Archive for 23 Oktober 2010

Tersenyumlah Pada Semua Orang   7 comments


Tertawa sewajarnya merupakan obat kecemasan dan pelipur kesedihan. Dalam senyum terdapat kekuatan yang menakjubkan dalam menggembirakan jiwa dan menyenangkan hati, sehingga Abu darda berkata: “Sesungguhnya aku akan tertawa hingga hatiku akan terhibur.” Tertawa merupakan puncak keceriaan, kelegaan dan keriangan, asalkan tidak berlebihan, dengan sewajarnya, dan tidak di maksudkan mengejek atau mencemooh: “Jangan terlalu banyak tertawa, karena terlalu banyak tertawa akan mematikan hati.”

Hakikatnya, Islam adalah agama yang dibangun atas dasar keseimbangan dan keadilan, baik dalam hal akidah, ibadah, akhlak, maupun tingkah laku. Oleh karena itu, janganlah anda masamkan raut muka anda sehingga menakutkan orang yang melihat. Jangan pula anda tertawa terbahak – bahak. Akan tetapi, tampilkanlah wajah yang tenang, selalu berseri dan enak dipandang, sehingga menyenangkan orang yang memandang.

Kalau kita diminta memilih antara harta yang banyak atau jabatan terhormat dan jiwa yang tenang penuh keceriaan, tentu anda akan memilih yang kedua. Apa artinya harta jika jiwa penuh kemuraman? Apa artinya pangkat dan jabatan jika jiwa terkekang? Apa artinya kecantikan istri bila ia selalu cemberut dan menjadikan suasana rumah seperti neraka? Sungguh lebih baik seribu kali lipat istri yang tidak terlalu cantik tetapi mampu menciptakan suasana rumah seperti surga.

Senyum yang tampak secara lahir tidak akan bernilai bila muncul dengan pura – pura dan untuk menutupi seseorang yang berperangai menyimpang. Lihatlah bunga juga tersenyum; hutan tersenyum; dan lautan, sungai, langit, bintang, burung, semuanya tersenyum. Senyum mereka itulah senyum yang tulus.

Jiwa yang senantiasa tersenyum akan melihat kesulitan dengan nyaman sambil berusaha mengatasinya. Jika mereka melihat sebuah persoalan, mereka tersenyum dan tetap tersenyum ketika mampu mengatasinya. Sebaliknya, jiwa yang muram akan akan melihat kesulitan dengan kesedihan. Bila menemui kesulitan, ia akan meghindar atau  membesar-besarkannya, semangatnya melemah dan berandai andai dengan kata-kata “kalau”, “bila”, dan “jika”.

Betapa kita amat membutuhkan senyuman, keceriaan wajah, kelapangan dada, kemrahan hati, kelemahlembutan, dan keramahan. “Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mewahyukan kepadaku (Rasululloh Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam) agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak ada seorang pun yang berbuat zhalim terhadap orang lain.”

Disalin dari: Arsip Moslem Blogs dan sumber artikel dari Media Muslim Info

 

Artikel lain dari arraahmanmedia.wordpress.com

 

Posted 23 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Buletin

Tagged with , , ,

Do’a-Do’a Rasulullah saw   5 comments


Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang banyak berdoa, memohon dan menunjukkan ketergantungan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Beliau sangat menyukai kalimat-kalimat yang ringkas namun sarat makna dan juga menyukai ucapan-ucapan doa.

Doa adalah ibadah yang sangat agung, yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Hakikat doa adalah menunjukkan ketergantungan kita kepada Alloh Subhanahu wa Ta’aladan berlepas diri dari daya dan upaya makhluk. Doa merupakan tanda Ubudiyah (penghambaan diri secara totalitas kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala). Doa juga merupakan lambang kelemahan manusia. Di dalam ibadah doa terkandung pujian terhadap Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Disamping itu terkandung juga sifat penyantun dan pemurah bagi AllohSubhanahu wa Ta’ala. Oleh sebab itu Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Doa itu adalah ibadah” (HR: Tirmidzi)

Di antara doa Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, yang artinya: “Ya Alloh, tolonglah daku dalam menjalankan agama yang merupakan pelindung segala urusanku. Elokkanlah urusan duniaku yang merupakan tempat aku mencari kehidupan. Elokkanlah urusan akhiratku yang merupakan tempat aku kembali. Jadikanlah kehidupanku ini sebagai tambahan segala kebaikan bagiku dan jadikanlah kematianku sebagai ketenangan bagiku dari segala kejahatan.” (HR: Muslim)

Di antara doa beliau adalah, yang artinya: “Ya Alloh, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Ya Rabb Pencipta langit dan bumi, Rabb segala sesuatu dan yang merajainya. Aku bersksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan diriku, kejahatan setan dan bala tentaranya, atau aku melakukan kejahatan terhadap diriku atau yang aku tujukan kepada seorang muslim lain.” (HR: Abu Daud)

Demikian pula doa berikut ini: “Ya Alloh, cukupilah aku dengan rizki-Mu yang halal (supaya aku terhindar) dari yang haram, perkayalah aku dengan karunia-Mu (supaya aku tidak meminta) kepada selain-Mu.” (HR: At-Tirmidzi)

Di antara permohonan beliau kepada Alloh Subhannahu wa Ta’ala, yang artinya: “Ya Alloh, ampunilah dosaku, curahkanlah rahmat-Mu kepadaku dan temukanlah aku dengan teman yang tinggi derajatnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdoa memohon kepada Rabb Subhanahu wa Ta’ala baik pada waktu lapang maupun pada saat sempit. Pada peperangan Badar, beliau berdoa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala hingga jatuh selendang beliau dari kedua pundaknya, memohon kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar menurunkan pertolongan bagi kaum muslimin dan menjatuhkan kekalahan atas kaum musyrikin. Beliau sering berdoa untuk dirinya sendiri, untuk keluarga dan ahli bait beliau, untuk sahabat-sahabat beliau bahkan untuk segenap kaum muslimin.

(Sumber Rujukan: Sehari Di Kediaman Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam, Asy-Syaikh Abdul Malik bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Qasim)

Disalin dari: Arsip Moslem Blogs dan sumber artikel dari Media Muslim Info

 

Artikel lain dari arraahmanmedia.wordpress.com


Posted 23 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Buletin

Tagged with ,

Kendalikan Hawa-Nafsu   3 comments


Cinta kita kepada Allah SWT dan keyakinan bahwa kehidupan di dunia ini suatu saat akan berakhir dan di akhirat nanti masing-masing kita harus mempertanggungjawabkan setiap detik perjalanan hidup di dunia, memiliki andil yang sangat besar dalam mengendalikan kecenderungan hawa nafsu.

