Kemudian singa itu menggerak-gerakkan ekornya seperti anjing. Syaiban meme-gang telinga singa tersebut lalu mengelus-elusnya.

Seketika itu aku berkata, ‘Untuk apa kamu pamer semacam ini?’ Ia menjawab, ‘Wahai Sufyan, pamer mana yang kamu pertanyakan? Kalau bukan karena aku benci pamer tentu aku tidak akan membawa bekal perjalananku ini ke Mekkah kecuali di atas punggung singa ini’.”

(SUMBER: 99 KISAH ORANG SHALIH, PENERBIT DARUL HAQ, TELP. (021) 4701616, seperti dinukil dari As-Siyar, 7/268)

Posted 2 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Islami, Kisah-Kisah

Tagged with

Ular Melewati Lengan Baju Saat Sholat   Leave a comment


Terdapat suatu riwayat bahwa Amir bin Abdi Qais senantiasa Qiyamullail dan berpuasa pada siang harinya. Seringkali iblis melintasi tempat ia bersujud menyerupai seekor ular. Jika ia tidak menemukan baunya maka ia singkirkan dengan tangannya lalu berkata, “Kalau bukan karena kebusukanmu pasti aku selalu bersujud.”

Alqamah bin Mursyid berkata, “Aku melihat seekor ular masuk lewat gamis bagian bawahnya ketika beliau shalat lalu keluar melalui lengan bajunya, namun beliau tidak terusik sedikit pun!”

Ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Mengapa tidak engkau singkirkan ular itu?”

Amir menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar malu di hadapan Allah sekiranya aku takut kepada selain Allah. Dan demi Allah, aku tidak melihat ular itu ketika ia masuk maupun keluar.”

Seseorang berkomentar, “Surga itu dapat dicapai tanpa harus dengan cara yang kau lakukan!”

Amir menjawab, “Aku tidak akan melepaskan kebiasaanku agar aku tidak mencela diriku.”

Seseorang berkata bahwa suatu saat beliau sakit, kemudian menangis.
Ada yang bertanya, “Apa yang membuat kamu menangis, padahal kamu sudah seperti itu (ahli ibadah)?”

Amir menjawab, “Siapakah yang lebih berhak menangis selain aku? Padahal aku tahu perjalananku masih sangat jauh sementara bekal yang aku bawa sangat sedikit? Aku berada dalam perjalanan yang penuh pendakian dan jalan menurun, apakah perjalananku ini menuju Surga atau Neraka, sama sekali aku tidak tahu ke manakah tempat kembaliku kelak.”

(SUMBER: 99 KISAH ORANG SHALIH, PENERBIT DARUL HAQ, TELP (021) 4701616, seperti yang dinukilnya dari Al-Hilyah, 2/ 88)

Posted 2 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Islami, Kisah-Kisah

Tagged with ,

Air Mata Yang Tak Pernah Kering   Leave a comment


Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, dia berkata, “Aku bertanya kepada Yazid bin Mursyid, ‘Mengapa aku tidak pernah melihat air matamu kering dari kedua matamu? Mengapa kamu selalu menangis?’

Dia balik bertanya, ‘Mengapa pula kamu bertanya seperti itu?’
Aku jawab, ‘Semoga Allah memberi manfaat kepadaku dengan pertanyaan itu.’

Dia berkata, ‘Demikianlah, sebagaimana kamu lihat sendiri!’
Aku bertanya, ‘Apakah kamu menangis juga saat kamu sendiri?’

Dia menjawab, ‘Demi Allah seperti itulah yang aku alami. Seringkali makanan telah terhidang dihadapanku, tiba-tiba saya tidak berselera. Bahkan, air mataku pun mengalir pada saat aku mendekati isteriku, yang membuat aku menjauhinya. Sampai-sampai pernah isteriku menangis, terlebih lagi anak-anakku. Hanya saja mereka tidak mengetahui, apa yang menyebabkan kami semua menangis. Bahkan suatu ketika isteriku berkata, Celaka kamu, apa-apaan ini? Penderitaan macam apa yang akan engkau timpakan padaku sebagai seorang wanita muslimah? Percuma hidup bersama kamu! Selama ini, aku tidak pernah bahagia sebagaimana yang dirasakan wanita-wanita yang ber-suami!’

