Archive for 22 Oktober 2010

Hiduplah Dengan Penuh Senyuman   Leave a comment


Setelah Rasulullah memperoleh wahyu yang pertama di Gua Hira, beliau pulang dengan diliputi rasa cemas dan takut yang luar biasa, sehingga sekujur tubuhnya gemetar. “Selimutilah aku, selimutilah aku,” ujar beliau kepada istrinya. Khadijah pun menyelimutinya sampai rasa cemasnya hilang. Lantas beliau berkata, “Wahai Khadijah, apa yang telah terjadi padaku?” Kemudian, beliau menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada Khadijah. “Aku sungguh takut terhadap diriku ini.”

 

 

Khadijah pun menimpali, “Jangan takut! Bergembiralah! Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu untuk selamanya, karena engkau benar-benar menyambung tali silaturahim, berkata benar, gemar memikul beban kesulitan orang lain, menyediakan yang belum ada, menjamu tamu, dan membela pihak-pihak yang benar.”

 

Narasi yang dinukil dari hadis riwayat Muslim ini, mengajarkan kepada kita perihal pentingnya tabsyir atau menyusupkan kegembiraan pada orang lain. Seperti roda, kehidupan manusia tak selalu berjalan mulus; ada pasang-surut. Ada saat takut, cemas, khawatir, dan ada pula senang, suka, dan gembira. Untuk suasana yang tidak menyenangkan, dibutuhkan sugesti atau berita gembira untuk bisa memulihkan diri.

 

Banyak orang yang frustrasi dan patah hati. Namun, saat mendengar sepatah kata dari seseorang yang menerbitkan optimisme, jati dirinya kembali pulih dan semangatnya pun berkobar lagi. Dalam sejumlah biografi orang besar, mereka juga sering mengalami masa-masa yang kelam. Namun, ketika berjumpa dengan seorang tokoh yang piawai meniupkan keriangan padanya, atas izin Allah, mereka kembali ke jalan yang lurus.

 

Memang, kegembiraan yang sejati itu muncul dari dalam diri manusia sendiri. Dan bagi seorang Muslim, tak ada alasan baginya untuk bersedih, segetir apa pun kehidupannya. Karena, dengan keislamannya itu, sesungguhnya ia sudah meraih nikmat yang teramat besar. Namun, ketika kesadaran dari dalam itu tidak muncul, maka perlu support dari luar.

 

Pentingnya menyusupkan kegembiran pada sesama bukan hanya dicontohkan oleh Rasulullah dalam interaksi sosialnya dengan para sahabat, namun Allah juga dalam banyak ayat-Nya kerap kali memberikan kabar gembira kepada hamba-Nya (lihat QS [2]: 25, QS [9]: 111, QS [41]: 30, dan lainnya).

 

Dalam hidupnya, Rasulullah tak hanya memperoleh suntikan kegembiraan-seperti tersimbul dalam cerita di atas-tapi Nabi SAW juga kerap menyelinapkan keriangan kepada para sahabatnya dan kaum Muslimin.

 

Misalnya, kepada orang yang rajin datang ke masjid di malam yang sunyi, Rasulullah bersabda, “Bahagiakanlah orang-orang yang pergi ke masjid di kegelapan malam dengan cahaya paripurna pada hari kiamat.” (HR Baihaqi).

 

Ketika seseorang diterpa musibah, kesulitan, atau penyakit, ia tentu membutuhkan orang-orang yang bisa menyingkap kegetirannya dengan sesuatu yang menerbitkan kesenangan dan semangat baru. “Tidaklah seorang Mukmin ditimpa cobaan berupa sakit biasa, kesusahan, sakit berat, kesedihan dan kecemasan, melainkan Allah menghapus dosa-dosanya karenanya.” (HR Muslim)

 

[Makmun Nawawi]

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Buletin

Tagged with , , ,

Ahmadiyah Merupakan Aliran Sesat   Leave a comment


Kaum Muslimin rahimakumullah, Baru-baru ini komunitas Ahmadiyah Kuningan kembali berulah. Ratusan komunitas Ahmadiyah di desa Manis Lor, kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan menghalangi Satpol PP yang menjalankan perintah Bupati Kuningan, Aang Suganda, untuk memasang kembali segel penutupan tempat-tempat Ahmadiyah. Jadi kejadiannya bukan Satpol PP menyegel lokasi Ahmadiyah, atau apalagi masyarakat dan pormas-ormas Islam yang menyegel Ahmadiyah, sebagaimana banyak diberitakan media massa. Tapi Pemda Kuningan telah memutuskan untuk memasang kembali segel yang dicopoti oleh komunitas Ahmadiyah itu beberapa waktu lalu.

Menurut laporan dari lapangan, disinyalir ada provokasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab bahwa UU No 1/PNPS/1965 yang menjadi dasar penyegelan itu akan dicabut pada saat ramai-ramai sidang uji materiil UU tentang penodaan dan penyalahgunaan agama itu di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. Oleh karena itu, segel dibuka dan kegiatan Ahmadiyah marak kembali.

Inilah yang meresahkan masyarakat dan para ulama Kuningan. Apalagi Ahmadiyah anarkis dalam melawan penyegelan kembali itu. Untuk itu para ulama dan masyarakat Kuningan mengadakan istighotsah bersama untuk mendukung Bupati dan Satpol PP dalam mengambil tindakan penyegelan kembali terhadap tempat-tempat aktivitas Ahmadiyah yang telah marak kembali beberapa bulan lalu saat di Jakarta diadakan sidang gugatan atas UU tersebut.

Kaum muslimin rahimakumullah.

Kenapa komunitas Ahmadiyah Kuningan berani berulah melawan Bupati dan Satpol PP Kabupaten Kuningan? Pertama, mereka di situ merasa banyak jumlahnya. Dari sekitar 4000 lebih penduduk desa Manis Lor, sekitar 70 persen adalah penganut aliran sesat Ahmadiyah. Sehingga kerap terjadi bentrok massa umat Islam dengan penganut aliran sesat Ahmadiyah. Kedua, mereka yakin secara opini akan menang bila bentrok melawan Satpol PP. Sebab, dengan adanya bentrok pada kasus Makam Mbah Priok beberapa waktu lalu, image Satpol PP di tengah-tengah masyarakat kurang bagus. Ketiga, mereka yakin akan didukung oleh kalangan kaum liberal (AKKBB) yang selama ini memang selalu membela aliran sesat Ahmadiyah, juga dukungan dari luar negeri, serta dukungan dari media massa sekuler yang umumnya menganut paham liberal.

Ini bisa ita lihat bahwa media massa tidak mem-blow up tindakan anarkis oleh kelompok Aliran sesat Ahmadiyah di Manis Lor terhadap Satpol PP Kabupaten Kuningan. Mereka justru mengekspos habis tindakan dorong-dorongan antara massa masyarakat Kuningan dan ormas Islam dengan polisi pada hari berikutnya yang berdatangan ke lokasi setelah masyarakat mendengar kejadian anarkisme kelompok aliran Sesat Ahmadiiyah. Andaikan ormas Islam yang agressif melakukan tindakan penyegelan dan perusakan lokasi aliran sesat Ahmadiyah, pasti media massa sudah membombardir ormas Islam dengan serangan-serangan opini pembubaran dan gambar-gambar anarkis yang diulang-ulang sebagaimana selama ini yang mereka lancarkan terhadap FPI.

Kaum muslimin rahimakumullah, Dalam kejadian perlawanan komunitas aliran sesat Ahmadiyah di Kuningan baru-baru ini dapat disimpulkan bahwa, yang pertama, kelompok Aliran Sesat Ahmadiyah telah melakukan pelanggaran SKB tentang pelarangan Ahmadiyah yang isinya antara lain: “Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.” Menurut laporan dari lapangan bahwa setelah muncul gugatan uji materiil atas Undang-undang No 1/PNPS/1965 kegiatan kelompok aliran sesat Ahmadiyah di Kuningan makin marak. Dengan demikian, sudah saatnya pelanggaran atas SKB Pelarangan Ahmadiyah ini segera ditindak-lanjuti oleh pihak-pihak yang mengeluarkan SKB Pelarangan Aliran Sesat Ahmadiyah agar mengeluarkan rekomendasi untuk dikeluarkannya Keppres Pembubaran Ahmadiyyah oleh Presiden.

Kedua, kelompok aliran sesat Ahmadiyah telah melakukan tindakan melawan petugas Satpol PP dan hendak merobek-robek Surat Perintah dari Bupati Kuningan serta telah melakukan tindakan anarkis kepada Satpol PP hingga Satpol PP menghentikan tugasnya. Oleh karena itu, Polres Kabupaten Kuningan harus segera mengusut hal itu dan menangkap pihak-pihak Ahmadiyah yang melakukan tindakan anarkis kepada Satpol PP dan melakukan tindakan hokum. Bahkan perlu diungkap siapa actor intelektualnya? Janganlah polisi dan pemerintah kalah oleh anarkisme aliran sesat Ahmadiyah. Dan anarkisme Ahmadiyah itu juga membuktikan bahwa slogan mereka selama ini : Love for all, hated for none tidak terbukti.

Kaum muslimin rahimakumullah Upaya umat Islam untuk membubarkan kelompok Ahmadiyah belum selesai. Sejak heboh konfrensi pers 12 butir Penjelasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) 15 Januari 2008 lalu yang disusul berbagai demonstrasi, perdebatan, hingga meledak kasus Monas, dan divonis-penjaranya Habib Rizieq Shihab dan Munarman,SH, ternyata Ahmadiyah belum juga dibubarkan. SKB pelarangan Ahmadiyah pun tidak efektif. Di pusatnya di Jalan Balikpapan Jakarta, pembangunan rumah yang dijadikan markas JAI konon terus berlangsung. Di Padang, JAI memasang papan nama. Dan peristiwa Manis Lor merupakan bukti nyata bahwa mereka melakukan pelanggaran dan perlawanan. Dengan mencuatnya kasus Manis Lor Kuningan ini, kiranya perlu disegarkan kembali ingatan kita tentang pembubaran Ahmadiyah.

Kaum Muslimin Rahimakumullah, Hakikat dari persoalan Ahmadiyah adalah bahwa mereka mengaku muslim namun mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Bahkan dalam AD/ART Jemaat Ahmadiyah Indonesia jelas disebut bahwa tujuan mereka adalah menyebarkan Islam menurut ajaran Mirza Ghulam Ahmad. Tentu ini adalah kelompok yang bermasalah! Baik ditinjau dari perspektif Islam, maupun ditinjau dari perspektif UU yang berlaku di Indonesia.

Dalam perspektif Islam, orang yang mengaku Nabi setelah Nabi Muhammad dan siapapun orang Islam yang mengakui kenabiannya adalah dihukumi kafir murtad yang diancam hukuman mati. Rasulullah saw. Bersabda:

“Siapa yang mengganti agama (Islamnya dengan yang lain), maka bunuhlah dia” (HR. AL Bukhari dari Ibn Abbas r.a.).