Suatu saat terjadi dialog antara Rasulullah SAW dengan Hudzaifah Ra. Rasulullah Saw bertanya kepada Hudzaifah. Ya Hudzaifah, bagaimana keadaanmu saat ini? Jawab Hudzaifah: “Saat ini saya sudah benar-benar beriman, ya Rasulullah”. Rasul kemudian mengatakan, “Setiap kebenaran itu ada hakikatnya, maka apa hakikat keimananmu, wahai Hudzaifah?” Jawab Hudzaifah: Ada “dua”, ya Rasulullah. Pertama, saya sudah hilangkan unsur dunia dari kehidupan saya, sehingga bagi saya debu dan mas itu sama saja. Dalam pengertian, saya akan cari kenikmatan dunia, lantas andaikata saya dapatkan maka saya akan menikmatinya dan bersyukur kepada Allah SWT.  Tapi, kalau suatu saat kenikmatan dunia itu hilang dari tangan saya, maka saya tinggal bersabar sebab dunia bukanlah tujuan. Bila ia datang maka Alhamdulillah, dan bila ia pergi maka, Innalillaahi wa inna ilaihi raji’un. Yang kedua, Hudzaifah mengatakan, “setiap saya ingin melakukan sesuatu, saya bayangkan seakan-akan surga dan neraka itu ada di depan saya. Lantas saya bayangkan bagaimana ahli surga itu me-nikmati kenikmatan surga, dan sebaliknya bagaimana pula ahli neraka itu merasakan azab neraka jahanam. Sehingga terdoronglah saya untuk melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang-Nya”.

Mendengar jawaban Hudzaifah ini, Rasul langsung saja memeluk Hudzaifah dan menepuk punggungnya sambil berkata,  “pegang erat-erat prinsip keimananmu itu, ya  Hudzaifah, kamu pasti akan selamat dunia akhirat”. Bila kita cermati dialog tersebut, paling tidak, ada “dua” hikmah yang bisa kita petik. Pertama, iman kepada Allah, dengan mencintai Allah itu di atas cinta kepada selain Allah. Dan yang kedua, selalu membayangkan akibat dari setiap perbuatan yang dilakukan di dunia bagi kehidupan yang abadi di akhirat nanti.

Di dalam beberapa ayat, Allah SWT menjelaskan tentang sifat-sifat orang-orang yang muttaqin, mereka di antaranya adalah yang meyakini akan adanya kehidupan akhirat. Orang yang beriman akan adanya kehidupan akhirat, akan membuat dia mampu mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak meyakini akan adanya kehidupan akhirat, “Mereka tidak pernah takut dengan hisab Kami, dan mereka telah mendustai ayat-ayat Allah dengan dusta yang nyata.” (An Naba’, 78 : 27-28)

Di dalam Alquran, Allah SWT mengisahkan dialog sesama Muslim di akhirat yakni antara Muslim yang ahli surga dengan Muslim berdosa yang masuk dalam neraka jahanam. Muslim yang langsung masuk surga bertanya kepada Muslim berdosa yang masuk ke dalam neraka. “Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam neraka ? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan hingga datang kepada kami kematian.” (Al Muddatstsir, 74 : 42-46)

Menurut Alquran, kebanyakan orang-orang yang kufur adalah mereka yang akhir hidupnya penuh dengan kemaksiatan. Ini terjadi karena mereka tidak mengimani bahwa kehidupan mereka akan berakhir di alam akhirat dan mereka harus mempertanggungjawabkan seluruh aspek kehidupan mereka selama di dunia. Demikian pula, Allah SWT mengisahkan kesombongan Fir’aun dan orang-orang yang menyembahnya, “Sombonglah Fir’aun itu dengan seluruh pengikutnya di muka bumi tentu dengan alasan yang tidak benar. Dan mereka mengira, bahwa mereka tidak akan pernah kembali kepada Kami.” (Al Qashash, 28 : 39)

Kesombongan Fir’aun berakhir saat sakaratul maut. Saat dia menyadari bahwa dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Ketika rombongan malaikat yang bengis-bengis itu mendatanginya saat dia sedang berada di tengah laut, yang dikisahkan para malaikat itu langsung memukul wajah dan punggung mereka. Allah SWT berfirman: “..Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat pada waktu orang-orang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu”. Pada hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (Al An’aam, 6 : 93)

Pada saat sakaratul maut itu, Fir’aun menyatakan: “Sekarang saya benar-benar beriman dengan Tuhannya Nabi Musa dan Harun”. Namun saat sakaratul maut pintu taubat sudah ditutup. Karena sudah tidak ada lagi ujian keimanan, sebab yang ghaib termasuk alam dan makhluk ghaib sudah terlihat nyata. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (Qaaf, 50 : 22)

Orang yang beriman kepada Allah dan beriman kepada hari pembalasan/akhirat, yang diharapkan dapat mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya untuk hanya mencintai yang dicintai Allah dan membenci yang dibenci Allah, yang hanya mencintai sesuatu di dunia jika yang dicintainya itu dicintai Allah SWT.

Dalam sebuah hadis dikisahkan, suatu ketika pada siang hari, Sayidana Umar ra. berkunjung ke rumah Rasulullah SAW di mana saat itu Rasul sedang tidut beristirahat, dengan dada telanjang. Ketika beliau bangun tampaklah pada punggungnya garis-garis merah karena kasarnya alas tidur beliau yang dibuat dari pelepah kurma. Melihat pemandangan ini, Sayidina Umar menangis. Beliau yang terkenal keras saat itu luluh hatinya ketika melihat Rasulullah dalam kondisi seperti itu. Rasul bertanya: “Apa yang membuat kamu menangis wahai Sayidina Umar ? “Umar berkata:” saya malu ya Rasulullah, engkau adalah pemimpin kami, engkau adalah Rasul Allah, manusia pilihan, manusia yang dimuliakan-Nya. Engkau adalah pemimpin ummat, namun engkau tidur di atas alas yang kasar seperti ini, sementara kami yang engkau pimpin tidur di atas alas yang empuk. Saya malu ya Rasusulullah, selayaknya engkau mengambil alas tidur yang lebih dari ini”. Rasul menjawab: “Apa urusan saya dengan dunia ini? Tidak ada! Urusan diri saya dengan dunia ini kecuali seperti orang yang sedang mengembara dalam musim panas menempuh sebuah perjalanan yang cukup panjang, lalu sekejap mencoba bernaung di bawah sebuah pohon yang rindang untuk sekejap melepas lelah. Setelah itu dia pun kemudian pergi meninggalkan tempat peristirahatannya”. Kata Rasul: haruskah saya korbankan kehidupan yang abadi hanya untuk bernaung sejenak menikmati itu? (HR. Ahmad, Ibnu Habban, Baihaqi)

Selain kisah di atas, ada kisah lain yang layak kita renungkan di mana suatu ketika Khalifah Umar kedatangan putranya, Abdullah, yang meminta dibelikan baju baru. Secara spontan saja Sayidina Umar langsung marah sambil mengatakan: “Apakah karena kamu seorang anak Amirul Mu’minin lantas kamu ingin bajumu selalu lebih baik dari anak-anak yang lain ? Jawab Abdullah: Tidak! Saya khawatir malah kondisi saya ini akan menjadi fitnah, menjadi bahan cemoohan orang lain di mana anak Amirul mu’minin pakaiannya tidak pernah ganti-ganti, sebab dia hanya memiliki dua baju, di mana bila yang satu dipakai maka yang satu dicuci dan seterusnya. Sayidina Umar berkata: “Baiklah Nak, saya ingin belikan kamu baju baru hanya saja ayah saat ini tidak punya uang. Untuk itu kamu saya utus menemui “Khoolin Baitul Maal’ (bendahara negara), sampaikan kepada beliau salam dari ayah dan katakan pula bahwa ayah bermaksud mengambil gajinya bulan depan untuk membelikan kamu baju baru. Abdullah langsung menemui bendaharawan negara dengan mengatakan: “Ada salam dari ayah. Dan, ayah minta supaya gaji bulan depan bisa diserahkan saat ini untuk membelikan saya baju baru”. Bendaharawan tersebut mengatakan: “Nak, sampaikan kembali salamku kepada ayahmu, dan katakan bahwa aku tidak bersedia mengeluarkan uang itu”. Tanyakan kepada ayahmu, apakah ayahmu yakin sampai bulan depan beliau masih menjabat Amirul Mu’minin, sehingga berani mengambil uang gajinya bulan depan sekarang ? Andaikata dia yakin sampai bulan depan dia masih Amirul Mu’inin, yakinkah sampai besok dia masih hidup, bagaimana kalau besok ia meninggal dunia padahal gajinya bulan depan sudah dikeluarkan. Mendengar jawaban bendahara negara yang demikian itu, pulanglah Abudullah segera menemui ayahnya sambil menyampaikan pesan dari bendaharawan tersebut.