Aku bertanya, ‘Sebenarnya, apa yang kamu inginkan?’
Dia menjawab, ‘Ketahuilah saudaraku, Demi Allah, selama ini Allah q tidak pernah berjanji kepadaku, bahwa sekiranya aku berbuat maksiat kepadaNya maka tidak ada pilihan selain aku dikunci di dalam kamar mandi yang tentu membuatku menangis tersedu-sedu. Bagaimanakah pula menurut pendapat-mu, jika Allah menjanjikan bahwa aku akan dipenjarakan di dalam api Neraka? Tidak sekedar disekap di dalam kamar mandi.”

(SUMBER: 99 Kisah Orang Shaleh, karya Muhammad bin Hamid bin Abdul Wahab sebagai yang dinukilnya dari Al-Muntazham, 6/292)

Posted 2 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Islami, Kisah-Kisah

Tagged with

Lelaki Anshor dan 3 Anak Panah   Leave a comment


Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, dia ber-kata, “Dalam suatu peperangan kami keluar bersama Rasulullah SAW menuju salah satu daerah orang musyrik, kami berhasil menawan isteri salah seorang di antara mereka, lalu Rasulullah SAW kembali.

Tidak lama kemudian suami perempuan tersebut datang, kemudian diceritakan kepadanya apa yang terjadi. Suaminya bersumpah, bahwa ia tidak akan pulang ke rumah sehingga dapat melukai para sahabat Nabi.

Ketika Rasulullah sedang dalam sebuah perjalanan, beliau berhenti di suatu perkampungan lalu bertanya, ‘Siapakah dua orang di antara kalian yang bersedia nanti malam menjaga kami dari serangan musuh?’ Seorang lelaki dari Kaum Muhajirin dan seorang lelaki dari Anshar menjawab, ‘Kami berdua akan men-jaga engkau wahai Rasulullah.’

Dua orang lelaki tersebut berangkat menuju mulut gang perkampungan tanpa disertai seorang pengawal pun.

Laki-laki Anshar bertanya kepada lelaki Muhajirin, ‘Kamu dulu yang akan berjaga lalu aku ataukah aku dulu baru kamu?’

Lelaki Muhajirin menjawab, ‘Kamu dulu saja aku bela-kangan.’
Lalu Lelaki Muhajirin tidur, sedang lelaki Anshar mulai berdiri untuk Qiyamullail, ia membaca ayat-ayat al-Qur’an.

Di tengah-tengah membaca ayat al-Qur’an di dalam Qiyamullail itu, suami perempuan musyrik tersebut datang. Ketika ia melihat ada seorang lelaki yang sedang berdiri (tidak tidur) ia menyangka pasti dia pemimpin mereka. Lalu dengan cepat ia mengambil panah dan melepaskannya ke arah lelaki yang sedang shalat hingga mengenainya. Lelaki Anshar itu mencabut anak panah yang menancap di tubuhnya dalam keadaan berdiri dan tidak bergeser sedikit pun, karena tidak ingin memutus bacaan al-Qur’annya.

Lalu suami perempuan musyrik itu mengambil satu panah lagi dan dibidikkannya ke arah lelaki Anshar, tetapi ia kembali mencabutnya tanpa memutuskan shalatnya dan bacaan al-Qur’annya. Suami perempuan musyrik itu mengulangi melepas panah ke arah lelaki yang berdiri sedang Qiyamullail untuk ketiga kalinya. Ia kembali mencabut anak panah, meletakkannya dan melanjutkan dengan ruku’ dan sujud. Seusai shalat, lelaki Anshar membangunkan lelaki Muhajirin yang sedang tidur sambil berkata, ‘Bangun!, sekarang tiba giliranmu.’ Kemudian lelaki Muhajirin bangun dan duduk.

Ketika suami perempuan musyrik melihat ada dua orang berjaga, yang satu menolong kawannya ia mengetahui bahwa nadzarnya telah terpenuhi.

Ternyata dari tubuh lelaki Anshar itu mengalir darah karena terkena panah suami perempuan musyrik tadi.

Lelaki Muhajirin berkata kepada kawannya, ‘Semoga Allah SWT mengampuni dosamu, mengapa kamu tidak memberi tahu aku pada saat panah pertama mengenai tubuhmu?’