Dan tatkala dua orang utusan Musailamah al Kaddzab menghadap Rasulullah saw., maka beliau saw. berkata kepada keduanya:

Apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah? Mereka menjawab: Kami bersaksi bahwa Musailamah adalah rasulullah. Maka rasulullah saw. bersabda: Aku beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, kalau sekiranya aku pembunuh utusan (delegasi), pasti akan kubunuh kalian berdua..” (HR. Ahmad).

Dari hadits tersebut jelas bahwa hukuman untuk pengikut nabi palsu seperti Musailamah dan Mirza Ghulam Ahmad adalah hukuman mati.

Sebelum dieksekusi, mereka diminta bertobat. Jika bertobat, maka dibebaskan. Jika tidak, maka dihukum mati. Jika jumlahnya banyak, maka diperangi. Khalifah Abu Bakar r.a.pernah mengirim pasukan kepada Musailamah al Kaddzab dan 41 ribu pengikutnya. Setelah menolak bertobat Musailamah dibunuh, dan sebagian besar pengikutnya kembali ke pangkuan Islam.

Oleh karena itu, bila pemerintah menggunakan syariah Islam dalam mengatasi masalah Ahmadiyah dengan cara Khalifah Abu Bakar Shiddiq r.a., maka mudah-mudahan para pengikut Ahmadiyah bisa diselamatkan.

Dalam perspektif negara Indonesia yang memiliki UU No 1/PNPS/1965 yang baru-baru ini dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi, kelompok Ahmadiyah yang menyebarkan ajaran Islam versi Mirza Ghulam Ahmad sang nabi palsu, jelas-jelas telah melanggar UU tersebut. Kesesatan mereka sudah dipastikan oleh MUI dalam fatwanya pada tahun 1980 dan diperkuat fatwa MUI tahun 2005. Juga ditegaskan oleh hasil penelitian Balitbang Depag RI Jakarta 1995, pernyataan Pakem tahun 2004, dan pernyataan Bakorpakem tahun 2008.

Oleh karena itu, bola ada di tangan Presiden. Semoga presiden tidak segan-segan mengeluarkan Keppres Pembubaran Ahmadiyah. Sebab fungsi penguasa menurut baginda Rasulullah saw.: “Imam adalah laksana perisai, umat diperangi di belakangnya, dan berlindung kepadanya”.(Sahih Al Bukhari X/114).

Barakallahu lii walakum

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Ad-Dakwah, Buletin

Tagged with , , ,

Manusia Yang Beruntung   Leave a comment


Dalam bahasa Arab, kata al-falaah berasal dari al-falh yang artinya petani. Sedangkan falaha maknanya menunjukkan pada aktivitas yang dilakukan petani, yaitu mencangkul, menggali tanah, atau membuat lubang di tanah untuk menyimpan benih. Menurut ahli bahasa Arab maknanya sama dengan al-syaqq, yaitu membelah. (Shafwah Al-Tafaasiir [1])

 

 

Kata muflih, diterjemahkan dengan orang-orang beruntung atau memperoleh apa yang dimohon, adalah karena melihat proses yang biasa dilakukan oleh petani, di antaranya menyiram dan memberi pupuk. Pekerjaan ini biasanya dilakukan terus-menerus sehingga untuk sampai kepada waktu panen membutuhkan waktu yang cukup lama.

 

Selain itu, bisa juga dipahami bahwa yang dimaksud al-muflih adalah orang yang berusaha secara konsisten menanam benih amal saleh di dunia, kemudian menjaga dan menyuburkannya sehingga dia memperoleh hasilnya di akhirat nanti, yaitu mendapatkan surga dan selamat dari neraka.

 

Lawan dari kata al-falh adalah al-kuffar. Maknanya juga petani, tetapi dalam aktivitas yang lain. Menurut ahli bahasa, kata al-kuffar maknanya adalah al-ghithaa’ yang berarti menutup, yakni menimbun benih dengan tanah. Berdasarkan uraian ini, bisa disimpulkan bahwa aktivitas al-falh dan al-kuffar merupakan dua aktivitas yang berlawanan, yaitu pertama menggali lubang dan yang kedua menutup lubang.

 

Karena itu, orang yang muflih adalah orang yang senantiasa membuka pintu rahmat Allah SWT. Apa pun yang dikerjakannya semata-mata untuk mencari karunia dan rahmat Allah SWT. Maka, apabila karakter muflih ini bersemayam pada diri seorang pemimpin, niscaya ia akan menggunakan kemampuannya untuk mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan setiap masalah. Dalam persoalan bangsa, ia akan menggunakan potensinya untuk mewujudkan negeri yang aman dan diridai oleh Allah SWT.

 

Karena itu, yang dibutuhkan bangsa ini adalah orang-orang yang senantiasa menggunakan kemampuannya untuk perbaikan, bukan manusia-manusia yang hanya memikirkan kekuasaan, kekayaan, jabatan, atau popularitas. Bangsa ini membutuhkan orang-orang yang memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya nantinya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

 

Itulah manusia yang muflih (beruntung), yaitu mereka yang beriman kepada Allah, Alquran, hari akhir, mendirikan shalat, menunaikan zakat. Mereka adalah orang yang senantiasa menggali potensi untuk mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan, bukan menciptakan kemungkaran dan kerusakan. Wallahu A’lam

 

[Ade Nurdin]

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Buletin

Tagged with , ,

Memaknai Sholat Terawih   Leave a comment


Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan.[1]

 

Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam.[2] Shalat tarawih lebih afhdol dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al Khottob dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun terus menerus melakukan shalat tarawih secara berjama’ah karena merupakan syi’ar Islam yang begitu nampak sehingga serupa dengan shalat ‘ied.[3]

Keutamaan Shalat Tarawih

Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[4] Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi.[5]

Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh. Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda, “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[6] Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.

Waktu Terbaik Shalat Tarawih

Waktu shalat tarawih adalah setelah shalat Isya’ hingga terbit fajar, boleh menunaikan di antara waktu tersebut. An Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan, “Waktu shalat tarawih adalah dimulai selepas menunaikan shalat Isya’. Demikian disebutkan pula oleh Al Baghowi dan selainnya. Dan sisanya sampai waktu Shubuh.”

Akan tetapi jika seseorang melakukannya di masjid dan menjadi imam, maka hendaklah ia mengerjakan shalat tarawih tersebut setelah shalat Isya’. Janganlah ia akhirkan hingga pertengahan malam atau akhir malam supaya tidak menyulitkan para jama’ah. Karena dikhawatirkan jika dikerjakan di akhir malam, sebagian orang dapat luput karena ketiduran. Shalat tarawih di awal malam inilah yang biasa di lakukan kaum muslimin (dari masa ke masa). Kaum muslimin senatiasa mengerjakan shalat tarawih setelah shalat Isya’ dan tidak diakhirkan hingga akhir malam.

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menyebutkan, “Ada yang menanyakan pada Imam Ahmad: Bolehkah mengakhirkan shalat tarawih hingga akhir malam?” “Tidak. Sunnah kaum muslimin (di masa ‘Umar) lebih aku sukai,” jawab Imam Ahmad. [Sejak masa ‘Umar shalat tarawih biasa dilaksanakan di awal malam. Inilah yang berlaku dari masa ke masa. -pen]. Adapun jika seseorang ingin melaksanakan shalat di rumahnya (seperti para wanita, pen), maka ia punya pilihan. Ia boleh melaksanakan di awal malam, ia pun boleh melaksanakannya di akhir malam.[7]

Shalat Tarawih Pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.”[8]

Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih dari 11 Raka’at?

Shalat tarawih 11 raka’at itulah yang jadi pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun bolehkah kita menambah dari yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan? Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.”[9]

Disebutkan dalam Muwaththo’ Imam Malik riwayat sebagai berikut: Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, “Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata, “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.” (HR. Malik dalam Al Muwaththo’ 1/115). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.[10]

Dalam Musnad ‘Ali bin Al Ja’d terdapat riwayat sebagai berikut: Telah menceritakan kepada kami ‘Ali, bahwa Ibnu Abi Dzi’b dari Yazid bin Khoshifah dari As Saib bin Yazid, ia berkata, “Mereka melaksanakan qiyam lail di masa ‘Umar di bulan Ramadhan sebanyak 20 raka’at. Ketika itu mereka membaca 200 ayat Al Qur’an.” (HR. ‘Ali bin Al Ja’d dalam musnadnya, 1/413). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.[11] Hadits di atas juga memiliki jalur yang sama dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro (2/496).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa perbuatan sahabat di zaman ‘Umar bin Khottob bervariasi, kadang mereka melaksanakan 11 raka’at, kadang pula –berdasarkan riwayat yang shahih- melaksanakan 23 raka’at. Lalu bagaimana menyikapi riwayat semacam ini? Jawabnya, tidak ada masalah dalam menyikapi dua riwayat tersebut. Kita bisa katakan bahwa kadangkala mereka melaksanakan 11 raka’at, dan kadangkala mereka melaksanakan 23 raka’at dilihat dari kondisi mereka masing-masing.

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Kompromi antara riwayat (yang menyebutkan 11 dan 23 raka’at) amat memungkinkan dengan kita katakan bahwa mereka melaksanakan shalat tarawih tersebut dilihat dari kondisinya. Kita bisa memahami bahwa perbedaan (jumlah raka’at tersebut) dikarenakan kadangkala bacaan tiap raka’atnya panjang dan kadangkala pendek. Ketika bacaan tersebut dipanjangkan, maka jumlah raka’atnya semakin sedikit. Demikian sebaliknya.”[12]

Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.”[13]

Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya

Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.”[14]

Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.”[15] Ibnu Hajar –rahimahullah– membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud.[16] Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Karena ingatlah bahwa thuma’ninah (bersikap tenang) adalah bagian dari rukun shalat.

Aturan Dalam Shalat Tarawih

1. Salam setiap dua raka’at. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.”[17] [18]

2. Istirahat tiap selesai empat raka’at. Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.”[19] Yang dimaksud dalam hadits ini adalah shalatnya dua raka’at salam, dua raka’at salam, namun setiap empat raka’at ada duduk istrirahat.

Sebagai catatan penting, tidaklah disyariatkan membaca dzikir-dzikir tertentu atau do’a tertentu ketika istirahat setiap melakukan empat raka’at shalat tarawih, sebagaimana hal ini dilakukan sebagian muslimin di tengah-tengah kita yang mungkin saja belum mengetahui bahwa hal ini tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam.[20] Ulama-ulama Hambali mengatakan, “Tidak mengapa jika istirahat setiap melaksanakan empat raka’at shalat tarawih ditinggalkan. Dan tidak dianjurkan membaca do’a-do’a tertentu ketika waktu istirahat tersebut karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal ini.”[21]

3. Tidak ada tuntunan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan Ash Sholaatul Jaami’ah. Ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Juga dalam shalat tarawih tidak ada seruan adzan ataupun iqomah untuk memanggil jama’ah karena adzan dan iqomah hanya ada pada shalat fardhu.[22]

4. Sudah selayaknya bagi makmum untuk menyelesaikan shalat tarawih hingga imam selesai. Dan kuranglah tepat jika jama’ah bubar sebelum imam selesai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[23] Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.