Mendengar penuturan anaknya, Umar langsung menggandeng tangan anaknya sambil mengatakan, antarkan saya menemui bendaharawan tadi. Begitu sampai di hadapan bendaharawan tersebut, Sayidina Umar langsung memeluknya, sambil mengatakan, terima kasih, saudara telah mengingatkan saya terhadap satu keputusan yang nyaris saja salah. Demikianlah kisah Sayidina Umar dan masih banyak lagi kisah lain dari perjalanan hidup para sahabat yang patut kita teladani untuk menghadapi dinamika kehidupan yang terus berkembang mengikuti perputaran zaman.

Allah SWT telah mengingatkan tentang bahayanya manusia-manusia yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan hidupnya, “Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya.” (An Naazi’aat, 79 : 39) “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nyadan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (An Najm, 53 : 29-30)

Akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat yang sedemikian mulianya bisa terwujud tiada lain karena adanya benteng keimanan yang sangat kuat dan kokoh. Semoga kita bisa meneladani apa yang menjadi perilaku Rasul dan para sahabatnya. Amin!

Wallahu a’lam bish-shawab

Posted 23 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Buletin

Menimbang dan Melestarikan Amalan Kita   3 comments


Kualitas amaliah kita kepada Allah SWT tidak diukur melalui jumlah, kuantitas, berat, dan ringannya ibadah. Akan tetapi, diukur oleh jiwa yang ikhlas.

Keikhlasan itu hanya muncul dari jiwa yang zuhud, hati yang tidak dipenuhi oleh hasrat, kecuali hanya kepada Allah. Karena itu, walaupun kecil, sedikit, dan barangkali sepele, jika amaliah itu muncul dari jiwayang zuhud, nilainya justru besar dan banyak.

Sebaliknya, jika amaliah itu dihitung dengan kuantitas, bahkan dilakukan oleh ribuan orang, tapi keikhlasan dan kezuhudan tidak tertanam dalam hatinya, sebanyak apa pun amaliah itu tetap dinilai kecil.

Bagi seorang zahid, amaliah adalah sesuatu yang muncul dari jiwa yang kosong dan dari kepentingan nafsu duniawi. Karena itu “Dua rakaat dari seorang alim yang zahid itu lebih dicintai oleh Allah daripada ibadah orang yang beribadah, tapi penuh ambisi duniawi,” terang Nabi Muhammad SAW sebagaimana diriwayatkan melalui Ibnu Mas’ud ra.

Dengan demikian, ukuran kualitas amal kita terletak dari keikhlasan dan kezuhudan meraih ridha Allah SWT dan surga-Nya. Nah, Ramadhan sebenarnya datang untuk meletakkan pemahaman kita dalam “halte” ini.

Kita berpuasa lalu berbuka. Kita tegakkan yang wajib, bahkan ditambah dengan yang sunah, tangan kita terbuka dan membentang sedekah, yang semua itu harus dikendarai dengan penuh keikhlasan dan kezuhudan sehingga akan mudah sampai pada terminal ridha dan surga-Nya.

Kini, secara perlahan, Ramadhan yang agung akan meninggalkan kita. Tinggal menghitung hari, kita akan menyelesaikan ibadah puasa dan setelah itu berlebaran. Lantas muncul pertanyaan, apa yang telah kita dapat selama bulan penuh rahmat dan ampunan ini? Apakah ada sesuatu yang baru dapat kita petik dari hikmah puasa yang bakal kita terapkan dalam kehidupan kita setelah Ramadhan? Apakah puasa kita kali ini tidak jauh beda dengan puasa-puasa sebelumnya?

Berbagai pertanyaan itu patut kita sampaikan dalam rangka merenungkan kembali apa yang telah kita lakukan selama menjalankan ibadah Ramadhan. Banyak yang mengatakan, kecenderungan kita lebih banyak melaksanakan ibadah puasa sebagai ritual rutin karena bulan Ramadhan akan selalu ditemui setiap tahun. Banyak orang berpuasa karena memang waktunya berpuasa. Kita berpuasa malah karena kebanyakan orang berpuasa. Artinya, puasa tidak lebih karena mengikuti tradisi.

Tentu saja kita semua tidak mau dituduh demikian. Bagaimanapun juga, kita berpuasa karena mengikuti ajaran agama. Ada yang ingin kita kejar yaitu kesucian diri dan kemenangan. Ada yang ingin kita incar, yaitu menjadi manusia ikhlas, zuhud, dan istiqamah dalam merangkai ketakwaan.

Dalam takwa, ada keseriusan dan ketaatan. Berarti Ramadhan menempa kita untuk menjadi manusia yang serius dalam ketaatan kepada-Nya. Dengan demikian, kesucian diri itu akan kita dapatkan dan kemenangan pun bisa kita raih, setelah sebulan berpuasa di hari yang fitri.

Sumber: Kolom Hikmah Republika oleh Ustadz Muhammad Arifin Ilham, 3 September 2010

 

Posted 23 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Buletin

Menyingkap Rahasia Malam Hari   3 comments


Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. Dan katakanlah:”Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong. Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (al-Isra’79-81)

Malam berbeda dari siang. Malam itu gelap dan siang itu terang, karena itu waktu malam lebih cocok untuk tidur, bersenang-senang dengan keluarga dan istirahat. Siang itu sebenarnya adalah waktu bangun dan bekerja dalam mencari karunia Allah.

Karena itu, di mana-mana di seluruh dunia, waktu kerja resmi selalu di siang hari. Waktu kerja malam sebenarnya bersifat emergency untuk mengurus kepentingan umum seperti kesehatan, keamananan dan lain-lain.

Karena kegiatan ummat manusia pada umumnya di siang hari, maka suasana malam lebih hening dan tenang. Suasana seperti ini lebih cocok untuk beribadah dan membuka kontak batin dengan Allah Tuhan Pencipta.

Batin manusia adalah suatu yang bersifat spiritual yang tidak bisa diindera oleh manusia dan Allah Maha Tinggi juga adalah sesuatu yang bersifat spiritual yang tidak bisa diindera oleh manusia. Pada waktu itulah spirit bertemu dengan spirit sehingga terjadi komunikasi yang menyambung.

Di siang hari, manusia sibuk dengan urusan keluarga, ekonomi, kegiatan masyarakat dan negara. Boleh jadi di siang hari orang tidak fokus dalam mengingat Allah dan beribadah kepada-Nya. Lagi pula kekurangan istirahat di malam hari karena digunakan untuk shalat malam bisa diganti di siang hari di saat-saat waktu istirahat biasa.