Lelaki Anshar menjawab, ‘Ketika itu aku tengah membaca salah satu surat al-Qur’an dalam Qiyamullail-ku, aku enggan menghentikan bacaanku. Dan Demi Allah, sekiranya aku bergeser, berusaha meninggalkan benteng pertahanan yang Rasulullah memerintahkan agar dijaga pastilah aku binasa sebelum aku menghentikan bacaan al-Qur’anku tadi’.”

(SUMBER: 99 KISAH ORANG SHALIH, seperti yang dinukil dari Shifatush Shafwah 1/773)

Posted 2 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Islami, Kisah-Kisah

Tagged with , , ,

Air Mata Orang Shalih   Leave a comment


Dari Sufyan ats-Tsauri RAH bahwa ia berkata, “Aku menemui Ja’far ash-Shadiq RAH lalu aku katakan kepadanya, ‘Wahai putra Rasulullah, berwasiatlah kepadaku!’ Beliau berkata, ‘Wahai Sufyan, orang yang banyak dusta tidak punya harga diri, orang yang banyak dengki tidak memiliki ketentraman, orang yang suka bosan tidak punya saudara, dan orang yang buruk akhlak-nya tidak punya penolong.’ Aku berkata, ‘Wahai putra Rasulul-lah, tambahkan kepadaku.’ Beliau berkata, ‘Wahai Sufyan, jauhilah hal-hal yang diharamkan Allah, maka kamu menjadi seorang ‘abid (ahli ibadah). Ridhalah dengan apa yang Allah bagikan kepadamu, maka kamu menjadi seorang muslim (yang sejati). Pergaulilah manusia dengan apa yang kamu suka bila mereka memperlakukanmu, maka kamu menjadi seorang mukmin (yang sejati), dan jangan bergaul dengan orang yang suka berbuat dosa sehingga ia mengajarkan perbuatan dosanya ke-padamu. Seseorang itu tergantung agama kekasihnya. Oleh karena itu hendaklah salah seorang dari kalian memperhatikan, dengan siapakah ia bergaul. Dan mintalah saran dalam urusan-mu kepada orang-orang yang takut kepada Allah.’ Aku berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, tambahkan kepadaku!’ Beliau berkata, ‘Wahai Sufyan, barangsiapa yang ingin hidup mulia dengan tanpa sanak kerabat, dan kewibawaan tanpa kekuasaan, maka hendaklah ia keluar dari kehinaan kemaksiatan menuju kemulia-an ketaatan.’ Aku katakan, ‘Wahai putra Rasulullah, tambahkan kepadaku!’ Beliau berkata, ‘Ayah mendidikku dengan tiga perkara, beliau berkata kepadaku, ‘Wahai putraku, barang-siapa yang berteman dengan teman yang buruk maka ia tidak akan selamat, barangsiapa yang memasuki gerbang keburuk-an maka ia akan dituduh (telah melakukan keburukan) dan barangsiapa yang tidak bisa menahan lisannya maka ia akan menyesal’.”

Zainal Abidin bin Ali bin al-Husain RAH jika berwudhu dan selesai dari wudhunya, maka ia ketakutan. Ketika dia ditanya mengenai hal itu, maka dia menjawab, “Kasihan kalian, tahukah kalian kepada siapa aku akan berdiri dan kepada siapa aku hendak bermunajat?”

Al-Mughirah 5 berkata, “Aku keluar pada suatu malam setelah manusia sudah tidur pulas. Ketika aku melewati Malik bin Anas RA, ternyata aku berdiri bersamanya untuk melaksa-nakan shalat. Ketika selesai dari membaca al-Fatihah, ia mulai membaca,
‘Bermegah-megahan telah melalaikan kamu’ (At-Takatsur: 1)

hingga sampai ayat,
‘Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenik-matan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu),’ (At-Taka-tsur: 8)

Maka ia menangis dalam waktu yang lama. Ia terus membacanya berulang-ulang dan menangis. Apa yang aku dengar dan aku lihat darinya telah melupakanku dari keperluanku yang karena-nya aku keluar. Aku masih tetap berdiri, sedangkan dia terus membacanya berulang-ulang sambil menangis hingga terbit fajar. Ketika ia mengetahui sudah fajar, maka ia rukuk. Kemudian aku pulang ke rumah, lalu berwudhu, lalu berangkat kembali ke masjid. Ternyata ia sedang berada di majelisnya dan orang-orang berada di sekitarnya. Pada pagi harinya, aku memandangnya. Ternyata aku melihat wajahnya telah diliputi cahaya dan ke-indahan.”