5. Bagaimana shalat tarawih bagi wanita? Jika menimbulkan godaan ketika keluar rumah (ketika melaksanakan shalat tarawih), maka shalat di rumah lebih utama bagi wanita daripada di masjid. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As Saa’idiy. Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata bahwa dia sangat senang sekali bila dapat shalat bersama beliau. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Aku telah mengetahui bahwa engkau senang sekali jika dapat shalat bersamaku. … (Namun ketahuilah bahwa) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.”[24]

Namun jika wanita tersebut merasa tidak sempurna mengerjakan shalat tarawih tersebut di rumah atau malah malas-malasan, juga jika dia pergi ke masjid akan mendapat faedah lain bukan hanya shalat (seperti dapat mendengarkan nasehat-nasehat agama atau pelajaran dari orang yang berilmu atau dapat pula bertemu dengan wanita-wanita muslimah yang sholihah atau di masjid para wanita yang saling bersua bisa saling mengingatkan untuk banyak mendekatkan diri pada Allah, atau dapat menyimak Al Qur’an dari seorang qori’ yang bagus bacaannya), maka dalam kondisi seperti ini, wanita boleh saja keluar rumah menuju masjid. Hal ini diperbolehkan bagi wanita asalkan dia tetap menutup aurat dengan menggunakan hijab yang sempurna, keluar tanpa memakai harum-haruman (parfum)[25], dan keluarnya pun dengan izin suami. Apabila wanita berkeinginan menunaikan shalat jama’ah di masjid (setelah memperhatikan syarat-syarat tadi), hendaklah suami tidak melarangnya. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik.”[26] Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Jika istri kalian meminta izin pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.”[27] [28]

 

[Muhammad Abduh Tuasikal]

_____________

[1] Lihat Al Jaami’ Li Ahkamish Sholah, 3/63 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9630.

[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9631.

[3] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39.

[4] HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759

[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39.

[6] HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan Tirmidzi. Tirmidzi menshahihkan hadits ini. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[7] Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab, no. 37768.

[8] HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738.

[9] At Tamhid, 21/70.

[10] ‘Adadu Raka’at Qiyamil Lail, Musthofa Al ‘Adawi, Daar Majid ‘Asiri, hal. 36.

[11] Adadu Raka’at Qiyamil Lail, hal. 36.

[12] Fathul Bari, 4/253.

[13] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H, 22/272.

[14] HR. Muslim no. 756

[15] HR. Bukhari no. 1220 dan Muslim no. 545.

[16] Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3.

[17] HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749.

[18] Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi ketika menjelaskan hadits “shalat sunnah malam dan siang itu dua raka’at, dua raka’at”, beliau rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud hadits ini adalah bahwa yang lebih afdhol adalah mengerjakan shalat dengan setiap dua raka’at salam baik dalam shalat sunnah di malam atau siang hari. Di sini disunnahkan untuk salam setiap dua raka’at. Namun jika menggabungkan seluruh raka’at yang ada dengan sekali salam atau mengerjakan shalat sunnah dengan satu raka’at saja, maka itu dibolehkan menurut kami.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/30)

[19] HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738.

[20] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/420.

[21] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9639

[22] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9634

[23] HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan Tirmidzi. Hadits ini shahih.

[24] HR. Ahmad no. 27135. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[25] “Jika salah seorang di antara kalian ingin mendatangi masjid, maka janganlah memakai harum-haruman.” (HR. Muslim no. 443)

[26] HR. Abu Daud no. 567 dan Ahmad 7/62. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[27] HR. Muslim no. 442.

[28] Periksa http://www.islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=1914

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in At-Tauhid, Buletin

Tagged with , ,

Menumbuhkan Semangat Jihad Bagi Pemuda   Leave a comment


Kaum muslimin rahimakumullah

 

Seiring dengan penangkapan KH. Abu Bakar Ba’asyir yang disangka mendanai kegiatan pelatihan militer di Aceh yang dicap sebagai kegiatan terorisme, kampanye memojokkan jihad sebagai terror semakin kencang. Berbagai pernyataan yang dilansir di media massa mengarah pada propaganda negative dan menyesatkan terhadap kegiatan jihad fii sabilillah yang dinilai kegiatan terorisme dan ajaran jihad sebagai ideology para teroris. Demikian juga perjuangan menegakkan syariah oleh negara dan perjuangan menegakkan system pemerintahan Islami (Khilafah Islamiyyah) dicap sebagai sumber dari terorisme. Tentu saja propaganda hitam itu semua tidak adil dan sangat menyesatkan opini masyarakat. Sebab apa yang disangkakan sebagai ideology para teroris maupun sumber terorisme, yakni jihad, syariah, dan khilafah, itu semua murni terdapat di dalam Al Quran dan As Sunnah.

 

Kaum muslimin rahimakumullah,Sebelum kami menerangkan tentang ayat-ayat dan hadits yang memberikan petunjuk tentang jihad fi sabilillah sebagai ajaran islam yang prinsip, maka kami perlu jelaskan bahwa upaya pelatihan militer yang terdapat di Aceh yang dikaitkan dengan aktivitas terorisme adalah hasil rekayasa seorang disertir polisi bernama Sofyan Tsauri. Dialah yang merekrut anak-anak muda dari berbagai kelompok untuk diajak berlatih menembak di Mako Brimob Kelapa Dua dan dialah yang mendanai dan mensuplai senjata api serta mengadakan pelatihan militer di Aceh. Mabes Polri sudah mengakui keterlibatan Sofyan.

Oleh karena itu, boleh disimpulkan bahwa kegiatan yang disangka sebagai kegiatan terorisme di Aceh itu adalah hasil operasi intelijen yang melibatkan Sofyan tsauri, disertir polisi dan juga melibatkan dua oknum polisi aktif. Tujuannya selain menjebloskan KH. Abu Bakar Ba’asyir ke dalam tahanan, juga adalah untuk membngun opini bahwa jihad itu suatu kejahatan. Padahal jihad dinilai ibadah dalam Islam, diperintahkan Al Quran, dan dilaksanakan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya r.a. dan dilanjutkan oleh para tabi’in, tabiut taabiin, dan kaum muslimin sesudahnya di bawah kepemimpinan Rasulullah saw., para Khulafaur rasyidin, dan para khalifah sesudahnya dari masa ke masa hingga kekuasaan dan ajaran Islam tersebar ke seluruh dunia menggantikan peradaban lama di berbagai negara dan bangsa yang telah usang. Seharusnya polisi bekerja keras untuk mencari tahu siapa “master mind” di balik kegiatan intelijen Sofyan Tsauri sehingga bisa diketahui siapa sebenarnya yang telah membuat fitnah kepada KH. Abu Bakar Ba’asyir, ajaran islam, dan kaum muslimin.

 

Kaum muslimin rahimakumullah,Allah SWT berfirman:Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui. (QS. Al Baqarah 216).

 

Menurut Tafsir Jalalain, kata “kutiba” dalam ayat di atas maknanya adalah “furidla” , artinya difardlukan atau diwajibkan. Sehingga “qital” atau perang bagi kaum muslimin adalah ibadah yang hukumnya fardlu seperti shiyam. Kalau dalam QS. Al Baqarah 183 Allah SWT berfirman : Kutiba alaikum as shiyam (telah difardlukan kepada kalian berpuasa), maka dalam ayat ini Allah berfirman KutIba alaikum al qital (telah diwajibkan atas kalian berperang).

 

Juga Allah SWT dalam ayat tersebut menerangkan bahwa umat Islam sebagai manusia tidak suka berperang karena faktanya perang itu penuh dengan kesulitan. Namun Allah SWT nyatakan bahwa boleh jadi kalian tidak suka sesuatu padahal dia baik bagi kalian dan sebaliknya kalian suka sesuatu tapi itu buruk buat kalian. Imam Jalalain dalam tafsir menernagkan bahwa perang itu baik buat kalian karena di dalam perang bisa mendapat kemenangan dan mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) dan juga bisa mati syahid dan dapat pahala jihad. Sedangkan meninggalkan perang itu menjadikan keburukan berupa kehinaan, kefakiran, dan terhalangnya pahala.

 

Kaum muslimin rahimakumullah

Dengan mengamalkan perintah Allah di atas para sahabat bersama Rasulullah saw. melalui berbagai pertempuran jihad fi sabilillah dan mendapatkan berbagai kemenangan dan penaklukan, sehingga kekuasaan Rasulullah saw. yang di awal hijrah hanya sebatas kota Madinah, namun di akhir hayat beliau saw. sudah meliputi seluruh Jazirah Arab selama 10 tahun.

Kaum muslimin rahimakumullah,Allah SWT memuji jihad fi sabilillah sebagai perniagaan yang membebaskan para mujahid dari adzab yang pedih. Allah SWT berfirman:Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. (QS. As Shaff 10-12).

Senafas dengan ayat di atas Allah SWT menjadikan jihad fi sabilillah pada posisi yang tinggi setelah Allah SWT dan Rasul-Nya dalam hal kecintaan, sebagaimana firman-Nya:Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At Taubah 24).

 

Kaum muslimin rahimakumullah, Karena dahsyatnya ajaran dakwah Islam dan jihad fi sabilillah itulah umat Islam unggul dalam kehidupan. Kekuasaannya meliputi seluruh dunia lama, membentang dari seluruh Jazirah Arab, benua Afrika, Eropa, dan Asia. Dari Andalusia di Eropa Barat hingga ke Tembok Cina di Timur bahkan hingga India dan Asia Tenggara. Berbagai bangsa yang tunduk dan bergabung dengan kekuasaan Islam mendapatkan keadilan dan kesejahteraan pemerintahan Islam yang menerapkan syariat Allah yang rahmatan lil alalamin.

Perluasaan kekuasaan Islam berhenti setelah berabad-abad meluas dan terhentinya perluasan itu lantaran penguasa Islam menghentikan jihad. Bahkan itu berakibat kepada mundurnya kekuasaan islam hingga runtuhnya khilafah Islamiyyah yang menjadi payung dunia Islam. Namun bisa dicatat hingga hari musuh-musuh Islam tetap kewalahan ketika ajaran dan semangat jihad masih ada dalam diri kaum muslimin seperti yang terjadi di Palestina, Irak, dan Afghanistan. Oleh karena itu, Barat dengan segala hegemoni yang dimilikinya berusaha keras membasmi ajaran jihad ini dan hendak menghapusnya dengan berbagai propaganda, termasuk terorisme.

Kaummuslimin rahimakumullah,Ketika suatu bangsa menghentikan aktivitas jihad, maka kehinaan pasti akan dialami. Ini sudah disebut oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya:Jika kalian terbiasa dengan muamalah al-inah (satu bentuk transaksi kredit), dan kalian membajak sawah, dan kalian senang dengan bertani, dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan membuat kalian diliputi kehinaan. Dia tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada ajaran agama kalian”. (Sunan Abu Dawud).

Fakta sejarah menunjukkan bahwa daulah Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki dan berbagai penguasa wilayahnya termasuk di Mesir mengalami kebangkrutan setelah menerima kredit dari perbankan Yahudi untuk berbagai proyek pembangunan. Dan seluruh dunia Islam pasca runtuhnya Khilafah dijajah oleh kaum imperialis dengan apa yang disebut Utang Luar Negeriyang ribawi.