Al-Muzammil 7

Sesungguhnya kamu mempunyai kesibukan yang panjang di siang hari. (al-Muzammil 7)

Urusan dunia telah menguras tenanga dan pikirannya sepanjang hari. Banyak prestasi yang telah ia raih, tetapi juga banyak cita-cita yang belum tercapai dan masalah yang susah untuk dipecahkan. Allah Yang Maha Tahu menyiadakan waktu baginya di malam hari untuk menenangkan hati dan pikiran sambil memberikan kesempatan kepadanya di waktu-waktu tertentu di bagian malam untuk munajat kepada Allah, mengadukan nasibnya dan memohon jalan keluar untuk masalah yang sedang ia hadapi. Ini adalah bagian dari sifat Rahman dan Rahim Allah s.w.t.

Qur’an mengatakan bahwa bangun di waktu malam sangat kondusif untuk berbubungan dengan Allah melalui berbagai upaya seperti shalat, zikir, do’a, membaca Qur’an, istighfar, taubat, tafakkur, minta pendapat (istikharah) dan lain-lain.

Shalat malam ada yang bersifat wajib dan ada yang bersifat sunnat. Shalat wajib adalah shalat Maghrib di awal malam, shalat Isya di awal/ pertengahan malam dan shalat Shubuh di akhir malam. Shalat sunnat ada yang dilakukan sebelum shalat wajib atau setelahnya, dan juga shalat sunnat malam yang disebut qiyamul-lail seperti shalat tahajjud dan shalat tarawih di malam Ramadhan serta shalat witir, yang waktunya mulai shalat Maghrib dan ‘Isya’ sampai menjelang waktu subuh.

Shalat malam yang utama adalah yang dilakukan setelah bangun dari tidur di malam hari, di saat orang lain sedang tidur nyenyak. Inilah yang disebut shalat tahajjud. Di saat itu, insan mu’min bangun dari tidurnya yang nyenyak. Ia kalahkan perasaan kantuk yang berat, lalu berwudhu’ dan melakukan shalat malam dengan khusyu’ menghadap Allah s.w.t.

Lakukanlah shalat sunnat tahajjutdi sebagian malam; mudah-mudahan Tuhanmu akan membangkitkanmu pada tempat yang terpuji. (al-Isra1 79)

Qur’an mengatakan bahwa shalat malam asyaddu watha’an wa aqwamu qila (sangat menyambung dengan Allah dan ucapannya sangat mantap). Shalat malam menjadi menyambung dan mantap karena dilakukan dengan tekad mengalahkan kantuk, membasahi anggota tubuh dengan air wudhu’, suasana yang hening di mana yang terdengar hanya bisikan dan desir nafas hamba yang sedang membaca bacaan shalat, zikir dan doa dengan penuh tekun, kata demi kata diikuti dengan perasaan harap-harap cemas apakah akan memperolah kasih sayang-Nya atau tetap dalam kesulitan.

Bacaan shalat membimbing orang beriman kepada kehidupan yang diridhai Allah. Bacaan shalat mulai takbiratul ihram, do’a iftitah, al-Fatihah, bacaan ayat-ayat Qur’an, doa dan zikir ruku’, sujud, dan duduk di antara sujud, sampai kepada salam, semuanya adalah bacaan yang mengingatkan orang beriman akan kebesaran Allah dan kebutuhan manusia kepada-Nya.

Tidak ada tempat berlindung yang lebih aman kecuali kepada Allah. Bacaan tersebut akan lebih menyambung dan mantap bila dilakukan dengan pengertian. Memahami bacaan adalah bagian dari praktek shalat yang khususu’ di mana antara amalan mulut, hati dan badan tidak terpisah. Karena itu, ada kewajiban setiap orang beriman untuk belajar bahasa Arab, paling tidak bahasa Arab menyangkut bacaan-bacaan yang ada dalam ibadah shalat, do’a dan zikir.

Dulu untuk belajar bahasa Arab orang harus masuk pesantren atau jadi santri di madrasah, tetapi sekarang banyak cara yang bisa dilakukan. Pepatah lama mengatakan bahwa tidak satu jalan ke Roma. Pada waktu ini banyak metode yang ditemukan oleh para ahli untuk menguasai bahasa Arab praktis. Bagi yang mempunyai peluang, banyak lembaga yang menyelenggarakan kursus-kursus dan buku-buku praktis yang bisa digunakan untuk belajar. Bila ada kemauan pasti di sana ada jalan.

Di samping bacaan shalat, ada zikir dan do’a yang bisa dipanjatkan kepada Allah. Allah dan Rasul telah mengajarkan zikir untuk berbagai keperluan dan kesempatan dalam rangka mendekatkan hamba kepada Tuhannya, termasuk zikir di shalat malam. Mengenai do’a ada dua jenis. Pertama adalah do’a-do’a dengan formula-formula baku dari Qur’an dan Sunnah. Formula-formula tersebut adalah untuk dijadikan contoh bagi orang beriman. Kedua adalah do’a yang baik sesuai kebutuhan hamba yang berdo’a dengan bahasa dan susunan kata yang ia pilih sendiri. Do’a yang maqbul bersyarat dengan ketulusan hati, keimanan yang kuat dan harapan yang besar akan mustajab dari Allah s.w.t.

Di antara do’a shalat malam:
Tuhanku! Masukkanlah aku ke tempat masuk orang yang benar! Keluarkanlah aku dari tempat keluar orang yang benar dan jadikan untukku dari sisi Engkau tempat terpuji! (al-Isra1 75)

Selanjutnya hamba yang bersangkutan diminta untuk mengucapkan:
Telah datang kebenaran dan telah hancur kebatilan dan kebatilan itu sudah semestinya hancur! (al-Isra1 76)

Bacaan ini mengisyaratkan bahwa Allah akan selalu memenangkan kebenaran dan membatalkan kebatilan. Bila hamba berjalan di jalan yang benar dan ia konsisten untuk itu, maka Allah pasti akan membantunya. Dosa-dosanya akan diampuni. Kesalahan-kesalahannya akan diperbaiki. Cita-citanya akan tercapai. Kasih saying Allah akan selalu menyertainya.

Allah Maha Rahman memberikan sebuah media kepada hamba-Nya yang beriman untuk keluar dari keragu-raguan yang dihadapinya dalam hidup. Media itu adalah shalat istikharah (mohon pertimbangan Allah untuk memantapkan hati terhadap sebuah pilihan yang lebih baik), yang lebih afdhal di dilakukan di malam hari. Boleh jadi seorang insan dihadapkan kepada dua pilihan yang sulit.

Misalnya dalam memilih teman hidup (seorang calon isteri atau calon suami), tempat bekerja yang cocok, pegawai dan teman sekerja, atau proyek tertentu yang menyangkut kepentingan banyak orang. Di saat pertimbangan orang-or-ang yang dekat dengannya tidak dapat meyakinkan dirinya, maka pada waktu ia munajat kepada Allah melalui shalat istikharah, mohon supaya ditunjuki jalan yang benar. Shalat istikharah dapat ciilakukan berkali-kali sampai hatinya mantap utuk membuat sebuah keputusan yang tepat.