Al-Hafizh Ibnu Asakir meriwayatkan bahwa asy-Syafi’i suatu hari membaca firmanNya,
“Ini adalah hari keputusan; (pada hari ini) Kami mengumpulkan kamu dan orang-orang yang terdahulu. Jika kamu mempunyai tipu daya, maka lakukanlah tipu dayamu itu terhadapKu. Kece-lakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang men-dustakan.” (Al-Mursalat: 38-40).

Maka ia terus menangis sampai pingsan; Semoga Allah merahmatinya.*
Umar bin Abdil Aziz RA berkata kepada seorang ulama, “Berilah nasihat kepadaku!” Ulama itu berkata, “Bertakwalah ke-pada Allah karena engkau akan mati.” Umar berkata, “Tambah-kan kepadaku!” Ia berkata, “Tidak ada seorang pun dari nenek moyangmu hingga Adam melainkan telah merasakan kematian. Dan kini tiba giliranmu.” Umar pun menangis karenanya.

Umar bin Abdil Aziz RA biasa mengumpulkan para ulama dan fuqaha’ pada setiap malam untuk saling mengingatkan kematian dan Kiamat. Kemudian mereka menangis seolah-olah ada jenazah di tengah-tengah mereka.

Mu’adzah al-Adawiyyah RA** jika tiba siang hari, ia berkata, “Ini adalah hari di mana aku akan mati.” Lalu ia tidak tidur hingga sore hari. Ketika tiba malam hari, ia berkata, “Ini adalah malam di mana aku akan mati.” Lalu ia tidak tidur kecuali se-bentar. Ia shalat dan menangis hingga pagi. Ia pernah berkata, “Sungguh mengherankan bagi mata yang selalu tidur, padahal ia telah mengetahui akan adanya tidur panjang di dalam kubur yang gelap.”

Hammad bin Salamah berkata, “Tsabit membaca,
‘Apakah kamu kafir kepada (Rabb) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna,’ (Al-Kahfi: 37)
pada shalat malam sambil menangis dan mengulang-ulangnya.”***

Tsabit al-Bunani RA**** berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang aku jumpai dalam hatiku yang lebih lezat daripada qiyamul lail. Seandainya kaum yang celaka mencobanya, niscaya mereka me-ngetahui rahasia kebahagiaan yang sebenarnya.”

Hammad bin Zaid berkata tentang Tsabit al-Bunani, “Aku melihat Tsabit menangis hingga tulang-tulang rusuknya ber-selisih.” Raghib al-Qathan menuturkan dari Bakr al-Muzani, “Barangsiapa yang ingin melihat orang yang paling gemar ber-ibadah di zamannya, maka lihatlah Tsabit al-Bunani.”

Qatadah berkata, ” Menjelang kematiannya,Amir bin Qais RA menangis. Ditanyakan kepadanya, ‘Apakah yang membuat-mu menangis?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak menangis karena ber-sedih terhadap kematian dan tidak pula karena menginginkan harta duniawi. Tetapi aku menangisi kehausan di tengah hari (yakni puasa) dan qiyamul lail.”*****
Ibunya berkata kepadanya pada suatu hari, “Orang-orang sedang tidur, mengapa kamu tidak tidur?” Ia menjawab, “Neraka Jahanam tidak membiarkanku tidur.”

Tsabit al-Bunani RA berkata, “Kami pernah menyaksikan beberapa jenazah, maka kami tidak menyaksikan mereka kecuali dalam keadaan menangis. Demikianlah rasa takut mereka kepada Allah SWT.”

Ketika saudara Malik bin Dinar meninggal, Malik keluar mengikuti jenazahnya dengan menangis seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak terhibur hingga aku tahu ke mana engkau kem-bali, dan aku tidak tahu selagi aku masih hidup.”