Dan di dalam penindasan oleh kaum imperialis, umat islam dilicuti senjatanya dan ditaklukkan dengan mencegah dan melarang kegiatan jihad fi sabilillah melalui pemerintah yang tunduk kepada kekuasaan kaum imperialis. Padahal, berhentinya jihad tidak hanya berbahaya bagi umat islam di dunia, tapi juga di akhirat. Sebab, jihad hukumnya fardlu. Pengertian hukum fardlu adalah bila dikerjakan dapat paha dan bila ditinggalkan berdosa. Dan Rasulullah saw. memberikan warning kepada umat islam yang tidak mau berjihad. Beliau bersabda:Siapa saja yang mati dalam keadaan belum pernah berperang (berjihad fi sabilillah) dan belum pernah berbicara kepada dirinya sendiri untuk berjihad, maka dia mati dalam cabang kemunafikan”. (Sahih Muslim).

 

Kaummuslimin rahimakumullah, Oleh karena itu, umat Islam, khususnya para ulama perlu menggemarkan pelajaran mengupas tentang jihad fi sabilillah, hukumnya, keutamaannya, serta berbagai perkara yang menyangkut pelaksanaannya. Kajian ajaran Islam yang mulia ini hendaknya dilakukan secara resmi dan terbuka oleh institusi-institusi negara, khususnya institusi pertahanan dan keamanan, maupun sekolah-sekolah umum dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dengan keterbukaan dan kejujuran mempelajari ilmu Allah SWT maka umat Islam mendapat manfaatnya berupa pencerahan dan kemuliaan karenanya.

 

Baakallahu lii walakum 

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Ad-Dakwah, Buletin

Tagged with , , , ,

Sumber Solusi Terbaik Adalah Al-Qur’an   Leave a comment


Tak terasa, hari-hari shaum yang kita jalani sudah memasuki pertengahan Ramadhan. Sebagai Muslim kita meyakini, di antara malam-malam Ramadhan itu akan hadir Lailatul Qadar yang ditunggu-tunggu, karena nilai keutamaannya yang setara dengan seribu bulan. Selain itu, pada malam Lailatul Qadar ini pula al-Quran pertama kali diturunkan oleh Allah SWT dari Lauhil Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di Langit Dunia. Allah SWT berfirman:

 

 

إِنّا أَنزَلنٰهُ فى لَيلَةِ القَدرِ ﴿١﴾ وَما أَدرىٰكَ ما لَيلَةُ القَدرِ ﴿٢﴾ لَيلَةُ القَدرِ خَيرٌ مِن أَلفِ شَهرٍ ﴿٣﴾

Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran pada Lailatul Qadar. Apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik nilainya dari seribu bulan (QS al-Qadar [97]: 1-3).

Sebagian Muslim meyakini al-Quran pertama kali turun ke bumi tanggal 17 Ramadhan. Untuk itu, pada 17 Ramadhan mereka biasa memperingati peristiwa turunnya al-Quran atau mengadakan Peringatan Nuzulul Quran. Karena itu, tentu penting untuk memaknai kembali peristiwa Nuzulul Quran yang setiap tahun diperingati oleh kaum Muslim, bahkan biasa diperingati oleh Kepala Negara dan jajaran para pejabatnya di negeri ini.

 

Makna Nuzulul Quran

Allah SWT berfirman:

 

شَهرُ رَمَضانَ الَّذى أُنزِلَ فيهِ القُرءانُ هُدًى لِلنّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِنَ الهُدىٰ وَالفُرقانِ

 

Bulan Ramadhan, itulah bulan yang di dalamnya al-Quran diturunkan, sebagai petunjuk (bagi manusia), penjelasan atas petunjuk itu serta sebagai pembeda (QS al-Baqarah [2]: 185).

 

Ayat di atas tegas menyatakan bahwa al-Quran yang diturunkan oleh Allah SWT berfungsi sebagai hud[an]bayyinat dan furq[an]. Maknanya, al-Quran adalah petunjuk bagi manusia; memberikan penjelasan tentang mana yang halal dan mana yang haram, juga tentang berbagai hudud dan hukum-hukum Allah SWT; serta pembeda mana yang haq dan mana yang batil (Lihat: al-Baidhawi/I/220; Ibn Abi Salam, I/154; an-Nasisaburi, I/48; As-Suyuthi, I/381). Lebih tegas dinyatakan oleh Abu Bakar al-Jazairi dalam Aysar at-Tafasir, saat menafsirkan potongan ayat di atas, bahwa al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia yang bisa mengantarkan mereka untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Maknanya, al-Quran turun dalam rangka: (1) memberi manusia petunjuk; (2) menjelaskan kepada mereka jalan petunjuk itu; (3) menerangkan jalan kebahagiaan dan kesuksesan mereka; (4) memandu mereka agar bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil dalam seluruh urusan kehidupan mereka (Al-Jazairi, I/82).

 

Al-Quran: Sumber Solusi

Dengan memahami maksud ayat di atas, jelas harus dikatakan bahwa al-Quran sesungguhnya sumber solusi bagi setiap persoalan hidup yang dihadapi manusia. Hal ini juga ditegaskan dalam ayat berikut:

 

وَنَزَّلنا عَلَيكَ الكِتٰبَ تِبيٰنًا لِكُلِّ شَيءٍ وَهُدًى وَرَحمَةً وَبُشرىٰ لِلمُسلِمينَ

 

Kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelas segala sesuatu; juga sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang Muslim(QS an-Nahl [16]: 89).

 

Menurut Al-Jazairi (II/84), frasa tibyan[an] li kulli syay[in] bermakna: menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat (Al-Jazairi, II/84). Ayat di atas juga menegaskan bahwa al-Quran merupakan petunjuk (hud[an]), rahmat (rahmat[an]) dan sumber kegembiraan (busyra) bagi umat.

Sayang, meski Allah SWT secara tegas menyatakan al-Quran sebagai sumber solusi, kebanyakan kaum Muslim saat ini mengabaikan penegasan Allah SWT ini. Buktinya, hingga saat ini al-Quran tidak dijadikan rujukan oleh umat, khususnya para penguasa dan elit politiknya, untuk memecahkan berbagai persoalan hidup yang mereka hadapi. Padahal jelas, umat ini, khususnya di negeri ini, sudah lama dilanda berbagai krisis: krisis keyakinan (misal: munculnya banyak aliran sesat), krisis akhlak (munculnya banyak kasus pornografi/pornoaksi, perselingkuhan/perzinaan, dll), krisis ekonomi (kemiskinan, pengangguran, dll) krisis politik (karut-marut Pemilukada, separatisme, dll), krisis sosial, krisis pendidikan, krisis hukum, dll. Semua ini tentu membutuhkan solusi yang pasti, tuntas dan segera.

Memang, para penguasa dan elit politik negeri ini bukan tidak berusaha mencari solusi. Namun, solusi yang mereka gunakan alih-alih mampu mengatasi berbagai krisis tersebut, tetapi malah memperpanjang krisis dan menambah krisis baru. Ini karena solusi yang dipakai selalu merujuk pada ideologi sekular, yakni Kapitalisme. Untuk mengatasi krisis keyakinan, misalnya, mereka malah mengembangkan pluralisme. Untuk mengatasi krisis ekonomi, mereka mengembangkan ekonomi yang makin liberal antara lain dengan mengembangkan program privatisasi (penjualan aset-aset negara), terus menumpuk utang luar negeri yang berbunga tinggi, menyerahkan pengelolaan (baca: penguasaan) berbagai sumberdaya alam (SDA) kepada swasta/pihak asing, menyerahkan harga barang-barang milik rakyat (BBM, listrik, gas, bahkan air) kepada mekanisme pasar, dll. Akibatnya, kemiskinan dan pengangguran justru makin meningkat, dan krisis ekonomi makin parah.

Untuk mengatasi krisis politik mereka terus mengembangkan demokrasi yang justru menjadi akar persoalan politik. Untuk mengatasi krisis pendidikan mereka malah terus melakukan sekularisasi dan ‘kapitalisasi’ pendidikan. Akibatnya, sudahlah mahal, pendidikan tidak menghasilkan generasi beriman dan bertakwa serta berkualitas.

Lalu untuk mengatasi krisis hukum dan keadilan mereka malah memproduksi hukum buatan sendiri yang sarat dengan kepentingan para pembuatnya. Demikian seterusnya. Akibatnya, berbagai krisis tersebut bukan malah teratasi, tetapi malah makin menjadi-jadi. Semua itu jelas, karena mereka benar-benar telah mengabaikan al-Quran sama sekali.

 

Dosa Mengabaikan al-Quran

Selain menjadikan berbagai krisis tidak pernah teratasi, mengabaikan al-Quran sesungguhnya merupakan dosa besar bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman:

 

وَقالَ الرَّسولُ يٰرَبِّ إِنَّ قَومِى اتَّخَذوا هٰذَا القُرءانَ مَهجورًا ﴿٣٠﴾

 

Berkatalah Rasul, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran ini sebagai sesuatu yang diabaikan.” (QS al-Furqan [25]: 30).

Dalam ayat ini, Rasulullah saw. mengadukan perilaku kaumnya yang menjadikan al-Quran sebagai mahjûr[an], yakni melakukan hajr al-Qur’ân (mengabaikan al-Quran).

Dulu ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir. Namun saat ini, tidak sedikit umat Islam yang bersikap abai terhadap al-Quran, sebagaimana kaum kafir dulu. Memang mereka tidak mengabaikan al-Quran secara mutlak. Namun, mereka sering memperlakukan ayat-ayatnya secara diskriminatif. Misal: mereka bisa menerima apa adanya hukum-hukum ibadah atau akhlak, tetapi menolak hukum-hukum al-Quran tentang kekuasaan, pemerintahan, ekonomi, pidana, atau hubungan internasional. Contoh, terhadap ayat-ayat al-Quran yang sama-sama menggunakan kata kutiba yang bermakna furidha (diwajibkan atau difardhukan), sikap yang muncul berbeda. Ayatkutiba ‘alaykum al-shiyâm (diwajibkan atas kalian berpuasa) dalam QS al-Baqarah [2]: 183 diterima dan dilaksanakan. Namun, terhadap ayat kutiba ‘alaykum al-qishâsh(diwajibkan atas kalian qishash; dalam QS al-Baqarah [2]: 178), atau kutiba ‘alaykum al-qitâl (diwajibkan atas kalian berperang; dalam QS al-Baqarah [2]: 216), muncul sikap keberatan, penolakan bahkan penentangan dengan beragam dalih; apalagi ketika semua itu diserukan untuk diterapkan secara praktis. Sikap ini jelas terkategori ke dalam sikap mengabaikan al-Quran dan karenanya merupakan dosa besar.

 

Pentingnya Membumikan al-Quran

Dengan mencermati paparan di atas, umat ini sejatinya segera menyadari, bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi seluruh persoalan hidup mereka saat ini tidak lain dengan kembali menjadikan al-Quran sebagai sumber solusi. Tentu aneh jika selama ini banyak yang mempertanyakan peran Islam dan kaum Muslim dalam menyelesaikan aneka krisis, namun pada saat ada tawaran untuk menjadikan syariah Islam-yang notabene bersumber dari al-Quran-sebagai solusi malah ditolak. Bahkan belum apa-apa mereka menuduh penerapan syariah Islam sebagai ancaman terhadap pluralisme, Pancasila, NKRI dll. Padahal jelas, solusi-solusi yang tidak bersumber dari syariah (al-Quran) itulah yang selama ini nyata-nyata telah “mengancam” negeri dan bangsa ini, yang berakibat pada makin panjangnya krisis dan membuat krisis makin bertambah parah.