Orang yang bangun di tengah dalam rangka beribadah kepada Allah dan mendekatkan dirinya kepada-Nya mempunyai kedudukan tersendiri di sisi Allah.

Apakah orang yang menyembah di tengah malam dalam keadaan sujud atau berdiri mengkhawatirkan hari akhirat dan mengharapkan kasih sayang Tuhannya (sama dengan orang yang tidak melakukannya)? Katakanlah apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui? Oramg yang selalu ingat kepada Allah dalah orang yang mempunyai pemahaman.(al-Israr1 9)

Dalam ayat lain (Al ‘Imran 191) dinyatakan bahwa orang yang mempunyai pemahaman atau ulul-albabadalah orang yang selalu ingat (zikir) kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring. Mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Mereka mengatakan: “Semua ini tidak Engkau ciptakan dengan percuma! Maha Suci Engkau dan jauhkanlah kami dari siksa neraka.”

Inilah yang dimaksud tadabbur, yaitu mengamati ciptaan Allah dengan pikiran dan hati yang mendalam, lalu membawa insan yang bersangkutan kepada kesimpulan akan kebesaran Allah dan kekerdilan manusia. Intinya adalah bertasbih memuji Allah, mensyukuri nikmat yang diberikan, selalu berserah diri kepada-Nya dan mohon dihindarkan dari mara bahaya, terutama azab neraka.

Sumber : Buletin Dakwah No. 46 Thn. XXXIV Jum’at ke-3 16 November 2007

 

Posted 23 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Ad-Dakwah, Buletin

Cinta Dunia dan Takut Akan Kematian   2 comments


“Ummat-ummat terdahulu akan berkoalisi hendak menguasai kalian, seperti berkumpulnya jago-jago makan ketika menyantap makanan”. Sahabat bertanya: “apakah karena jumlah kami yang sedikit pada saat itu.” Nabi s.a.w menjawab: “bahkan jumlah kalian saat itu, justru sangat banyak. Akan tetapi tak ubahnya seperti buih banjir. Allah mencabut rasa takut pada musuh kalian, sebaliknya Allah menanamkan di hati kalian penyakit wahn”. Sahabat kembali bertanya: “apa itu penyeakit wahn.” Nabi s.a.w bersabda: “cinta dunia dan takut mati.” (Shahih. HR.Abu Dawud [2/102], Imam Ar-Ruyani [25/134/2], Ahmad [5/287]. Dishahihkan Syeikh Albani dalam as-Shahihah [2/684], Shahihul Jami’ [8183], Shahih Sunan Abu Dawud [4/111]).

Dewasa ini dunia modern sedang ditulari oleh penyakit yang lebih berbahaya dari penyakit yang selama ini manusia anggap berbahaya. Rasulullah s.a.w menyebutnya dengan wahn. Penyakit wahnini dimensinya banyak, faktor dan efeknya kemana-mana, sebab-akibatnya beragam. Jika berhubungan dengan budaya kerja. bentuknya adalah ad-dha’fu fi’l-’amal wa’l-amri, yaitu lemah amal. Bentuknya: Ke bawah lemah inisiatif, ke atas lemah instruksi.

Dalam konteks ini, wahn sangat berpotensi merontokan bangunan ummat menjauhkan hubungan makmum dengan imam, antara atasan
dengan bawahan, antara rakyat dengan pemimpin. Wahn melemahkan garis komando, memandulkan instruksi. membuat aba-aba tidak berdaya. Dengan penyakit ini, bisa-bisa suatu saat imam bacawaladhalin, makmum di belakangnya, tidak nyahut Amin. Jadi wahn bisa merobohkan batu bata ummat, merontokkan seluruh persendian ummat.

Para pejuang kita menyimpulkan: pantang bagi orang mukmin bersikap wahn dan huzn (lemah dan gentar). Dalam banyak riwayat disebutkan, yang membikin kita wahn dan huzn, adalah musuh kita juga, yakni syetan (inna’s-syaithan yukhzinuhu). Nabi Zakaria a.s walaupun sudah wahn dari sisi umur, tetapi ia tidak wahn dari sisi semangat (inni wahana’l-’adzmu minniy, Maryam:4).

Para Sahabat Nabi s.a.w yang walaupun wahn dari sisi tenaga, tapi mereka tidak leman dari sisi semangat jihad. Umur boleh wahn, tetapi semangat api Islam harus tetap berkobar. Allah berfirman dalam ‘Ali lmran:39: “Janganlah kamu bersikap lemah (wahn), dan ianganlah (pula) v kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yana beriman.” Seorang ibu hamil, walaupun dia payah di atas payah, -wahnan ‘ala wahnin- namun dia tetap punya semangat hidup; melahirkan, menyusui dan mengasuh putera-puterinya. Begitulah Allah s.w.t menyemangati kaum muslimin dan menjaganya dan sifat lemah dan gentar di hadapan kawan maupun lawan.

Pernah khalifah ke-7 Bani Umayyah bernama Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H) menanyakan efek hadits wahn ini kepada seorang Ulama besar (kibarTabi’in), bernama Abu Hazm. “Mengapa rakyat saat ini cenderung bersikap pragmatis, berpikir pintas dan serba instan?” Ulama Tabi’in ini menjawabnya dengan hadits Wahn bersumber dari Sahabat Tsauban dan Abu Hurairah radhiya’l-lahu ‘anhuma seperti tersebut di atas.

Hadits ini berbicara tentang banyak hal, bergantung dan sudut mana kita menijaunya. Dari sudut Risalan, hadits ini ingin menjelaskan: Islam akan senantiasa berhadapan dengan gerakan pemangsa agama pemamah-biak iman, baik di hadapan orang Islam sendiri, di hadapan mereka yang punya banyak kepentingan (kama tada’al-akalah) atau di hadapan orang Islam yang lemah semangat (fi quluwbikumul wahn), apalagi di hadapan musuh-musuh agama (’aduwukumul mahabah). Artinya, oleh orang dalam, Islam dijadikan komiditi. Oleh orang luar: Islam dijadikan sebagai biang kerok. contohnya adalah aliran sesat.

Aliran sesat menjadikan agama sebagai komiditi. Mereka menikmati setoran liar atas nama infaq, menikmati kaffarah atas nama denda bai’at, menerima dana persepuluhan atas nama jihad mal.

Kelompok Islam Liberal menjual agama dengan cara menikmati aliran dana gerakan sepilis; sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Dalam kaitannya denaan ajaran sesat, seperti itulah keadaan TV, radio, koran dan majalah kita. yaitu seperti jago-jago makan semua atau kamaa tadaa’al akalah dalam istilah hadits tadi. Ini jelas berbahaya, kita harus dukung MUI, kita harus meyakinkan pemerintah, kita harus menyadarkan ummat dan meluruskan media, bahwa aliran sesat itu tak ubahnya seperti PKI: sama-sama merusak agama, sama-sama menodai ajaran agama, dan tidak tahu batas halal-haram.

Di dalam kitab himpunan Hadits Kanzul Ummal no.: 28978, Imam Al-Hindi mencatat sebuah hadits hasan lighayrihi:“Tidak ada yang paling banyak aku khawatirkan dari ummat setelahku nanti, daripada dua kelompok: kelompok yang menafsirkan Al Qur’an tidak pada tempatnya, (Para Kyai mengistilahkannya tafsir salah kamar,tafsir Ibnu Kasur atau tafsir jalan lain). Kedua: kelompok lain yang merasa bahwa mereka pun berhak menafsirkan Al-Qur’an.” (HR.Imam Thabarani dalam
Tarikhul Ausat dari Ibnu Umar).