Seorang shalih berkata, “Aku berjalan bersama Sufyan ats-Tsauri , tiba-tiba seorang pengemis datang kepadanya, sedangkan dia tidak memiliki sesuatu untuk diberikan, maka Sufyan me-nangis. Aku bertanya, ‘Apakah yang membuatmu menangis?’ Dia menjawab, ‘Suatu musibah bila seseorang mengharapkan ke-baikan darimu tapi ia tidak mendapatkannya’.”

CATATAN KAKI:

* Ibnu al-Atsir, Manaqib asy-Syafi’i, hal. 108
** Mu’adzah binti Abdillah al-Adawiyyah, adalah seorang wanita ahli ibadah sekaligus seorang ulama wanita dari Bashrah, dinilai tsiqah (dapat dipercaya) oleh Yahya bin Ma’in. Meninggal pada tahun 83 H. Lihat, Siyar A’lam an-Nubala’, 4/ 508
*** Siyar A’lam an-Nubala’, 5/ 224
**** Tsabit al-Bunani adalah seorang imam panutan, tabi’in, tsiqah, abid dan zahid, meninggal pada tahun 127 H. Lihat, Siyar A’lam an-Nubala’, 5/ 220
***** Lihat, Siyar A’lam an-Nubala’, 4/ 19

Posted 2 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Islami, Kisah-Kisah

Tagged with ,

Orang Yang Paling Beruntung   Leave a comment


Abdurrahman bin Auf y berkata, “Ketika aku berada di tengah-tengah barisan dalam peperangan Badar, aku menoleh ke kanan dan kiriku, ternyata aku berada di antara dua orang pemuda Anshar, keduanya masih sangat muda.

Aku menghayal sekiranya aku masih seperti keduanya yang tegap itu. Tiba-tiba salah satu dari keduanya membisikkan kepadaku, ‘Wahai pamanku, apakah engkau berkenan memberi-tahu kami orang yang bernama Abu Jahal?’
Aku menjawab, ‘Ya, Apa urusanmu dengannya wahai anak saudaraku?’

Dia menjawab, ‘Ada yang memberitahuku bahwa dia meng-hina Rasulullah. Demi jiwaku yang berada di genggaman yang Kuasa, sekiranya aku dapat bertemu dengannya maka aku akan terus menghajarnya sehingga kita tahu siapa yang lebih dulu mati di antara kita.’

Teman satunya juga membisikkan kepadaku sebagaimana yang dibisikkan kawannya.

Tidak berapa lama aku melihat Abu Jahal berada di tengah-tengah kerumunan orang. Aku berkata, ‘Coba kalian lihat, itulah orang yang kalian berdua tanyakan kepadaku !!’

Kedua pemuda ini langsung mengambil pedang dan mele-paskannya ke arah Abu jahal, sehingga kedua pemuda itu berhasil membunuhnya.

Lalu keduanya mendatangi Rasulullah dan menceritakan apa yang mereka lakukan. Rasulullah bertanya, ‘Siapa di antara kalian yang berhasil membunuhnya?’

Masing-masing menjawab, ‘Saya yang membunuh!’ Rasulullah bertanya, ‘Apakah pedang kalian sudah kalian bersihkan?’ Mereka menjawab, ‘Belum.’ Kemudian Rasulullah mem-perhatikan pedang kedua pemuda tersebut lalu bersabda, ‘Kalian berdua telah membunuh Abu Jahal.’ Selanjutnya beliau memu-tuskan harta rampasannya diberikan kepada Mu’adz bin Amr bin Jamuh.”(HR.al-Bukhari, 4/112, Fathul Bari)

(SUMBER: 99 KISAH ORANG SHALEH. PENERBIT DARUL HAQ, TELP (021) 4701616)

Posted 2 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Islami, Kisah-Kisah