Jelas, di sinilah pentingnya umat ini segera membumikan al-Quran, dalam arti menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab,    al-Quran memang harus diterapkan. Di dalamnya terdapat hukum yang mengatur seluruh segi dan dimensi kehidupan (QS an-Nahl [16]: 89).

Hanya saja, ada sebagian hukum itu yang hanya bisa dilakukan oleh negara, semisal hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik luar negeri; termasuk pula hukum-hukum yang mengatur pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran hukum syariah. Hukum-hukum seperti itu tidak boleh dikerjakan oleh individu dan hanya sah dilakukan oleh khalifah atau yang diberi wewenang olehnya.

Berdasarkan fakta ini, keberadaan negara merupakan sesuatu yang dharûrî (sangat penting). Tanpa ada sebuah negara, mustahil semua ayat al-Quran dapat diterapkan. Tanpa negara Khilafah Islamiah, banyak sekali ayat al-Quran yang terbengkalai. Padahal menelantarkan ayat al-Quran-walaupun sebagian-termasuk tindakan mengabaikan al-Quran yang diharamkan. Oleh karena itu, berdirinya Daulah Khilafah Islamiah harus disegerakan agar tidak ada satu pun ayat yang diabaikan.

Lebih dari itu, al-Quran telah terbukti menjadi sumber inspirasi bagi kemajuan umat manusia, terutama dalam menyelesaikan berbagai problem kehidupan mereka. Simaklah pengakuan jujur seorang cendekiawan Barat, Denisen Ross, “Harus diingat, bahwa al-Quran memegang peranan yang lebih besar bagi kaum Muslim daripada Bibel dalam agama Kristen…Demikianlah, setelah melintasi masa selama 13 abad, al-Quran tetap merupakan kitab suci bagi seluruh Turki, Iran, dan hampir seperempat penduduk India. Sungguh, sebuah kitab seperti ini patut dibaca secara meluas di Barat, terutama pada masa kini…” (E. Denisen Ross, dalam buku, Kekaguman Dunia Terhadap Islam).

 

Simak pula komentar W.E. Hocking tentang al-Quran, “Saya merasa benar dalam penegasan saya, bahwa al-Quran mengandung banyak prinsip yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya sendiri. Sesunguhnya dapat dikatakan, bahwa hingga pertengahan Abad Ketiga belas, Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat.” (The Spirit of World Politics, 1932, hlm. 461).

 

Walhasil, jika al-Quran nyata-nyata merupakan sumber solusi, mengapa penguasa negeri ini tetap mengabaikannya dan enggan menerapkannya dalam kehidupan?!

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. []

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Al-Islam, Buletin

Tagged with , , , ,

Memaknai Zakat Fitri   Leave a comment


Zakat secara bahasa berarti an namaa’(tumbuh), az ziyadah (bertambah), ash sholah(perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya. Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.[1] Ada pula ulama yang menyebut zakat ini dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah/ naluri. An Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh”[2]. Istilah ini digunakan oleh para pakar fikih. Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.[3]

 

Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri

Hikmah disyari’atkannya zakat fithri adalah: (1) untuk berkasih sayang dengan orang miskin, yaitu mencukupi mereka agar jangan sampai meminta-minta di hari ‘ied, (2) memberikan rasa suka cita kepada orang miskin supaya mereka pun dapat merasakan gembira di hari ‘ied, dan (3) membersihkan kesalahan orang yang menjalankan puasa akibat kata yang sia-sia dan kata-kata yang kotor yang dilakukan selama berpuasa sebulan.[4] Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[5]

Hukum Zakat Fithri

Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.[6] Bukti dalil dari wajibnya zakat fithri adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.”[7]

Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri

Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh: (1) setiap muslim karena untuk menutupi kekurangan puasa yang diisi dengan perkara sia-sia dan kata-kata kotor, (2) yang mampu mengeluarkan zakat fithri. Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang seperti ini berarti dia dikatakan mampu dan wajib mengeluarkan zakat fithri. Kepala keluarga wajib membayar zakat fithri orang yang ia tanggung nafkahnya.[8] Menurut Imam Malik, ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, suami bertanggung jawab terhadap zakat fithri si istri karena istri menjadi tanggungan nafkah suami.[9]

Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fithri?

Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri jika ia bertemu terbenamnya matahari di malam hari raya Idul Fithri. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fithri. Inilah yang menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i.[10] Alasannya, karena zakat fithri berkaitan dengan hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan demikian (disandarkan pada kata fithri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada waktu fithri tersebut.[11]

Bentuk Zakat Fithri

Bentuk zakat fithri adalah berupa makanan pokok seperti kurma, gandum, beras, kismis, keju dan semacamnya. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa. Namun hal ini diselisihi oleh ulama Hanabilah yang membatasi macam zakat fithri hanya pada dalil (yaitu kurma dan gandum). Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama, tidak dibatasi hanya pada dalil.[12]

Ukuran Zakat Fithri

Para ulama sepakat bahwa kadar wajib zakat fithri adalah satu sho’ dari semua bentuk zakat fithri kecuali untuk qomh (gandum) dan zabib (kismis) sebagian ulama membolehkan dengan setengah sho’.[13] Dalil yang menunjukkan ukuran 1 sho’ adalah hadits Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan bahwa zakat fithri itu seukuran satu sho’ kurma atau gandum. Satu sho’ adalah ukuran takaran yang ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama berselisih pendapat bagaimanakah ukuran takaran ini. Lalu mereka berselisih pendapat lagi bagaimanakah ukuran timbangannya.[14] Satu sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran empat cakupan penuh telapak tangan yang sedang[15]. Ukuran satu sho’ jika diperkirakan dengan ukuran timbangan adalah sekitar 3 kg.[16] Ulama lainnya mengatakan bahwa satu sho’ kira-kira 2,157 kg.[17] Artinya jika zakat fithri dikeluarkan 2,5 kg, sudah dianggap sah. Wallahu a’lam.

Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang?

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh menyalurkan zakat fithri dengan uang yang senilai dengan zakat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menyatakan dibolehkannya hal ini. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bolehnya zakat fithri diganti dengan uang. Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah tidak bolehnya zakat fithri dengan uang sebagaimana pendapat mayoritas ulama.

Abu Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya dan aku pun menyimaknya. Beliau ditanya oleh seseorang, “Bolehkah aku menyerahkan beberapa uang dirham untuk zakat fithri?” Jawaban Imam Ahmad, “Aku khawatir seperti itu tidak sah. Mengeluarkan zakat fithri dengan uang berarti menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Dalam kisah lainnya masih dari Imam Ahmad, “Ada yang berkata pada Imam Ahmad, “Suatu kaum mengatakan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz membolehkan menunaikan zakat fithri dengan uang seharga zakat.” Jawaban Imam Ahmad, “Mereka meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka mengatakan bahwa si fulan telah mengatakan demikian?! Padahal Ibnu ‘Umar sendiri telah menyatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri (dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum …).[18]” Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya.”[19] Sungguh aneh, segolongan orang yang menolak ajaran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam malah mengatakan, “Si fulan berkata demikian dan demikian”.”[20]

Penerima Zakat Fithri

Para ulama berselisih pendapat mengenai siapakah yang berhak diberikan zakat fithri. Mayoritas ulama berpendapat bahwa zakat fithri disalurkan pada 8 golongan sebagaimana disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60[21]. Sedangkan ulama Malikiyah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat fithri hanyalah khusus untuk fakir miskin saja.[22] Karena dalam hadits disebutkan, “Zakat fithri sebagai makanan untuk orang miskin.” Pendapat terakhir ini yang lebih kuat, yaitu zakat fithri hanya khusus untuk orang miskin.

Waktu Pengeluaran Zakat Fithri

Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat fithri ada dua macam: (1) waktu afdhol yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied; (2) waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar.[23]

Yang menunjukkan waktu afdhol adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[24] Sedangkan dalil yang menunjukkan waktu dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum adalah disebutkan dalam shahih Al Bukhari, “Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya ‘Idul Fithri.”[25]

Ada juga sebagian ulama yang membolehkan zakat fithri ditunaikan tiga hari sebelum ‘Idul Fithri. Riwayat yang menunjukkan dibolehkan hal ini adalah dari Nafi’, ia berkata, “’Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul Fitri.”[26]

Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Seandainya zakat fithri jauh-jauh hari sebelum ‘Idul Fithri telah diserahkan, maka tentu saja hal ini tidak mencapai maksud disyari’atkannya zakat fithri yaitu untuk memenuhi kebutuhan si miskin di hari ‘ied. Ingatlah bahwa sebab diwajibkannya zakat fithri adalah hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Sehingga zakat ini pun disebut zakat fithri. … Karena maksud zakat fithri adalah untuk mencukupi si miskin di waktu yang khusus (yaitu hari fithri), maka tidak boleh didahulukan jauh hari sebelum waktunya.”[27]

Bagaimana Menunaikan Zakat Fithri Setelah Shalat ‘Ied?

Barangsiapa menunaikan zakat fithri setelah shalat ‘ied tanpa ada udzur, maka ia berdosa. Inilah yang menjadi pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Namun seluruh ulama pakar fikih sepakat bahwa zakat fithri tidaklah gugur setelah selesai waktunya, karena zakat ini masih harus dikeluarkan. Zakat tersebut masih menjadi utangan dan tidaklah gugur kecuali dengan menunaikannya. Zakat ini adalah hak sesama hamba yang mesti ditunaikan.[28]

Oleh karena itu, bagi siapa saja yang menyerahkan zakat fithri kepada suatu lembaga zakat, maka sudah seharusnya memperhatikan hal ini. Sudah seharusnya lembaga zakat tersebut diberi pemahaman bahwa zakat fithri harus dikeluarkan sebelum shalat ‘ied, bukan sesudahnya. Bahkan jika zakat fithri diserahkan langsung pada si miskin yang berhak menerimanya, maka itu pun dibolehkan. Hanya Allah yang memberi taufik.

Di Manakah Zakat Fithri Disalurkan?

Zakat fithri disalurkan di negeri tempat seseorang mendapatkan kewajiban zakat fithri yaitu di saat ia mendapati waktu fithri (tidak berpuasa lagi). Karena wajibnya zakat fithri ini berkaitan dengan sebab wajibnya yaitu bertemu dengan waktu fithri.[29]

 

[Muhammad Abduh Tuasikal]

_____________

[1] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278.

[2] Al Majmu’, 6/103.

[3] Mughnil Muhtaj, 1/592.

[4] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278 dan Minhajul Muslim, 230.

[5] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.

[7] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.

[8] Mughnil Muhtaj, 1/595.

[9] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/59.

[10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.

[11] Mughnil Muhtaj, 1/592.

[12] Shahih Fiqh Sunnah, 2/82.

[13] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284.

[14] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8286.

[15] Lihat Al Qomush Al Muhith, 2/298.