Dua kelompok yang disetir dalam hadits Ibnu Umar ini, tengah berhimpun mengeroyok MUI dan memojokkan Majelis Ulama, serta menganggap gagal para tokon agama dalam membina Ummat, dengan sebab menjamurnya aliran sesat.

Itulah dampak penyakit wahn, dan itulah bahayanya kalau kita sudah terjangkiti penyakit wahn itu. Para Muhadditsin mengatakan, wahn dari sudut hubbun dun’ya akan menyeret kita jauh dari agama dan jauh dari silaturahim serta menempatkan kita menjadi hamba uang atau budak nafsu. Hubbun dun’yabisa merubah penampilan seseorang, sehingga bisa serigala yang haus mangsa, seperti vampir yang haus darah, macam orang yang minum air laut.

Syeikh Salim bin ‘led Al-Hilaly mencatat bahwa penyakit wahn dan hubbun dun’ya terjadi, lantaran ummat Islam lemah dan gentar menghadapi konspirasi orang kafir, yang bahu membahu, dukung-mendukung satu sama lain dalam memerangi kaum muslimin, seperti contoh isu terorisme dewasa ini. Ini yang pertama. Kedua: Seperti diketahui bahwa negeri-negeri Islam memiliki ladang kekayaan hasil alam dan barakah yang membuat orang kafir tergiur untuk menguasainya. Karena itu, Rasulullah s.a.w sampai mentamsilkannya dengan bejana besar yang penuh dengan makanan yang enak, sehingga membuat orang-orang yang lapar ingin memakannya, lalu mereka bersama-sama menyerangnya, dan yang sangat luar biasa setiap orang dari mereka ingin mengarnbil bagiannya sendiri-sendiri, tanpa ada pihak yang berani melarang dan mencegahnya.

Keempat: Setelah merampas hasil kekayaan dan melakukan penjajanan ekonomi, mereka menjadikan negeri-negeri Islam sebagai serdadu dan dayang-dayang. Wilayah Islam, dipegang ekornya dan dibuatnya merengek-rengek meminta uluran dana, sebagaimana dalam hadits Abduuah bin Hawalah ra, Rasulullah s.a.w bersabda, artinya: “kalian akan dijadikan beberapa pasukan, pasukan di Syam, pasukan di Iraq dan pasukan di Yaman, lalu aku bertanya : ‘Pilihkan untuk kami wahai Rasulullah s.a.w.’ Lalu beliau berkata : ‘Pilihlah oleh kalian yang di Syam, barang siapa yang enggan, maka bergabunglan dengan yang di Yaman dan hendaklah meminum airnya’, karena Allah telah menjaga Syam dan penduduknya . berkata Rabi’ah : ‘Aku mendengar Abu Idris Al-Kaulany menceritakan hadits ini dan berkata : ‘Siapa yang telah dijaga Allah maka tidak akan lenyap (hancur)“. [Hadits Shahih]

Kelima: Unsur-unsur kekuatan umat Islam bukan pada jumlah, perlengkapan persenjataan, tentara berkuda dan infantrinya, akan tetapi terletak pada ‘aqidah dan manhajnya, Islam adalah umat aqidah dan pemikul panji tauhid. Simaklah jawaban Rasulullah s.a.w ketika menjawab pertanyaan Sahabat yang bertanya tentang jumlah, di mana Nabi menjawab: “tidak, justru jumlah kalian saat itu sangat banyak.”

Keenam: Kekalahan terbesar kaum muslimin adalah ketika mereka menjadikan dunia segala-galanya, sehingga tokoh-tokohnya gampang dibeli, jama’ahnya gampang disogok, keyakinannya gampang digadaikan. Pada saat yang sama mereka membenci kematian akibat mabuk dunia. Mereka menghabiskan umurnya untuk dunia dan tidak mengambil bekal untuk akhirat. Kalaupun ada, hanya dari sisa waktu yang ada atau jika lagi dilanda rasa takut atau selagi ada hajat politik. Pada saat itu terjadilah perlombaan tidak sehat, timbul saling benci lalu saling bermusuhan, dan akhirnya saling mencurigai satu sama lain, sesuai bunyi hadits riwayat Muslim no.:2961 dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash.

Sumber : Buletin Dakwah No. 03 Thn. XXXV Jum’at ke-3 18 Januari 2008

 

Posted 23 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Buletin

Dari Masjid Kita Bangkit   1 comment


Masjid memiliki peran yang sangat besar dalam perkembangan dakwah Islam dan penyebaran syiar-syiar agama Islam. Di sanalah tempat didirikan sholat jama’ah dan berbagai kegiatan kaum muslimin. Seluruh manusia yang membawa perbaikan terhadap umat Islam ini, merupakan produk ‘jebolan pendidikan’ yang berawal mula dari masjid.

Keutamaan Masjid

Masjid merupakan sebaik-baik tempat di muka bumi ini. Di sanalah tempat peribadatan seorang hamba kepada Allah, memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah semata. Dari sanalah titik pangkal penyebaran tauhid. Allah telah memuliakan masjid-masjid-Nya dengan tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”. (QS. Al Jin: 18)

Tidak ada tempat yang lebih baik dari pada masjid Allah di muka bumi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tempat yang paling dicintai oleh Allah dalam suatu negeri adalah masjid-masjidnya dan tempat yang paling Allah benci adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika pernah ditanya, “Tempat apakah yang paling baik, dan tempat apakah yang paling buruk?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Aku tidak mengetahuinya, dan Aku bertanya kepada Jibril tentang pertanyaan tadi, dia pun tidak mengetahuinya. Dan Aku bertanya kepada Mikail dan diapun menjawab: Sebaik-baik tempat adalah masjid dan seburuk-buruk tempat adalah pasar”. (Shohih Ibnu Hibban)

Masjid adalah pasar akhirat, tempat bertransaksinya seorang hamba dengan Allah. Di mana Allah telah menawarkan balasan surga dan berbagai kenikmatan di dalamnya bagi mereka yang sukses dalam transaksinya dengan Allah.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan,“Masjid adalah rumah Allah di muka bumi, yang akan menyinari para penduduk langit, sebagaimana bintang-bintang di langit yang menyinari penduduk bumi”

Orang yang membangun masjid, ikhlas karena mengharap ganjaran dari Allah ta’ala akan mendapatkan ganjaran yang luar biasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membangun suatu masjid, ikhlas karena mengharap wajah Allah ta’ala, maka Allah ta’ala akan membangunkan rumah yang semisal di dalam surga.” (Muttafaqun’alaihi)

Masjid dan Dakwah Islam

Dahulu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak berjihad, berperang melawan orang-orang kafir, sebelum beliau menyerang suatu negeri, beliau mencari apakah ada kumandang suara adzan dari negeri tersebut atau tidak. Apabila beliau mendegar adzan maka beliau tidak jadi menyerang, namun bila tidak mendengar maka beliau akan menyerang negeri tersebut. (Muttafaqun ’alaihi)