Tagged with

Tangisan Seorang Pencuri Yang Bertaubat   Leave a comment


Seorang sahaya wanita Malik bin Hisyam bin Hassan menuturkan, “Atha’ al-Azraq keluar menuju Jabban (tempat kosong) untuk mengerjakan shalat malam. Tiba-tiba pencuri mengha-dangnya, maka Atha’ berkata, ‘Ya Allah, selamatkanlah aku darinya.’ Kedua tangan dan kaki pencuri pun seolah menjadi beku, lalu ia menangis dan berteriak, ‘Demi Allah, aku tidak akan mengulanginya lagi selamanya.’ Kemudian Atha’ berdoa kepada Allah untuk melepaskannya. Setelah itu pencuri tersebut mengikutinya, lalu bertanya kepadanya, ‘Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, siapakah engkau?’ Ia menjawab, ‘Aku Atha’.’ Pagi harinya, ia bertanya, ‘Apakah kalian mengenal se-orang shalih yang keluar tadi malam ke tanah lapang untuk shalat di sana?’ Mereka menjawab, ‘Ya, Atha’ as-Sulami.’ Ia lalu pergi kepada Atha’ as-Sulami, di rumah yang sudah rusak, untuk menemuinya. Ia berkata, ‘Aku datang kepadamu untuk bertau-bat dari perbuatanku demikian dan demikian, maka berdoa-lah kepada Allah untukku.’ Atha’ as-Sulami mengangkat kedua tangannya ke langit sambil menangis seraya berkata, ‘Kasihan kamu! Bukan aku yang kau maksud. Itu adalah Atha’ al-Azraq’.”

Jabban yang dimaksud bukanlah pekuburan, tetapi tempat kosong yang tidak baik dan tidak ada kehidupan di sana, karena shalat di pekuburan tidak boleh.

Posted 2 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Islami, Kisah-Kisah

Tagged with ,

Masuk Surga Dengan Merangkak   Leave a comment


Pada suatu hari, saat kota Madinah sunyi senyap, debu yang sangat tebal mulai mendekat dari berbagai penjuru kota hingga nyaris menutupi ufuk. Debu kekuning-kuningan itu mulai mendekati pintu-pintu kota Madinah. Orang-orang menyangka itu badai, tetapi setelah itu mereka tahu bahwa itu adalah kafilah dagang yang sangat besar. Jumlahnya 700 unta penuh muatan yang memadati jalanan Madinah. Orang-orang segera keluar untuk melihat pemandangan yang menakjubkan itu, dan mereka bergembira dengan apa yang dibawa oleh kafilah itu berupa kebaikan dan rizki. Ketika Ummul Mukminin Aisyah RHA mendengar suara gaduh kafilah, maka dia bertanya, “Apa yang sedang terjadi di Madinah?” Ada yang menjawab, “Ini kafilah milik Abdurrahman bin Auf RA yang baru datang dari Syam membawa barang dagangan miliknya.” Aisyah bertanya, “Kafilah membuat kegaduhan seperti ini?” Mereka menjawab, “Ya, wahai Ummul Mukminin, kafilah ini berjumlah 700 unta.” Ummul Mukminin menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku bermimpi melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak’.” (al-Kanz, no. 33500)

Renungkanlah, wahai orang-orang yang punya akal pikiran; Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak!

Sebagian sahabatnya menyampaikan berita ini kepadanya. Ia teringat bahwa ia pernah mendengar hadits ini dari Nabi SAW lebih dari sekali, dan dengan lafazh yang berbeda-beda. Ia pun melangkahkan kakinya menuju rumah Ummul Mukminin Aisyah RHA dan berkata kepadanya, “Sungguh engkau telah menyebutkan suatu hadits yang tidak akan pernah aku lupa-kan.”

Kemudian ia berkata, “Aku bersaksi bahwa kafilah ini berikut muatan dan pelananya, aku infakkan di jalan Allah SWT.”

Muatan 700 unta itu pun dibagi-bagikan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya dalam “pesta besar”. Itulah Abdurrahman bin Auf, seorang pedagang sukses, orang kaya raya, mukmin yang mahir… yang menolak bila kekayaannya itu menjauhkannya dari kafilah iman dan pahala surga. Bagaimana tidak? Sedangkan ia adalah salah seorang dari delapan orang yang telah lebih dahulu masuk Islam, dan termasuk salah seorang yang diberi kabar gembira dengan surga.

Ia adalah salah seorang dari enam anggota musyawarah yang ditunjuk oleh al-Faruq Umar RA untuk memilih khalifah di antara mereka sepeninggalnya seraya berkata, “Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepada mereka.”