[16] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/202.

[17] Lihat pendapat Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/83.

[18] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.

[19] QS. An Nisa’ ayat 59.

[20] Lihat Al Mughni, 4/295.

[21] Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60). Untuk delapan golongan yang disebutkan dalam ayat ini adalah untuk zakat maal.

[22] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8287.

[23] Lihat Minhajul Muslim, 231.

[24] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[25] HR. Bukhari no. 1511.

[26] HR. Malik dalam Muwatho’nya no. 629 (1/285).

[27] Al Mughni, 4/301.

[28] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284.

[29] Misalnya, seseorang yang kesehariannya biasa di Jakarta, sedangkan ketika malam Idul Fithri ia berada di Yogyakarta, maka zakat fithri tersebut ia keluarkan di Yogyakarta karena di situlah tempat ia mendapati hari Idul Fithri. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8287.

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in At-Tauhid, Buletin

Tagged with , ,

Adab Untuk I’tikaf   Leave a comment


I’tikaf pada  sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah sunah yang dicontohkan Rasulullah SAW

 

 

Bulan suci Ramadhan 1431 H tak lama lagi akan memasuki 10 hari terakhir. Untuk mengisi hari-hari terakhir Ramadhan, Rasulullah SAW memilih untuk beri’tikaf di masjid. Diriwayatkan dari Aisyah RA, ”Nabi SAW selalu beritikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkan beliau…” (HR Bukhari-Muslim).

 

I’tikaf merupakan salah satu sunah Nabi SAW di bulan Ramadhan. Agar i’tikaf yang dilakukan berbuah terampuninya dosa-dosa yang telah dilakukan, seorang Muslim hendaknya menjaga dan memperhatikan adab-adab dan sunahnya. Lalu apa saja tata cara yang penting diperhatikan oleh seorang Muslim saat beri’tikaf?

 

Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada dalam kitabnya Mausuu’atul Aadaab al-Islamiyah, mengungkapkan beberapa adab yang perlu dijaga dan diperhatikan dalam beri’tikaf.  Beberapa adab beri’tikaf itu antara lain:

 

Pertama, niat yang benar. Menurut Syekh Sayyid Nada, hendaklah seseorang meniatkan i’tikaf yang dilakukannya pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, semata-mata hanya untuk mengharapkan keridhaan Allah SWT dan menghidupkan sunah Rasulullah SAW.

 

Kedua, I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Sebagaimana disebutkan di atas, i’tikaf pada  sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah sunah yang dicontohkan Rasulullah SAW. ”Boleh juga ber’tikaf di selain waktu itu, namun yang paling afdal adalah i’tikaf pada bulan Ramadhan,” papar Syekh Sayyid Nada.

 

Ketiga, i’tikaf di Masjid Jami’. Menurut Syekh Sayyid Nada, tidak sah seseorang beri’tikaf di rumahnya. ”Bahkan, ia wajib ber’itikaf di masjid sebagaimana dicontohkan Nabi SAW,” ujar ulama terkemuka itu. Allah SWT berfirman dalam surah Albaqarah ayat 187, ”…Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber’itukaf dalam masjid…”

 

Berdasarkan ayat itu, kata Syekh Sayyid Nada, i’tikaf hanya boleh dilakukan di masjid. Bahkan, hendaknya di masjid jami’, sehingga ia tak terpaksa keluar untuk melaksanakan shalat Jumat.

 

Dari Aisyah RA, ”Sunah bagi orang yang beri’tikaf adalah tak menjenguk orang sakit, tak menyaksikan jenazah, tak mendatangi wanita, tak menyetubuhinya, tidak keluar untuk sutu kepentingan kecuali yang memang harus dia lakukan, tak ber’tikaf kecuali puasa, dan tak beri’tikaf kecuali di masjid jami.” (HR Abu Dawud).

 

Keempat, I’tikaf di dalam tenda atau kubah (semacam tenda) di masjid.Menurut Syekh Sayyid Nada, i’tikaf di dalam tenda atau kubah akan membantu orang ber’itikaf untuk ber-khalwat dengan Rabbnya, bersendiri, dan tidak menyia-nyiakan waktu berbicara dengan orang lain. Hal itu, kata dia, dilakukan Rasulullah SAW.

 

Dari Aisyah RA, dia berkata, ”Rasulullah jika ingin ber’itikaf, beliau mengerjakan shalat fajar kemudian masuk ke tempat i’tikafnya. Suatu kali beliau ingin beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadahan, lalu Rasulullah SAW memerintahkan agar didirikan kemah, maka dipancangkanlahnya…” (HR Bukhari dan Muslim).

 

Kelima, tak keluar masjid tanpa ada kepentingan darurat. Orang yang beri’tikaf hanya boleh keluar dari masjid untuk buang hajat atau keperluan mendesak lainnya. Hal itu berdasarkan hadis dari Aisyah yang telah disebutkan pada poin ketiga.

 

Keenam, tak menyetubuhi istri atau mendatanginya. Berdasarkan hadis dan surah Albaqarah ayat 187, orang yang beri’tikaf tak diperbolehkan menyetubuhi istrinya.

 

Ketujuh, bersungguh-sungguh dalam beribadah dan tak menyia-nyiakan waktu. Bersungguh-sungguh dalam beribadah dan tak menyia-nyiakan waktu merupakan tujuan awal i’tikaf. Orang yang beri’tikaf hendaknya memfokuskan diri untuk beribadah dan mencari Lailatul Qadar yang dijanjikan dalam Alquran lebih baik dari seribu bulan.

 

Memasuki hari kesepuluh terakhir, Rasulullah SAW kian bersungguh-sungguh beribadah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim disebutkan, ”Apabila telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah SAW mengencangkan kain sarungnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.”

 

Menurut Syekh Sayyid Nada, yang dimaksud dengan mengencangkan kain sarung adalah bersungguh-sungguh  dalam beribadah dan tak mendatangi istri-istrinya karena kesungguhan beliau dalam beribadah.

 

”Wajib atas seorang yang beri’tikaf agar memanfaatkan setiap waktu dan kesempatannya untuk beribadah, berdoa, merendahkan diri kepada Allah, membaca Alquran, emohon ampun, berzikir, mengerjakan shalat, bertafakur (berpikir),  dan bertadabur (merenung).

 

”Dengan semua itu, orang yang beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan berhak mendapatkan janji Allah SWT dan pahala-Nya, yakni keluar dari tempat i’tikaf dalam keadaan diampuni dosa-dosanya,” papar Syekh Sayyid Nada.

 

N heri ruslan/sumber:Ensiklopedi Adab Islam terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Buletin

Tagged with , ,

Meraih Berkah Dari Allah swt   Leave a comment


Barokah atau berkah selalu diinginkan oleh setiap orang. Namun sebagian kalangan salah kaprah dalam memahami makna berkah sehingga hal-hal keliru pun dilakukan untuk meraihnya. Coba kita saksikan bagaimana sebagian orang ngalap berkah dari kotoran sapi. Ini suatu yang tidak logis, namun nyata terjadi. Inilah barangkali karena salah paham dalam memahami makna keberkahan dan cara meraihnya.

 

Makna Barokah

Dalam bahasa Arab, barokah atau berkah bermakna tetapnya sesuatu, dan bisa juga bermakna bertambah atau berkembangnya sesuatu.[1] Sedangkan tabarruk adalah istilah untuk meraup berkah atau “ngalap berkah”. Adapun makna barokah dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah langgengnya kebaikan, kadang pula bermakna bertambahnya kebaikan dan bahkan bisa bermakna kedua-duanya[2].

Seluruh Kebaikan Berasal dari Allah

Kadang kita salah paham. Yang kita harap-harap adalah kebaikan dari orang lain, sampai-sampai hati pun bergantung padanya. Mestinya kita tahu bahwa seluruh kebaikan dan keberkahan asalnya dari Allah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imron: 26). Yang dimaksud ayat “di tangan Allah-lah segala kebaikan” adalah segala kebaikan tersebut atas kuasa Allah. Tiada seorang pun yang dapat mendatangkannya kecuali atas kuasa-Nya. Karena Allah-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Demikian penjelasan dari Ath Thobarirahimahullah.[3]

 

Berbagai Keberkahan yang Halal

Setelah kita mengerti dengan penjelasan di atas, maka untuk meraih barokah sudah dijelaskan oleh syari’at Islam yang mulia ini. Sehingga jika seseorang mencari berkah namun di luar apa yang telah dituntunkan oleh Islam, maka ia berarti telah menempuh jalan yang keliru. Karena ingatlah sekali lagi bahwa datangnya barokah atau kebaikan hanyalah dari Allah.

Perlu diketahui bahwa keberkahan yang halal bisa ada dalam hal diniyah dan hal duniawiyah, atau salah satu dari keduanya. Contoh yang mencakup keberkahan diniyah dan duniawiyah sekaligus adalah keberkahan pada Al Qur’an Al Karim, Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Keberkahan seperti ini juga terdapat pada majelis orang sholih, keberkahan bulan Ramadhan, keberkahan makan sahur. Keberkahan pada hal diniyah saja semisal pada tiga masjid yang mulia yaitu masjidil harom, masjid nabawi, dan masjidil aqsho. Sedangkan keberkahan pada hal duniawiyah seperti keberkahan pada air hujan, pada tumbuhnya berbagai tumbuhan, keberkahan pada susu dan hewan ternak.[4]

Ada satu catatan yang perlu diperhatikan. Keberkahan yang halal di atas kadang diketahui karena ada dalil tegas yang menunjukkannya, kadang pula dilihat dari dampak, di sisi lain juga dilihat dari kebaikan yang amat banyak yang diperoleh. Namun untuk keberkahan dalam hal duniawiyah bisa diperoleh jika digunakan dalam ketaatan pada Allah. Jika digunakan bukan pada ketaatan, itu bukanlah nikmat, namun hanyalah musibah.[5]

 

Contoh Ngalap Berkah yang Halal

Kami contohkan misalnya keberkahan orang sholih, yaitu orang yang sholih secara lahir dan batin[6], selalu menunaikan hak-hak Allah. Di antara keberkahan orang sholih adalah karena keistiqomahan agamanya. Karena istiqomahnya ini, dia akan memperoleh keberkahan di dunia yaitu tidak akan sesat dan keberkahan di akhirat yaitu tidak akan sengsara[7]. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thoha: 123).

Keberkahan orang sholih pun terdapat pada usaha yang mereka lakukan. Mereka begitu giat menyebarkan ilmu agama di tengah-tengah masyarakat sehingga banyak orang pun mendapat manfaat. Itulah keberkahan yang dimaksudkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut orang-orang sholih yang berilmu sebagai pewaris para nabi. “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi”.[8]

Ketika seseorang mencari harta dengan tidak diliputi rasa tamak, maka keberkahan pun bisa diraih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada Hakim bin Hizam, “Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah”[9] Yang dimaksud dengan kedermawanan dirinya, jika dilihat dari sisi orang yang mengambil harta berarti ia tidak mengambilnya dengan tamak dan tidak meminta-minta. Sedangkan jika dilihat dari orang yang memberikan harta, maksudnya adalah ia mengeluarkan harta tersebut dengan hati yang lapang.[10]

Begitu pula keberkahan dapat diperoleh dengan berpagi-pagi dalam mencari rizki. Dari sahabat Shokhr Al Ghomidiy, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim peleton pasukan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimnya pada pagi hari. Sahabat Shokhr sendiri adalah seorang pedagang. Dia biasa membawa barang dagangannya ketika pagi hari. Karena hal itu dia menjadi kaya dan banyak harta.[11]

 

Ngalap Berkah yang Keliru

PertamaTabarruk dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat.