Hal ini menunjukkan bahwa syiar-syiar agama yang nampak dari masjid-masjid kaum muslimin merupakan pembeda manakah negeri kaum muslimin dan manakah negeri orang-orang kafir. Adanya masjid dan makmurnya masjid tersebut dengan berbagai syiar agama Islam, semisal adzan, sholat jama’ah dan syiar lainnya, merupakan ciri bahwa negeri tersebut begeri kaum muslimin. (Lihat ‘Imaratul Masajid, Abdul Aziz Abdullah Al Humaidi, soft copy hal. 4)

Memakmurkan Masjid

Di antara ibadah yang sangat agung kepada Allah ta’ala adalah memakmurkan masjid Allah, yaitu dengan cara mengisinya dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bentuk memakmurkan masjid bisa pemakmuran secara lahir maupun batin. Secara batin, yaitu memakmurkan masjid dengan sholat jama’ah, tilawah Al quran, dzikir yang syar’i, belajar dan mengajarkan ilmu agama, kajian-kajian ilmu dan berbagai ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sedangkan pemakmuran masjid secara lahiriah, adalah menjaga fisik dan bangunan masjid, sehingga terhindar dari kotoran dan gangguan lainnya. Sebagaimana diceritakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan manusia untuk mendirikan bangunan masjid di perkampungan, kemudian memerintahkan untuk dibersihkan dan diberi wangi-wangian. (Shohih Ibnu Hibban, Syuaib Al Arnauth mengatakan sanad hadits tersebut shahih sesuai syarat Bukhari)

Sholat Berjama’ah di Masjid

Salah satu syiar agama Islam yang sangat nampak dari adanya masjid Allah, adalah ditegakkannya sholat lima waktu di dalamnya. Ini pun merupakan salah satu cara memakmurkan masjid Allah ta’ala. Syariat Islam telah menjanjikan pahala yang berlipat bagi mereka yang menghadiri sholat jama’ah di masjid. Di sisi lain syariat memberikan ancaman yang sangat keras bagi orang yang berpaling dari seruan sholat berjama’ah.

Suatu ketika, tatkala tiba waktu sholat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkeinginan meminta seseorang untuk mengimami manusia, kemudian beliau pergi bersama beberapa orang dengan membawa kayu bakar. Beliau berkeinginan membakar rumah orang-orang yang tidak menghadiri sholat jama’ah. Hal ini menunjukkan bahwa sholat jama’ah di masjid adalah wajib, karena ada hukuman bagi mereka yang meninggalkannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat seseorang (di masjid dengan berjama’ah) itu dilebihkan dengan 25 derajat dari shalat yang dikerjakan di rumah dan di pasar. Sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian berwudhu kemudian menyempurnakan wudhunya lalu mendatangi masjid, tak ada keinginan yang lain kecuali untuk shalat, maka tidaklah ia melangkah dengan satu langkah pun kecuali Allah mengangkatnya satu derajat, dan terhapus darinya satu kesalahan…” (Muttafaqun ‘alaihi, dari shahabat Abu Hurairah)

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah kelak dalam keadaan muslim, maka hendaklah dia menjaga sholat lima waktu tatkala dia diseru (dengan adzan). Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sebuah sunnah yang agung, dan sholat berjamaah adalah di antara sunnah tersebut. Seandainya kalian sholat di rumah-rumah kalian, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang belakangan, maka sungguh kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Jika kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, maka sungguh kalian telah berada dalam kesesatan.” (HR. Muslim)

Setelah nampak di hadapan kita khabar tentang pahala bagi orang yang menghadiri sholat jama’ah di masjid, dan ancaman bagi orang yang tidak menghadirinya, lantas masih adakah rasa berat di dalam hati kita untuk melangkah memenuhi seruan adzan? Allahul Muwaffiq.

Keutamaan Orang-orang yang Perhatian terhadap Masjid

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, bahwa kelak di hari kiamat ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan pertolongan dari Allah ta’ala. Salah seorang di antaranya adalah para pecinta masjid. “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah, tatkala tidak ada naungan selain naungan-Nya… Seseorang yang hatinya senantiasa terkait dengan masjid…” (Muttafaqun ‘alaihi).

Ibnu Hajar rahimahullahu menjelaskan makna hadits tersebut, “Hadits ini menunjukkan bahwa orang tersebut hatinya senantiasa terkait dengan masjid meskipun jasadnya terpisah darinya. Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa keterkaitan hati seseorang dengan masjid, disebabkan saking cintanya dirinya dengan masjid Allah ta’ala”. (Lihat Fathul Bari)

Lalai dengan Pemakmuran Masjid

Banyak di antara kaum muslimin, sangat semangat dalam mendirikan dan membangun masjid. Mereka berlomba-lomba menyumbangkan banyak harta untuk mendirikan bangunan masjid di berbagai tempat, setelah masjid berdiri pun tidak lupa untuk menghiasnya dengan hiasan yang bermegah-megahan. Namun setelah bangunan beserta hiasan berdiri tegak, justru mereka tidak memanfaatkan masjid tersebut untuk solat jama’ah dan ibadah lainnya. Mereka sangka sumbang sih mereka dengan harta dan modal dunia tersebut sudah mencukupinya.

Saudaraku, memakmurkan masjid tidak semata-mata makmur secara fisik, memakmurkan masjid yang hakiki adalah dengan ketaatan kepada Allah, yaitu dengan sholat jama’ah, tilawah Al quran, pengajian-pengajian ilmiah dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhabarkan bahwa hal yang demikian merupakan salah satu tanda datangnya hari kiamat, “Tidaklah tegak hari kiamat sampai ada manusia yang bermegah-megahan dalam membangun masjid” (HR. Abu Dawud, dinilai shohih oleh Syaikh Al Albani)

Imam Al Bukhari rahimahullahu berkata dalam kitab shahihnya, Anas berkata, “Orang-orang bermegah-megahan dalam membangun masjid, mereka tidak memakmurkan masjid tersebut melainkan hanya sedikit. Maka yang dimaksud dengan bermegah-megahan ialah bersungguh-sungguh dalam memperindah dan menghiasinya”.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata , “Sungguh kalian akan memperindah dan menghiasi masjid sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani memperindah dan menghiasi tempat ibadah mereka”. (HR. Bukhari, Kitab Ash-Shalah, Bab Bunyanil Masajid)

Renungkanlah, Back to basic!

Terlampau banyak penjelasan yang memaparkan keutamaan masjid sebagai benteng utama kekuatan kaum muslimin. Telah terbukti secara nash dan realita. Perjalanan hidup para pendahulu kita telah membuktikannya. Bukankah seluruh para ulama yang membawa perbaikan terhadap agama Islam adalah para pecinta masjid. Imam Malik rahimahullahu mengatakan, “Tidak akan pernah baik generasi akhir umat ini kecuali dengan perkara-perkara yang dengannya telah menjadi baik generasi awal umat Islam (yaitu generasi sahabat)”

Maka apabila kita menghendaki kejayaan dan kemenangan kaum muslimin, maka hendaklah kita menempuh jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum, yang mereka senantiasa perhatian terhadap masjid-masjid mereka, memakmurkan masjid-masjid Allah dengan ketaatan kepada-Nya. Mulialah dari masjid kita membangun umat ini, DARI MASJID KITA AKAN BANGKIT. Allahu A’laam bish showab.