Ia berhijrah ke Habasyah, kemudian kembali ke Makkah. Kemudian berhijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya. Kemudian berhijrah ke Madinah, dan mengikuti perang Badar, Uhud dan semua peperangan.

Ketika Rasulullah SAW mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, beliau mempersaudarakan antara Abdurrahman bin Auf dengan Sa’d bin ar-Rabi’ RA. Mengenai hal itu, Anas bin Malik RA menuturkan, “Sa’d berkata kepada Abdurrahman, ‘Wahai saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang paling banyak hartanya, lihatlah separuh hartaku lalu ambillah. Aku punya dua istri, lihatlah mana di antara keduanya yang paling engkau kagumi, maka aku akan menceraikannya untuk engkau nikahi.’ Abdurrahman bin Auf menjawab, ‘Semoga Allah memberkahimu berkenaan dengan keluargamu dan hartamu… Tunjukkanlah padaku letak pasar.’ Lalu ia pergi ke pasar, lalu membeli dan menjual serta mendapatkan keuntungan.”

Perdagangannya sukses lagi diberkahi, dia mencari yang halal dan menjauhi yang haram serta syubhat. Dalam perdagangannya terdapat bagian yang sempurna untuk Allah, yang disampaikan untuk keluarga dan saudara-saudaranya, serta untuk menyiapkan pasukan kaum muslimin.

Ia pernah mendengar Rasulullah a bersabda kepadanya pada suatu hari,

يَا ابْنَ عَوْفٍ، إِنَّكَ مِنَ اْلأَغْنِيَاءِ، وَإِنَّكَ سَتَدْخُلُ الْجَنَّةَ حَبْوًا، فَأَقْرِضِ اللهَ يُطْلِقْ لَكَ قَدَمَيْكَ

“Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya kamu termasuk kaum yang kaya raya, dan kamu akan masuk surga dengan merangkak. Oleh karena itu, pinjamkanlah suatu pinjaman kepada Allah sehingga Allah membebaskan kedua telapak kakimu.” (HR. al-Hakim, 3/ 311 dan al-Hilyah, 1/ 99)

Sejak saat itu, ia memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, sehingga Allah melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Suatu hari ia menjual tanah seharga 40.000 dinar, kemudian membagikan semuanya untuk keluarganya yaitu Bani Zahrah, untuk Ummahatul Mukminin, dan kaum fakir dari kalangan kaum muslimin. Suatu hari ia memberikan untuk pasukan kaum muslimin se-banyak 500 kuda. Pada hari yang lain, ia memberikan sebanyak 1500 unta. Ketika meninggal, ia mewasiatkan sebanyak 50.000 dinar di jalan Allah. Ia mewasiatkan untuk masing-masing orang yang masih hidup dari peserta perang Badar mendapat-kan 400 dinar di jalan Allah. Sampai-sampai Imam Syahid Utsman bin Affan RA mengambil bagiannya dari wasiat tersebut seraya berkata, “Harta Abdurrahman adalah halal dan bersih, dan menikmati harta tersebut menjadi kesembuhan dan keberkahan.”

Karena itu dia berkata, “Penduduk Madinah semuanya adalah sekutu Ibnu Auf berkenaan dengan hartanya… karena sepertiganya ia pinjamkan kepada mereka, sepertiganya untuk membayarkan hutang mereka, dan sepertiganya lagi ia sampai-kan dan berikan kepada mereka.”

Sekarang… mari kita lihat air mata orang shalih ini yang menjadikannya sebagai golongan orang-orang yang shalih, zuhud, dan jauh dari dunia berikut segala isinya.

Suatu hari ia dibawakan makanan untuk berbuka, karena ia berpuasa. Ketika kedua matanya melihat makanan itu dan mengundang seleranya, ia menangis seraya berkata, “Mush’ab bin Umair gugur syahid dan ia lebih baik daripada aku, lalu ia dikafani dengan selimut. Jika kepalanya ditutupi, maka kedua kakinya kelihatan dan jika kedua kakinya ditutupi, maka kepalanya kelihatan. Hamzah gugur sebagai syahid dan ia lebih baik daripada aku. Ia tidak mendapatkan kain untuk mengkafaninya selain selimut. Kemudian dunia dibentangkan kepada kami, dan dunia diberikan kepada kami sedemikian rupa. Aku khawatir bila pahala kami telah disegerakan kepada kami di dunia.”