Di antara yang terlarang adalah tabaruk dengan kubur beliau. Bentuknya adalah seperti meminta do’a dan syafa’at dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi kubur beliau. Semisal seseorang mengatakan, “Wahai Rasul, ampunilah aku” atau “Wahai rasul, berdo’alah kepada Allah agar mengampuniku dan menunjuki jalan yang lurus”. Perbuatan semacam ini bahkan termasuk kesyirikan karena di dalamnya terdapat bentuk permintaan yang hanya Allah saja yang bisa mengabulkannya.[12]

Juga yang termasuk keliru adalah mendatangi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlantas mengambil berkah dari kuburnya dengan mencium atau mengusap-usap kubur tersebut. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Para ulama kaum muslimin sepakat bahwa barangsiapa yang menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menziarahi kubur para nabi dan orang sholih lainnya, termasuk juga kubur para sahabat dan ahlul bait, ia tidak dianjurkan sama sekali untuk mengusap-usap atau mencium kubur tersebut.”[13] Imam Al Ghozali mengatakan, “Mengusap-usap dan mencium kuburan adalah adat Nashrani dan Yahudi”.[14]

KeduaTabarruk dengan orang sholih setelah wafatnya.

Jika terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak diperkenankan tabarrukdengan kubur beliau dengan mencium atau mengusap-usap kubur tersebut, maka lebih-lebih dengan kubur orang sholih, kubur para wali, kubur kyai, kubur para habib atau kubur lainnya. Tidak diperkenankan pula seseorang meminta dari orang sholih yang telah mati tersebut dengan do’a “wahai pak kyai, sembuhkanlah penyakitku ini”, “wahai Habib, mudahkanlah urusanku untuk terlepas dari lilitan hutang”, “wahai wali, lancarkanlah bisnisku”. Permintaan seperti ini hanya boleh ditujukan pada Allah karena hanya Allah yang bisa mengabulkan. Sehingga jika do’a semacam itu ditujukan pada selain Allah, berarti telah terjatuh pada kesyirikan.

Begitu pula yang keliru, jika tabarruk tersebut adalah tawassul, yaitu meminta orang sholih yang sudah tiada untuk berdo’a kepada Allah agar mendo’akan dirinya.

KetigaTabarruk dengan pohon, batu dan benda lainnya.

Ngalap berkah dengan benda-benda semacam ini, termasuk pula ngalap berkah dengan sesuatu yang tidak logis seperti dengan kotoran sapi (Kebo Kyai Slamet), termasuk hal yang terlarang, suatu bid’ah yang tercela dan sebab terjadinya kesyirikan.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun pohon, bebatuan dan benda lainnya … yang dinama dijadikan tabarruk atau diagungkan dengan shalat di sisinya, atau semacam itu, maka semua itu adalah perkara bid’ah yang mungkar dan perbuatan ahli jahiliyah serta sebab timbulnya kesyirikan.”[15]

Perbuatan-perbuatan di atas adalah termasuk perbuatan ghuluw terhadap orang sholih dan pada suatu benda. Sikap yang benar untuk meraih keberkahan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat adalah dengan ittiba’ atau mengikuti setiap tuntunan beliau, sedangkan kepada orang sholih adalah dengan mengikuti ajaran kebaikan mereka dan mewarisi setiap ilmu mereka yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Inilah tabarruk yang benar.

 

Penutup

Dari penjelasan di atas, sebenarnya banyak sekali jalan untuk meraih keberkahan atau ngalap berkah yang dibenarkan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita mencukupkan dengan hal itu saja tanpa mencari berkah lewat jalan yang keliru, bid’ah atau bernilai kesyirikan. Carilah keberkahan dengan beriman dengan bertakwa pada Allah. AllahTa’ala berfirman (yang artinya), “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96)

Semoga Allah senantiasa melimpahkan kita berbagai keberkahan. Amin Yaa Mujibbas Saailin.

 

[Muhammad Abduh Tuasikal]

_____________

[1] Lihat Mu’jam Maqoyisil Lughoh, Ibnu Faris, 1/227-228 dan 1/230. Dinukil dari At Tabaruk, Dr. Nashir bin ‘Abdurrahman bin Muhammad Al Judai’, Maktabah Ar Rusyd Riyadh, 1411 H, hal. 25-26.

[2] Demikian kesimpulan dari Dr. Nashir Al Judai’ dalam At Tabaruk, hal. 39.

[3] Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Muhammad bin Jarir Ath Thobari, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420, 6/301,

[4] Lihat At Tabarruk, hal. 44.

[5] Lihat At Tabarruk, hal. 44.

[6] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, Al Maktab Al Islami, 2/127.

[7] Lihat perkataan Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan surat Thoha ayat 123 dalamm Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 9/376-377.

[8] HR. Abu Daud no. 3641, At Tirmidzi no. 2682 dan Ibnu Majah no. 223. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[9] HR. Bukhari no. 1472.

[10] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379 H, 3/336.

[11] HR. Abu Daud no. 2606, At Tirmidzi no. 1212, Ibnu Majah no. 2236. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[12] Lihat At Tabaruk, hal. 325.

[13] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H, 27/79.

[14] Ihya’ ‘Ulumuddin, Imam Al Ghozali, Mawqi’ Al Waroq, 1/282.

[15] Majmu’ Al Fatawa, 27/136-137.

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in At-Tauhid, Buletin

Tagged with , , ,

HKBP Wajib Ditumpas Di Indonesia   Leave a comment


Sebuah kampung di pojok timur Kota Bekasi tiba-tiba menjadi sorotan masyarakat. Ciketing, kampung tersebut, terletak di Kecamatan Mustika Jaya. Di tempat itu diberitakan dua orang jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) tertusuk oleh beberapa orang tepat di Hari Ketiga Idul Fitri lalu (12/9).

 

 

Penzaliman Terhadap Umat Islam

Tanpa meneliti lebih dulu fakta yang terjadi sebenarnya berikut akar persoalannya, sejumlah kalangan berlomba melontarkan kecaman sekaligus tuduhan yang terkesan memojokkan umat Islam. Siapa mereka? Pertama: Aktivis pluralisme, kelompok liberal, termasuk tokoh agama Kristen. Mereka ini sesungguhnya adalah kelompok minoritas. Sama dengan Kasus Monas 1 Juni 2008 saat terjadi bentrokan antara kelompok AKKBB dan umat Islam dalam rangkaian pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok Ahmadiah, “Kasus Ciketing” pun kemudian dijadikan alat oleh mereka untuk menzalimi umat Islam. Mereka menuduh seolah-olah umat Islamlah-yang notebene mayoritas di negeri ini-sebagai pihak yang tidak toleran, tidak menghargai kebebasan beragama, pelaku kekerasan, dll.

Kedua: Media sekular (cetak dan elektronik). Seperti kelompok “paduan suara”, dalam Kasus HKBP di Ciketing ini, sejumlah media sekular menyanyikan lagu yang sama: kebebasan beragama ternoda; pluralisme terancam! Ujung-ujungnya mereka pun menjadikan umat Islam yang mayoritas sebagai pihak tertuduh dan mengklaim minoritas Kristen sebagai korban. Mereka antara lain menyuarakan, “Romo Benny: Negara Tidak Boleh Kalah oleh Pelaku Kekerasan”, (Detik.com), “Kebebasan Beribadah Terancam”, (Media Indonesia), “KWI: Gejala Intoleransi Terjadi,” (Kompas.com), dll.

Jika kita mencermati kasus-kasus serupa, tampak jelas bahwa media sekular sering secara sengaja menzalimi umat Islam. Dalam Kasus Monas dan Kasus Ciketing, misalnya, untuk memojokkan umat Islam, tanpa tahu malu mereka melakukan kebohongan, dengan kerap menutupi akar masalah sebenarnya. Mereka hanya memberitakan akibat, bukan sebab. Insiden Monas diberitakan sebagai “aksi kekerasan” umat Islam terhadap AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). Padahal yang terjadi adalah bentrokan antara FPI dan AKKBB yang disebabkan oleh provokasi AKKBB. Begitu pula dalam Kasus Ciketing. Tiba-tiba media memberitakan peristiwa tersebut sebagai “penusukan jamaat dan pendeta Kristen” oleh warga Muslim. Padahal faktanya, itu pun hanya bentrokan dua kelompok masyarakat, yang diawali oleh provokasi HKBP. Sebagian korbannya juga adalah Muslim, bukan hanya pihak HKBP.

Kasus bentrokan tersebut sesungguhnya berakar pada sikap arogan (sombong) dan pelanggaran jemaat HKBP yang selama ini tidak mematuhi instruksi Pemkot Bekasi untuk tidak beribadah di Ciketing. Sikap mereka ini telah lama menimbulkan kekesalan warga. Apalagi warga merasa terganggu karena kendaraan para jemaat sering menimbulkan kemacetan.

Ketiga: Penguasa/pejabat/aparat. Menyikapi Kasus Ciketing, pihak penguasa/pejabat/aparat pun seolah kehilangan kejernihan berpikir. Mereka bersikap tidak adil. Ketidakadilan mereka antara lain tampak pada beberapa kenyataan berikut:

Pendeta dan jemaat HKBP yang dirawat di rumah sakit dibesuk pejabat tinggi, mendapat perhatian khusus Presiden dan sejumlah menteri. Sebaliknya, mereka tak peduli sama sekali dengan warga Bekasi yang juga terluka dan dirawat di rumah sakit. Bahkan salah seorang dari 9 warga Bekasi yang terlibat bentrokan justru ditangkap saat sedang dirawat di sebuah rumah sakit akibat luka sabetan senjata tajam jemaat HKBP.

Ketidakadilan penguasa/pejabat/aparat juga tampak pada beberapa pertanyaan pihak FPI-yang dikait-kaitkan dengan Kasus Ciketing-antara lain sebagai berikut: Mengapa para pendeta HKBP yang menjadi provokator dan pengacau tidak diperiksa aparat? Mengapa kegiatan HKBP setiap Ahad di Ciketing yang menggelar konvoi ritual liar keliling perumahan warga Muslim dengan lagu-lagu Gereja secara demonstratif tetap dibiarkan? Mengapa jemaat HKBP yang memukul dan menusuk 9 ikhwan warga Bekasi tidak ditangkap? Mengapa saat terjadi insiden kecil terhadap seorang pendeta semua teriak nyaring, tetapi ketika ribuan umat Islam dibantai di Ambon, Sampit dan Poso teriakan macam itu tak terdengar? Bahkan saat sebuah masjid dibakar di Medan belum lama ini tak ada satu pun media nasional meliputnya? Kemana suara yang selalu mengatasnamakan kebebasan beragama dan beribadah? (Fpi.or.id, 16/9/2010).