[Hanif Nur Fauzi]

Posted 23 Oktober 2010 by arraahmanmedia in At-Tauhid, Buletin

Tagged with , , ,

Arah Kiblat Yang Benar   Leave a comment


Kaum muslimin rahimakumullah,
Baru-baru ini kita mendengar adanya perbedaan pendapat di antara para ulama, khususnya di Majelis Ulama berkenaan dengan isu perubahan arah kiblat akibat adanya pergeseran lempeng bumi akibat gempa. Fatwa MUI yang lama tentang arah kiblat, sebagaimana yang sering disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, KH. Ali Musthafa Ya’cub adalah menghadap ke Barat.

Namun setelah itu muncul fatwa baru tentang koreksi arah kiblat, yakni menghadap ke Barat Laut dengan kemiringan sekitar 25 derajat. Perbedaan di kalangan ulama ini menimbulkan perbedaan di kalangan masyarakat. Pasalnya ada pengurus masjid yang segera mengubah arah kiblatnya. Namun di sisi lain adalah ada pengurus masjid yang bersikukuh agar arah kiblat ke barat tidak perlu diubah.

Kaum muslimin rahimakumullah
Bagaimana sesungguhnya tuntunan Al Quran tentang arah kiblat ini? Bagaimana hukum menghadap kiblat ? Haruskah tepat menghadap Ka’bah ataukah cukup arah Ka’bah saja?

Kaum muslimin rahimakumullah,
Berkaitan dengan kiblat ini Allah SWT berfirman:
“Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya….. (QS. Al Baqarah 144).”

Dalam ayat di atas jelas bahwa Rasulullah saw. diperintahkan oleh Allah SWT untuk melaksanakan sholat dengan menghadap ke arah Masjidil Haram. Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan suatu hadits dari barra’ bin Azib bahwa Rasulullah saw. ketika pertama kali tinggal di Madinah, beliau tinggal di rumah pamannya dari kalangan Anshar dan bahwasannya beliau sholat menghadap kearah baitul Maqdis selama 16 bulan. Sedangkan beliau sangat menginginkan kiblatnya ke Baitullah….lalu turun ayat di atas pada saat sholat ashar…

Kaum muslimin rahimakumullah
Apa yang dimaksud dalam firman Allah:
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram” ?

Umumnya para mufassir mengartikan ayat di atas sebagai menghadap kearah Ka’bah. As Shaabuni dalam Tafsir Ayatul Ahkam mengatakan bahwa kalimat “Masjidil Haram” sendiri dalam Al Quran dan Al Hadits mengandung beberapa pengertian. Pertama, Ka’bah sebagaimana dalam firman Allah SWT di atas. Kedua, Masjidil Haram secara keseluruhan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: “Sholat di masjidku ini lebih utama sholat seribu kali di masjid yang lain, kecuali Masjidil Haram”..Ketiga, Mekkah.

Sebagaimana dalam firman Allah: “Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. …” (QS. Al Isra 1).Keempat, tanah haram secara keseluruhan, yakni Mekkah dan sekitarnya.

Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, Maka janganlah mereka mendekati Masjidil haram sesudah tahun ini… (QS. At taubah 28). Dan untuk makna Masjidil Haram dalam firman Allah SWT dalam Surat Al baqarah 144 adalah kearah Ka’bah.

Kaum muslimin rahimakumullah,
Menghadap kiblat adalah syarat sahnya sholat. Sehingga tidak sah sholat tanpa menghadap kiblat. Kecuali sholat Khauf atau sholat sunnah di atas kendaraan seperti perahu atau pesawat terbang. Dalam hal ini para fuqoha tidak ada beda pendapat. Yang menjadi perbedaan pendapat di antara para fuqoha adalah apakah menghadap kiblat itu maknanya wajib menghadap ka’bah itu sendiri secara tepat (ainul ka’bah) ataukah cukup menghadap kearah Ka’bah?

Para fuqoha madzhab Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa kata “syathr” dalam kalimat “fawalli waj’haka syathral masjidil haram” maknanya adalah arah yang tepat bagi orang yang sedang sholat dan mengena dalam menghadapnya. Dengan demikian menghadap Ka’bah itu secara tepat adalah menjadi wajib.

Juga mereka menggunakan dalil suatu hadits dari Usamah bin Zaid bahwa tatkala Nabi saw. masuk ke dalam baitullah (Ka’bah) beliau saw. berdoa di sekeliling Ka’bah dan beliau tidak sholat kecuali setelah di luarnya. Lalu beliau sholat 2 rakaat menghadap Ka’bah seraya beliau saw. bersabda: “Inilah kiblat!”.

Sedangkan para fuqoha dari madzhab Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa berdasarkan firman Allah: “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”, maka sholat itu menghadap ke Masjidil Haram. Maka barang siapa sholat menghadap salah satu sisi masjidil Haram, sesudah mencukupi makna ayat di atas, baik tepat kearah Ka’bah itu sendiri maupun tidak.

Juga mereka berdalil dengan hadits Nabi saw: “Antara timur dan Barat, itulah kiblat”. Juga mereka berdalil dengan hadits Nabi saw.: Baitullah (Ka’bah) itu kiblat bagi orang yang sholat di Masjidil Haram. Dan masjidil Haram adalah kiblat bagi penduduk tanah haram (Mekah dan sekitarnya). Sedangkan tanah haram adalah kiblat bagi penduduk bumi di Timur maupun di Barat dari kalangan umat-Ku.” (HR. Baihaqi).

Kaum muslimin rahimakumullah,
Oleh karena itu, menghadap kiblat dalam sholat secara tepat adalah kewajiban bagi orang-orang yang sholat di depan Ka’bah di Masjidil Haram. Adapun untuk kaum muslimin yang melaksanakan sholat di manapun berada jauh dari Masjidil Haram maka mengira-ngira arahnya saja sudah cukup karena tidak bisa melihat masjidil Haram yang mengelilingi Ka’bah. Sebab Allah SWT tidak membebani umat kecuali sekedar kemampuannya (QS. Al Baqarah 285).

Dengan demikian dalam pro kontra perubahan arah kiblat ini tidak perlu dibesar-besarkan dan dipaksakan sehingga tidak timbul perpecahan di antara umat. Sebab masalah amal ibadah bisa dikerjakan dengan persangkaan yang kuat (ghalabatud zhan), sebagaimana kita melaksanakan shaum Ramadhan dengan cukup melihat hilal (ru’yatul hilal) sebagai tanda masuknya bulan Ramadhan, walau menurut perhitungan astronomi hilal bulan Ramadhan belum masuk.

Karena menyangkut masalah sahnya sholat, maka perlu difahamkan bahwa arah sholat yang secara global sudah memenuhi ke arah Masjidil Haram adalah sah sholatnya dan sudah mencukupi berdasarkan hadits “Antara Timur dan Barat itulah kiblat” dan hadits Baihaqi di atas. Yang sudah pasti tidak sah adalah orang sholat menghadap kearah yang sudah pasti bukan ke Masjidil Haram, seperti kaum muslimin di Indonesia menghadap kearah tugu Monas di Jakarta atau orang-orang Malaysia yang berkiblat kearah kota Kuala Lumpur.

Baarakallahu lii walakum

Posted 23 Oktober 2010 by arraahmanmedia in Ad-Dakwah, Buletin

Tagged with , , ,