Pada suatu hari sebagian sahabatnya berkumpul untuk me-nyantap makanan di kediamannya. Ketika makanan dihidangkan di hadapan mereka, maka ia menangis. Mereka bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai Abu Muhammad?” Ia menjawab, “Rasulullah SAW telah meninggal dalam keadaan beliau berikut ahli baitnya belum pernah kenyang makan roti gandum… Aku tidak melihat kita diakhirkan, karena suatu yang lebih baik bagi kita.”

Demikianlah Abdurrahman bin Auf, sampai-sampai dikatakan tentang dia, seandainya orang asing yang tidak mengenalnya melihatnya sedang duduk bersama para pelayannya, maka ia tidak bisa membedakan di antara mereka.

Ketika al-Faruq Umar bin al-Khaththab RA akan melepas nyawanya yang suci, dan memilih enam orang dari sahabat Rasulullah SAW untuk memilih khalifah baru, di antara mereka ialah Abdurrahman bin Auf, maka pada saat itu banyak jari yang menunjuk ke arah Ibnu Auf. Ketika sebagian sahabat mendu-kungnya berkenaan dengan hal itu, maka ia berkata, “Demi Allah, mata anak panah diambil lalu diletakkan di kerongkonganku, kemudian diteruskan ke sisi lainnya, lebih aku sukai daripada menjadi khalifah.”

Setelah itu, ia memberitahukan kepada kelima saudaranya bahwa dirinya mundur dari pencalonan. Tetapi mereka ber-pendapat agar dialah yang menjadi hakim dalam memilih khalifah. Dialah orang yang dinilai oleh Imam Ali bin Abi Thalib RA, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW menyifatimu sebagai orang kepercayaan di penduduk langit dan orang keper-cayaan di penduduk bumi.”

Di sinilah terjadi pemilihan yang benar. Ia memilih Dzun Nurain, seorang yang dermawan dan pemalu, penggali sumur untuk kaum muslimin, orang yang menyiapkan pasukan penak-lukan Makkah, Imam Syahid Utsman bin Affan RA. Akhirnya, yang lainnya mengikuti pilihannya.

Pada tahun 32 H., Ibnu Auf menghembuskan nafas terakhirnya. Ummul mukminin Aisyah RHA ingin memberikan penghar-gaan khusus kepadanya yang tidak pernah diberikannya kepada selainnya. Aisyah menawarkan kepadanya, pada saat Ibnu Auf berbaring di atas ranjang kematiannya, untuk dikuburkan di kamarnya di sisi Rasul SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab RA. Tetapi ia seorang muslim yang terdidik dengan sangat baik oleh keislamannya, sehingga ia merasa malu mengangkat dirinya kepada derajat seperti ini. Apalagi ia punya perjanjian yang sangat kuat bersama Utsman bin Mazh’un RA, ketika keduanya mengadakan perjanjian pada suatu hari, bahwa siapa di antara keduanya yang mati belakangan, maka ia diku-burkan di dekat sahabatnya.

Ketika ruhnya siap untuk melakukan perjalanan baru, maka kedua matanya mengalirkan air mata, dan lisannya berucap, “Sesungguhnya aku takut tertahan untuk berjumpa sahabat-sahabatku karena banyaknya harta yang aku miliki.”

Tetapi Allah SWT menurunkan ketentramanNya, dan wajahnya berbinar-binar dengan cahaya. Seolah-olah ia mendengar sesuatu yang menyejukkan yang dekat dengannya. Sepertinya ia mendengar suara sabda Rasul SAW di masa lalu, “Abdurrahman bin Auf masuk surga.”

Sepertinya ia mendengar janji Allah dalam Kitab SuciNya, “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemu-dian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 262).

CATATAN KAKI:

* Abdurrahman bin Auf az-Zuhri al-Qurasyi, salah seorang dari sepuluh orang yang diberi kabar gembira dengan surga, salah seorang yang lebih dulu masuk Islam. Meninggal pada tahun 32 H. Lihat, al-A’lam, 3/ 321.

Posted 2 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Islami, Kisah-Kisah

Tagged with