 

Beberapa Penyebab

Dari beberapa fakta di atas, jelas bahwa terjadinya sejumlah konflik yang dianggap terkait dengan agama adalah disebabkan antara lain oleh: Pertama: Tirani minoritas (non-Muslim) atas mayoritas (Muslim). Dalam Kasus Ciketing, misalnya, jelas pihak Kristenlah yang selama ini tampak tidak toleran, bersikap arogan dan nyata-nyata melakukan provokasi terhadap umat Islam.

Kedua: Pelanggaran aturan oleh minoritas non-Muslim terhadap peraturan yang ada. Misal, di Bekasi sendiri berdiri tiga bangunan ilegal yang dijadikan sebagai tempat ibadah: Gereja HKBP Pondok Timur Indah di Kecamatan Mustika Sari, Gereja Gelilea Galaxi di Kecamatan Bekasi Selatan dan Gereja Vila Indah Permai (VIP) di Kecamatan Bekasi Utara. Selain itu, di Jawa Barat secara keseluruhan terdapat sekitar 200 gereja bermasalah terkait perizinannya (Republika.co.id, 17/9).

Pendirian gereja juga sering dengan menempuh cara-cara manipulatif, seperti pemalsuan tanda tangan warga. Ini sering terjadi di sejumlah daerah, yang pada akhirnya menjadi pemicu konflik. Contoh kecil, di Bogor Jawa Barat, Panitia pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin nyata-nyata telah memalsukan tandangan tangan warga. Dengan bekal tanda tangan warga yang dipalsukan, mereka bersikeras membangun gereja di wilayah tersebut meski mendapatkan penolakan keras warga setempat.

 

Pluralisme: Ide Palsu dan Berbahaya

Beberapa waktu lalu ribuan orang dari Jemaat HKBP, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Wahid Institute dan elemen organisasi masyarakat lain berunjuk rasa di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Ahad (15/8). Mereka menagih janji Pemerintah tentang kebebasan beragama.

Sebelum ini, tampak pula gerakan sistematis yang membangun opini: di Indonesia tak ada kebebasan beragama, golongan Islam radikal menyerang golongan minoritas, gereja dirubuhkan, dll. Opini kemudian disertai dengan pernyataan bahwa pluralisme di Indonesia terancam, Pancasila terancam dan NKRI terancam. Siapa yang mengancam? Kelompok-kelompok Islam ‘radikal’ yang memperjuangkan syariah.

Jelas ada penyesatan politik luar biasa di balik ini semua. Benarkah di Indonesia tak ada kebebasan beragama? Benarkah di Indonesia pembangunan gereja terhambat? Kenyataannya, menurut Kepala Badan Litbang Departemen Agama, Atho Mudzhar, sejak 1977 hingga 2004, pertumbuhan rumah ibadah Kristen malah lebih besar dibandingkan dengan masjid. Rumah ibadah umat Islam pada periode itu meningkat hanya 64,22 persen; sementara gereja Kristen Protestan meningkat 131,38 persen dan Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen (Republika, 18/2006).

 

Selain itu, umat Islam selama ini tidak mempersoalkan hak umat Kristen untuk beribadah. Yang dipersoalkan umat Islam adalah pembangunan gereja yang melanggar aturan, sebagaimana terpapar di atas. Lagi pula sudah banyak terjadi gereja dijadikan basis kristenisasi untuk memurtadkan penduduk sekitar yang Muslim.

Fakta-fakta seperti ini sering tak diungkap. Di sisi lain, sangat jarang di-blow-up oleh media massa bagaimana sulitnya umat Islam mendirikan masjid di tempat-tempat yang mayoritas penduduknya non-Muslim seperti di daerah Papua dan Bali.

Isu pembangunan gereja ini kemudian dipolitisasi oleh kelompok-kelompok liberal untuk mengkampanyekan ide sesat mereka tentang pluralisme yang sudah difatwakan haram oleh MUI. Tidak hanya itu, isu pluralisme juga digunakan kelompok liberal untuk melakukan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok Islam yang mereka cap radikal dan ingin menegakkan syariah Islam.

Semua ini menunjukkan bahwa ide pluralisme adalah palsu dan berbahaya bagi umat Islam.

 

Tegakkan Syariah, Buang Pluralisme!

Secara normatif, syariah Islam adalah rahmat bagi seluruh umat manusia; Muslim maupun non-Muslim (Lihat: QS al-Anbiya. [21]: 107). Lalu terkait keyakinan non-Muslim, Islam telah melarang siapapun untuk memaksa non-Muslim masuk Islam:

 

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) (QS al-Baqarah [2]: 256).

 

Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) warga negara non-Muslim disebut dengan kafir dzimmi. Mereka diperlakukan sama dengan warga negara Muslim. Kedudukanahludz-dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Siapa saja membunuh mu’ahid (orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun.” (HR Ahmad).

 

Menurut Imam Qarafi, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahludz-dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga…”

Adapun secara historis, penghargaan dan perlindungan Islam terhadap non-Muslim diakui oleh T.W. Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam, saat menuliskan bagaimana perlakuan baik yang diterima non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Khilafah Utsmaniyah, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman-selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani-telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa… Kaum Protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam…Kaum Cossack, yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”

 

T.W. Arnold juga menulis, “Saat Konstantinopel dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan atas kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan untuk Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya-hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios bahkan diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri…”

Demikianlah, dalam sistem Khilafah selama berabad-abad-tentu dengan penerapan syariahnya-orang-orang non-Muslim diperlakukan dengan sangat baik, tak hanya menyangkut kebebasan atas keyakinan mereka, tetapi juga keamanan harta dan jiwa mereka serta kesejahteraan mereka.

Walhasil, mari tegakkan syariah dan Khilafah, serta buang pluralisme!

 

Wallahu a’lam bi ash-shawab. []

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Al-Islam, Buletin

Tagged with , ,

Adab Untuk Bersilaturrahmi   Leave a comment


Orang yang suka dan gemar bersilaturahim akan di luaskan rezekinya dan dipanjangkan usianya.

 

 

Menyambung tali silaturahim merupakan salah satu kewajiban seorang Muslim, sedangkan memutusnya termasuk dosa besar. Silaturahim memiliki keutamaan yang sangat besar, selain di dunia dan juga kelak di akhirat.  Allah SWT dan Rasulullah SAW menjanjikan pahala yang sangat besar bagi Muslim yang bersilaturahim.

 

Orang yang gemar bersilaturahim pun akan mendapatkan manfaat yang tak terhingga dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW mengungkapkan, orang yang suka dan gemar bersilaturahim akan di luaskan rezekinya dan dipanjangkan usianya.

 

Nabi SAW bersabda, ”Barang siapa yang suka apabila Allah membentangluaskan rezeki banginya dan memanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilaturahim. (HR Bukhari). Kebenaran hadis itu telah dibuktikan melalui hasil penelitian ilmiah yang dilakukan Dr Rachel Cooper, dari Dewan Penelitian Medis.

 

Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam British Medical Journal itu menyebutkan bahwa orang yang suka bersalaman dan bersilaturahim lebih panjang usianya. Menyambung tali silaturahim pun sangat diperintahkan kepada setiap umat yang beriman.

 

Rasulullah SAW bersabda, ”…Barang siap yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim…” (HR Bukhari). Nah, agar silaturahim  bisa memberi manfaat dunia dan akhirat, maka adab-adabnya perlu diperhatikan.

 

Apa sajakah adab silaturahim yang harus diperhatikan seorang Muslim? Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada dalam kitab Mausuu’atul Aadaab al-Islamiyah merinci adab-adab silaturahim yang sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunah. Berikut adalah adab bersilaturahim:

 

Pertama, niat yang baik dan ikhlas ”Allah tak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas. Maka wajib bagi siapapun mengikhlaskan niatnya kepada Allah SWt dalam menyambung tali silaturahim. Janganlah, seseorang bersilaturahim dengan tujuan riya,” ungkap Syekh Sayyid Nada.

 

Kedua, mengharap pahala Menurut Syekh Sayyid Nada, hendaknya seorang Muslim bersilaturahim untuk menentikan dan mengejar pahala, sebagai mana yang telah Sang Khalik janjikan. Untuk itu, hendaknya seseorang yang bersilaturahim menunggu balasan yang setimpal dari manusia.

 

Ketiga, memulai silaturahim dari yang terdekat ”Semakin dekat hubungan rahim, maka semakin wajib menyambungnya,” ungkap Syekh Sayyid Nada. Perkara ini, kata dia, perlu diperhatikan setiap Muslim dalam menyambung tali silaturahim.

 

Keempat, mendahulukan silaturahim dengan orang yang paling bertakwa kepada Allah SWT Semakin bertakwa seorang karib kerabat kepada Allah SWT atau semakin bagus agamanya maka semakin besar pula haknya dan semakin bertambah pahala bersilaturahim dengannya. Meski begitu, kata Syekh Sayyid nada, silaturahim juga dianjurkan kepada karib kerabat yang kafir dan tidak saleh, dengan tujuan untuk mengajak pada jalan kebenaran.

 

Kelima, mempelajari nasab dan mencari-cari kerabat yang bersambung kepada seseorang dari kerabat jauh Ada sebagian orang, kata Syekh Sayyid Nada, yang merasa cukup bersilaturahim dengan saudara-saudaranya saja, kemudian meninggalkan selain mereka. Ada pula sebagian orang yang bersilaturahim dengan orang yang ia kenal saja, tak begitu peduli terhadap karib kerabat jauhnya. Padahal, mereka sebenarnya juga berhak untuk disambung tali silaturahimnya.

 

Nabi SAW bersabda, ”Pelajarilah nasab-nasab kalian yang denga itu kalian dapat menyambung tali silaturahim. Sebab, menyambung silaturahim dapat mendatangkan kasih saying dalam keluarga, mendatangkan harta, dan memanjangkan umur.” (HR at-Tirmidzi).

 

Keenam, tak henti menyambung silaturahim dengan orang yang memutusnya Rasulullah menganjurkan agar seorang Muslim tetap berupaya menyambung tali silaturahim dengan karib kerabatnya, walaupun mereka selalu berupaya memutusnya. Menurut Nabi SAW, upaya orang tetap menyambung tali silaturahim akan senantiasa mendapat pertolongan dari Allah SWT. Ketujuh, memulai dengan bersedekah dan berbuat baik kepada kerabat yang membutuhkan Nabi SAW bersabda, ”Sebaik-baiknya sedekah adalah sedekah yang diberikan kepada karib kerabat yang benci.” (HR Al-Hakim).

 

Kedelapan, menahan gangguan terhadap karib kerabat Seorang Muslim seharusnya tak menyakiti karib kerabatnya, baik dengan perkataan maupun perbuatan, dan menjaga perasaan mereka sebisa mungkin.

 

Kesembilan, menumbuhkan rasa gembira pada karib kerabat Menurut Syekh Sayyid Nada, sebisa mungkin hendaknya seseorang saling mengunjungi satu sama lain, terutama pada hari Id dan pada saat-saat tertentu.

 

N heri ruslan/ sumber:  Ensiklopedi Adan Islam Menurut Alquran dan As-Sunah terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i

 

Posted 22 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Buletin

Tagged with , ,